Burung Garuda Kembali Ditemukan Keberadaannya di Gunung Gede Pangranggo
Burung yang juga dikenal dengan sebutan burung garuda itu terdeteksi tim monitoring elang jawa di dalam kawasan Gunung Gede Pangrango, Senin (1/7/2019
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat kembali menemukan elang jawa.
Burung yang juga dikenal dengan sebutan burung garuda itu terdeteksi tim monitoring elang jawa di dalam kawasan Gunung Gede Pangrango, Senin (1/7/2019).
Humas TNGGP Ade Bagja Hidayat mengatakan, sejauh ini tim telah berhasil menemukan dua sarang elang jawa. Keberadaannya masih terpantau hingga saat ini.
Seekor elang Jawa di salah satu kandang di Pusat Konservasi Elang Kamojang, Jalan Raya Kamojang,
“Lokasi (sarang) baru ini berhasil ditemukan saat tim sedang melakukan pengecekan air,” kata Ade saat dikonfirmasi Kompas.com, Jumat (5/7/2019).
Ade menyebutkan, dari pengamatan di lokasi, anakan elang jawa di dalam sarangnya itu ditaksir berusia sekitar dua bulan. Hal itu dilihat dari anakan elang yang sudah mampu mengepakan sayap dengan baik saat diterpa angin.
Sebelumnya, sebut Ade, tim juga berhasil menemukan anakan elang jawa di lokasi sarang yang berbeda pada 13 April 2019.
“Dengan temuan ini semakin membuktikan jika elang jawa dapat berkembang biak setiap tahunnya di dalam kawasan Gunung Gede Pangrango dengan baik,” ujarnya.
Selain elang jawa, ekosistem kawasan TNGGP juga menjadi tempat hidup yang baik bagi jenis satwa endemik Jawa lainnya, seperti macan tutul jawa dan owa jawa.
“Bertambahnya jumlah elang jawa ini pun menjadi kabar baik bagi upaya pelestarian satwa yang paling dilindungi itu. Pemantauan terus dilakukan karena elang jawa itu diperkirakan akan segera terbang dari sarangnya,” ungkapnya.
Jadi Rumah Nyaman
Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) rupanya masih menjadi ‘ rumah’ nyaman bagi elang jawa, salah satu satwa endemik Jawa kebanggaan Indonesia yang diidentikkan dengan lambang Negara Indonesia, Burung Garuda.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sarang baru burung pemangsa yang berstatus terancam punah dan paling dilindungi di dalam kawasan TNGGP tersebut.
Tim monitoring elang jawa TNGGP, yang terdiri atas Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan, Fungsional Polisi Hutan, Fungsional Penyuluh Kehutanan dan masyarakat mitra Polhut dapat mengabadikan induk elang bersama anaknya, yang tengah bercengkrama di dalam sarang tersebut. Baca juga: Seekor Elang Jawa Ditemukan Dalam Dus yang Diletakkan di Depan Pintu Umur anak elang sendiri diperkirakan baru 1 sampai 2 minggu.
“Lokasi sarangnya di dalam kawasan konservasi. Namun, posisi tepatnya tidak bisa kami sebutkan soalnya khawatir diburu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, terlebih elang jawa ini bernilai ekonomis yang sangat tinggi,” kata Humas Balai Besar TNGGP, Ade Bagja Hidayat, saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/4/2019).
Ade mengatakan, keberadaan satwa paling dilindungi itu pertama kali terpantau tim monitoring elang jawa pada 13 April 2019, lalu terpantau lagi pada 18 April 2019.
“Namun, tim tidak bisa terlalu sering memantau kondisi sarang barunya dari jarak dekat karena khawatir mengganggu aktivitas mereka,” sebut Ade.
Ade mengatakan, penemuan sarang baru elang jawa ini merupakan hal yang menggembirakan, mengingat " burung garuda" ini dikategorikan ke dalam salah satu daftar satwa prioritas TNGGP untuk ditingkatkan jumlah populasinya dari tahun 2015 hingga 2019.
Selain itu, keberadaannya juga merupakan salah satu indikator kesehatan ekosistem, sehingga mengindikasikan kawasan konservasi TNGGP masih terjaga
“Top predator ini sangat peka terhadap kerusakan lingkungan. Karena itu, apabila masih mampu melahirkan anaknya, berarti TNGGP jadi rumah nyaman bagi elang jawa untuk berkembang biak,” tutur dia.
Keberadaan elang jawa bersama jenis satwa dilindungi lainnya merupakan nilai penting mengapa kawasan Gede Pangrango perlu tetap dipertahankan sebagai hutan konservasi.
“Oleh karena itu, perlu peran serta semua pihak untuk tetap menjaga kelestarian kawasan konservasi TNGGP ini agar menjadi rumah nyaman elang jawa dan tentunya jenis satwa yang dilindungi lainnya,” ujar dia.
Di Gunung Buthak Terancam
Keberadaan satwa liar dan satwa dilindungi yang hidup di wilayah non-konservasi di Jawa Tengah bagai telur di ujung tanduk.
Bagaimana tidak, perhatian pemerintah akan keberadaan para satwa tersebut masih minim, sedangkan aktivitas perambahan hutan berjalan kian pesat.
Burung Garuda
Burung Garuda (Net)
Ditambah angka konflik antara satwa liar dengan manusia yang begitu tinggi menyebabkan satwa-satwa tersebut semakin tergusur dari habitatnya sendiri.
Salah satu contoh kawasan non-konservasi yang menjadi habitat beberapa satwa liar dan sawta dilindungi berada di Gunung Buthak, Kompleks Perbukitan Siregol, Zona Serayu Utara, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga, Jawa Tengah.
Sebuah komunitas pegiat lingkungan di Banyumas, Biodiversity mencatat, sedikitnya ada lima jenis satwa dilindungi yang hidup di hutan milik Perum Perhutani tersebut.
Data pengamatan yang dilakukan tahun 2016 menyebut, satwa dilindungi yang hidup di sana adalah owa jawa (Hylobates moloch), cekakak jawa (Halcyon cyanoventris), cekakak sungai (Todirhamphus chloris), rangkong julang emas (Aceros undulatus), elang ular bido (Spilornis cheela), hingga burung garuda atau elang Jawa (Nisaetus bartelsi).
Kelima satwa dilindungi tersebut hidup dengan harmonis dengan bankoloni satwa liar lain di tiga kompleks perbukitan tebing batu andesit seluas belasan hektar.
Meski tak terlalu luas jika dibandingkan kawasan konservasi sekelas taman nasional, namun Gunung Buthak memiliki sistem perlindungan alami yang membuat kawasan ini tetap perawan.
Warga Desa Kramat, Kecamatan Karangmoncol, Sangad Abdul Salam mengungkapkan, pada tahun 1980-an, wilayah perbukitan Siregol merupakan surga bagi para satwa.
Baru pada sekitar tahun 1990-an, pemerintah membuka hutan dan membuat jalan aspal untuk mengakses satu desa yang berada di ujung perbukitan, Desa Sirau.
“Sejak saat itu, satwa di luar unggas mulai terisolir dan bermigrasi ke (kompleks) Gunung Buthak,” katanya ketika ditemui, Senin (18/9/2017).
Sangad mengungkapkan, satwa liar dan satwa dilindungi tersebut bisa diamati langsung dengan mata telanjang dari ruas jalan raya Siregol.
Sebab, jarak antara Gunung Buthak dan ruas jalan penghubung Desa Kramat-Sirau tersebut hanya sejauh lemparan batu saja.
Meski demikian, Gunung Buthak sampai saat ini masih terisolasi dari segala aktivitas manusia. Pasalnya, ada jurang sedalam puluhan meter yang melingkupi kawasan Gunung Buthak.
Jurang lembah Sungai Tambra ini seakan menjadi sekat baku antara surga satwa Gunung Buthak dan dunia peradaban manusia.
Sistem pengawasan masyarakat Bukan karena kondisi medan saja yang membuat kawasan Gunung Buthak tetap tak terjamah oleh tangan jahil.
Peran serta masyarakat setempat untuk membuat sistem perlindungan tradisional juga turut mencegah perburuan satwa dan perambahan hutan di kawasan Gunung Buthak.
Tokoh pemuda Desa Kramat, Muhammad Faiz menuturkan, warga Desa Kramat memiliki mitos dan cerita rakyat yang melingkupi kawasan Gunung Buthak.
Keberadaan cerita rakyat ini membuat setiap orang yang memiliki niat jahat untuk merusak kawasan Gunung Buthak menjadi segan dan urung.
“Kawasan ini wingit, ada penunggunya. Dulu sekitar awal tahun 2000-an, ada orang Jawa Barat yang nekat masuk ke Gunung Buthak buat nyari sarang walet. Tapi waktu naik tebing orang ini jatuh. Warga sini tidak ada yang bisa menolong. Sampai sekarang mayat sama kerangkanya masih ada di dalam sana,” ujarnya.
Tak hanya cerita rakyat, sebagai desa yang paling dekat dengan kawasan Gunung Buthak, masyarakat Desa Kramat juga telah terbiasa tanggap jika mendapati orang luar daerahnya lewat dengan membawa senapan.
“Kalau ada warga yang lihat orang bawa bedil (senapan), pasti langsung diikuti. Kebanyakan yang bawa bedil ngakunya mau nembak babi hutan, jadi kami biarkan saja karena babi hutan juga jadi hama di sini. Tapi kalau ketahuan nembak burung di Gunung Buthak langsung kami usir,” katanya.
Faiz mengungkapkan, ke depan, masyarakat terutama Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Desa Kramat yang baru terbentuk tahun ini akan mengusulkan peraturan desa (Perdes) demi upaya konservasi kawasan Gunung Buthak.
Pemerintah tidak hadir Keberadaan koloni satwa liar dan satwa dilindungi di wilayah hutan Perum Perhutani, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga, seolah luput dari perhatian pemerintah.
Petugas Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah Resor Wonosobo yang berwenang penuh atas perlindungan satwa di sana juga sama sekali belum pernah turun untuk melakukan pendataan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Endi Suryo Heksianto, Polisi Hutan BKSDA Jateng Resor Wonosobo saat dihubungi Senin (18/9/2017).
Dia menyebut, hingga saat ini pihaknya belum mendapat laporan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) jika di wilayah Perum Perhutani itu ternyata menjadi habitat satwa dilindungi.
“Itu hutan lindungnya Perhutani ya. Kami belum tahu dan belum dapat informasi dari KPH wilayah sana,” katanya.
Dalam mekanismenya, meski kawasan tersebut merupakan wilayah Perhutani, namun BKSDA memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh atas kelestarian satwa dilindungi yang menjadi prioritas di Gunung Buthak, seperti owa jawa.
Salah satu contoh kawasan Perhutani yang diberikan pengawasan intensif karena menjadi habitat satwa prioritas adalah hutan di Petungkriono, Pekalongan serta Dieng, Wonosobo.
Endi menjelaskan, di Petungkriono, petugas secara intensif turun untuk memantau populasi dan memastikan kelestarian habitat elang jawa.
“Memang susah, karena kami sendiri belum memiliki kawasan khusus untuk konservasi. Selama ini kami meminta peran serta masyarakat untuk turut melindungi satwa di tempat mereka,” ujarnya.
Endi menuturkan, dalam waktu dekat, pihaknya akan turun ke Gunung Buthak untuk melakukan pengamatan dan pendataan mendalam terkait keberadaan satwa dilindungi di sana.
Selain itu, komunikasi dengan pihak terkait, terutama Perum Perhutani, sebagai pemilik kawasan juga mutlak diperlukan.
“Secapatnya akan kami kordinasikan dan turunkan personel untuk mendata satwa-satwa di sana,” katanya.
Untuk diketahui, dalam regulasinya, satwa-satwa yang berada di kawasan Gunung Buthak dilindungi oleh UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
Selain itu, satwa tersebut dilindung Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Burung Garuda Kembali Ditemukan"