Komnas Perempuan Nilai MA Tidak Gunakan Pedomannya dalam Jatuhkan Putusan Kasus Baiq Nuril
Budi Wahyuni menilai padahal Perma tersebut adalah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan
Penulis: Gita Irawan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Komnas Perempuan Nilai MA Tidak Gunakan Pedomannya dalam Jatuhkan Putusan Kasasi untuk Baiq Nuril
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasasi maupun peninjauan kembali terpidana kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril.
Komnas Perempuan menilai, MA tidak menggunakan Perma RI Nomor 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan kembali kasus Baiq Nuril.
Baca: Sore ini, Menkumham Terima Baiq Nuril dan Kuasa Hukumnya
"Meski menghargai keputusan MA sebagai kewenangan peradilan yang tidak boleh di intervensi, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus BN ini," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, di kantor Komnas Perempuan, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (8/7/2019).
Budi Wahyuni menilai padahal Perma tersebut adalah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan.
"Padahal, PERMA 3/2017 adalah sebuah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan. PERMA ini adalah sebuah langkah alimiasi dalam menciptakan kesetaraan seluruh warga negara di hadapan hukum," kata Budi.
Menurutnya, pengabaian atas penggunaan PERMA 3/2017 oleh Mahkamah Agung dan ketidakmampuan POLRI dalam mengenali pelecehan seksual non fisik sebagai bagian dari perbuatan cabul telah mengakibatkan hilangnya hak konstitusional seorang perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pihaknya juga menilai, kondisi ini juga disebabkan keterbatasan sistem hukum dalam mengenali kekerasan seksual sehingga memberikan peluang untuk mengkriminalkan perempuan korban kekerasan Seksual.
Tidak hanya itu, Budi nengatakan keterbatasan sistem hukum ini bukan saja dari sisi materil tetapi juga formil (Hukum Acara) Sebagai standar yang harus dijalankan peradilan, sejak dari penerimaan laporan hingga persidangan.
"Termasuk dalam hal ini, keterbatasan sistem pembuktian dan ketersediaan sumber daya yang memadai bagi penghapusan diskriminasi hukum di Indonesia. Tampak adanya kedangkalan pemahaman konsep hukum yang seharusnya memberikan perlindungan atas kompleksitas pola-pola kekerasan seksual yang menyasar khususnya kepada perempuan," kata Budi.
Untuk itu, Komnas Perempuan meminta agar Hakim Pengawas Mahkamah Agung (MA) mengoptimalkan fungsi pengawasan atas pelaksanaan PERMA 3/2017 di lingkup pengadilan, sejak dari pengadilan tingkat pertama sampai dengan MA.
Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati menambahkan, menurutnya hakim harus menggunakan Perma tersebut karena lingkup dari perma tersebut ada tiga yakni saksi, korban, dan pelaku.
"Pelaku ini sebagai terdakwa maksudnya. Artinya Perma ini harus digunakan ketika hakim mengadili kasus baik perempuan itu duduk sebagai saksi, korban yang dalam proses hukum berarti dia sebagai saksi, dan ketika dia duduk sebagai terdakwa. Artinya Perma ini seharusnya dilakukan dalam segala situasi bukan hanya ketika perempuan sebagai korban," kata Nurherwati.
Terkait hal tersebut, berikut kutipan lengkap bunyi pasal 1 ayat 1 Perma 3/2017:
"Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan:
1. Perempuan Berhadapan dengan Hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak."
Diberitakan sebelumnya, MA menolak PK yang diajukan Baiq Nuril dalam kasus dugaan pelanggaran UU ITE.
Putusan ini menguatkan vonis di tingkat kasasi yang menghukum 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Untuk diketahui, polemik ini mencuat setelah beredarnya rekaman telepon Muslim, mantan Kepala Sekolah SMA Negeri 7 Mataram dengan Baiq Nuril.
Dalam rekaman tersebut Muslim diduga melakukan pelecehan seksual secara verbal dengan menceritakan hal-hal berbau seksual kepada Nuril yang pada saat itu merupakan staf honorer di SMA tersebut.
Tak tahan terus menjadi korban, Nuril diduga menyebarkan rekaman itu.
Muslim yang tidak terima rekaman itu beredar lantas melaporkan Baiq Nuril ke polisi pada 2015 lalu.
Sementara Baiq Nuril pun akhirnya diberhentikan dari pekerjaannya akibat kasus tersebut.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, majelis hakim memutus bebas Baiq Nuril.
Namun jaksa mengajukan upaya hukum kasasi.
Baca: Sejumlah Milenial Berpotensi Jadi Menteri Muda Kabinet Jokowi Jilid Kedua
MA pada 26 September 2018 mengabulkan kasasi tersebut sehingga Nuril dihukum enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Baiq Nuril pun mengajukan PK meskipun pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Agung.