Pengamat Perbankan Apresiasi Keputusan Hakim MA Soal Kasus SAT
Menurut Eko, hal ini merupakan keputusan yang maju karena diambil oleh hakim yang berpikiran bebas dan merdeka.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat perbankan Eko B. Supriyanto, menilai keputusan majelis hakim Mahkamah Agung (MA) membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) merupakan langkah berani sekaligus membawa angin baru.
"Para hakim agung telah membatalkan keputusan pengadilan tingkat pertama dan banding, karena mereka tidak hanya menerapkan hukum yang tersurat, melainkan juga yang tersirat, demi mewujudkan rasa keadilan," kata pendiri Infobank Institute itu dalam keterangannya, Sabtu kemarin.
Menurut Eko, hal ini merupakan keputusan yang maju karena diambil oleh hakim yang berpikiran bebas dan merdeka.
"Keputusan ini bisa menjadi yurisprudensi karena untuk pertama kali pengadilan memutus bebas terpidana korupsi dan mengalahkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). SAT sebelumnya sudah dihukum 15 tahun oleh pengadilan banding, yang memperberat keputusan majelis tingkat pertama."
Baca: Bamsoet Dorong Advokat Terapkan Satu Desa, Satu Advokat
Baca: Kepada Nagita Slavina, Raffi Ahmad Akui Pernah Ungkap Keinginan Nikah Lagi
Baca: Gara-gara Ikutan Ice Bucket Challenge, Wanita Ini Didiagnosis Penyakit Mematikan 6 Bulan Kemudian
Ia menambahkan, hampir tidak ada pengamat hukum, apalagi para aktifis anti korupsi, yang menduga SAT akan bebas. Para pemerhati umumnya meragukan para hakim dalam memutus perkara korupsi dengan anggapan bahwa mereka enggan mengambil resiko berhadapan dengan KPK.
Kepala Biro Humas MA, Abdullah, menyampaikan kepada media massa bahwa keputusan kasasi tersebut tidak bulat karena ada dissenting opinion. “Jadi tidak bulat. Ketua majelis Dr Salman Luthan sependapat judex facti pengadilan tingkat banding. Hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan anggota 2, Prof Mohamad Asikin, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum adminsitrasi," kata Abdullah.
Lantas bagaimana dengan keputusan KPK yang mempidanakan Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN)? Eko mengungkapkan beberapa hal yang bisa dicermati.
"Pertama, kini tidak ada alasan lagi bagi KPK untuk melanjutkan perkara suami istri tersebut karena factor utama yang dijadikan sandaran sudah hilang. KPK mendasarkan pada keputusan majelis hakim Tipikor bahwa SAT “bersama-sama” dalam melakukan kejahatannya. Kini MA telah membatalkan keputusan tersebut sehingga tidak ada alasan lagi untuk mentersangkakan SN dan istrinya," katanya.
Kedua, tambah Eko, majelis kasasi menetapkan bahwa perkara ini bersifat perdata, bukan pidana. Oleh karena itu, menurut Eko, Pemerintahlah yang harus mempermasalahkan secara perdata jika memang ada kerugian dalam bentuk apapun. Hingga kini, Pemerintah tidak mempermasalahkan hal itu.
"Ketiga, keputusan kasasi tersebut memperkuat alasan bagi kuasa hukum SN untuk mempersoalkan dan menggugat audit investigatif BPK yang dinilai cacat hukum. Sebagaimana diketahui, audit tersebut dilakukan atas permintaan KPK sebagai dasar tuntutan pidana yang disangkakan kepada SAT, juga terhadap SN dan IN. Kini telah sangat tegas dinyatakan oleh hakim kasasi bahwa tidak ada unsur pidana dalam perkara ini. Maka relevansi hasil audit BPK tersebut sangat lemah."