Ketum PPHI Sayangkan MK Tak Gali Nilai Hukum di Masyarakat
Dalam kasus ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku termohon dan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-KH Maruf Amin selaku pihak terkait.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH menyayangkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak menggali nilai-nilai hukum yang berkembang di masyarakat untuk mendapatkan bukti-bukti faktual sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang diajukan calon residen-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dalam kasus ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku termohon dan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-KH Maruf Amin selaku pihak terkait.
“Kalau Majelis Hakim MK mau menggali nilai-nilai hukum yang berkembang di masyarakat, mungkin hasilnya tidak akan seperti itu (Jokowi-Maruf menang, red). Tapi ini bukan soal menang atau kalah, ini soal keadilan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (28/6/2019).
Menurut Murphi, Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan, “Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
“Menjadi tugas MK untuk menegakkan hukum dan keadilan,” tegasnya.
Adapun amanat Majelis Hakim MK menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, kata Murphi, dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Murphi juga mengutip penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970, yang kemudian diubah dengan UU No 48 Tahun 2009, yakni, “Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Murphi lalu merujuk contoh putusan MK menolak salah satu bukti yang diajukan pihak pemohon Prabowo-Sandi, yakni rekaman video dugaan ketidaknetralan seorang oknum anggota Polres Batubara, Sumatra Utara.
MK menilai saksi pemohon dan video yang dijadikan bukti tak membuktikan ketidaknetralan oknum polisi itu gara-gara tidak disertakan tanggal pembuatan rekaman dan keterangannya.
“Mestinya tidak serta-merta ditolak, tapi Majelis Hakim MK turun ke lapangan untuk menggali nilai hukum yang berkembang di masyarakat ,” sesalnya.
Langkah MK menolak bukti rekaman video itu dinilai Murphi kontradiktif dengan UU No 11 Tahun 2008 yang kemudian diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kerap digunakan aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku penyebaran video berkonten negatif seperti pornografi dan provokasi.
“Bukankah polisi kerap menggunakan rekaman video sebagai bukti untuk menjerat tersangka dengan UU ITE, bahkan menggunakannya sebagai barang bukti di persidangan?” tanyanya.
“Contohnya adalah penerepan Pasal 28 dan Pasal 45 huruf a UU ITE untuk menjerat penyebar video provokatif,” lanjutnya.
Murphi lebih menyayangkan lagi karena putusan MK itu tak bisa diganggu gugat, mengingat sifatnya yang final dan mengikat, sehingga niat Prabowo-Sandi mencari celah lain untuk mengajukan gugatan secara konstitusional pun tertutup sudah.
“Upaya mencari keadilan pun mentok di MK, karena putusan MK bersifat final dan mengikat. Di situlah mestinya hakim konstitusi lebih wise (bijak),” paparnya.
Murphi kemudian menjelaskan, sesuai kewenangan yang diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, lembaga ini berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk, pertama, menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945; kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; ketiga, memutus pembubaran partai politik; dan keempat, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Yang dimaksud putusan MK bersifat final, jelas Murphi, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.
“Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut,” urainya.
Adapun sifat mengikat, lanjut Murphi, berarti putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia.
MK pada Kamis (27/6/2019) malam membacakan putusan PHPU yang diajukan Prabowo-Sandi. Dalam amat putusan yang dibacakan Ketua MK yang juga Ketua Majelis Hakim MK, Anwar Usman, MK menolak seluruh permohonan pemohon.
Dengan putusan ini, pasangan Jokowi-Maruf tetap sebagai pemenang Pilpres 2019, sebagaimana keputusan KPU.