Pro dan Kontra Pelaporan LHKPN untuk Capim KPK
Febri Diansyah, mencatat baru terdapat 27 orang calon pimpinan KPK yang telah melaporkan harta kekayaan
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah berlangsungnya tahapan seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terjadi perdebatan mengenai perlu atau tidaknya pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Sejumlah pihak, seperti Indonesia Coruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas mempersoalkan sejumlah calon pimpinan KPK yang belum melaporkan LHKPN.
Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui juru bicaranya, Febri Diansyah, mencatat baru terdapat 27 orang calon pimpinan KPK yang telah melaporkan harta kekayaan dari 40 nama capim KPK yang lolos tahap tes psikologi. Sisanya 13 orang belum melapor.
Menanggapi hal tersebut, anggota Forum Lintas Hukum, Petrus Selestinus, mengatakan, capim KPK tidak wajib menyerahkan LHKPN. Dia mengacu pada pasal 29 huruf K Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Aturan itu menjelaskan untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus mengumumkan kekayaan sesuai undang-undang. Namun, kata dia, perlu digarisbawahi frase "sesuai undang-undang" di Undang-Undang KPK tidak boleh menyampingkan undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
"Ini kekeliruan yang mendiskreditkan Pansel Capim KPK," kata Petrus, saat dihubungi, Selasa (6/8/2019).
Jika, merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, kata Petrus, terdapat beberapa pasal memuat kewajiban penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan pada KPK.
Baca: Koalisi Kawal Capim KPK Akan Surati Jokowi dan Pansel soal LHKPN Para Kandidat
Di beberapa pasal di undang-undang itu, tidak menjelaskan Capim KPK termasuk penyelenggara negara.
Dia menjelaskan, di pasal 2, 5, 20 dan 23 UU nomor 28 tahun 1999, Capim KPK tidak atau belum termasuk kualifikasi penyelenggara negara. Sehingga LHKPN tidak dapat dibebankan pada Capim KPK.
"Oleh karena itu dapat ditafsirkan sebagai mewajibkan para capim KPK untuk melaporkan harta kekayaannya," tambahnya.
Sementara itu, mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Chairul Imam, mengungkapkan LHKPN dapat diserahkan setelah Capim KPK terpilih dan ditetapkan sebagai calon terpilih.
"Jika sudah terpilih, maka sebelum dilantik lima pimpinan KPK wajib menyerahkan LHKPN kepada KPK untuk diperiksa dan diumumkan," tambahnya.
Sebelumnya, Anggota Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji, menegaskan soal kewajiban pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengurus dan melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Menurut dia, pengurusan LHKPN dilakukan setelah calon terpilih sebagai pimpinan definitif. Namun, apabila persyaratan pelaporan LHKPN dilakukan di awal pendaftaran, maka dapat menimbulkan diskriminasi dan melanggar prinsip persamaan antara calon dari penyelenggara negara dan non penyelenggara negara.
"Mengenai syarat capim pada Pasal 29 huruf K UU KPK ada makna 'mengumumkan', ini harus diartikan laporan kekayaan itu wajib diumumkan oleh capim yang berasal dari penyelenggara negara maupun yang non penyelenggara negara pada saat sudah ada penunjukan capim sebagai pimpinan definitif," kata dia, dalam keterangannya, Rabu (31/7/2019).
Merujuk pada Pasal 29 huruf k Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi "Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: k. Mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan".
Berkaca pada seleksi capim KPK di periode berikutnya, Indriyanto mengungkapkan penyampaian LHKPN dilakukan pada saat calon telah ditunjuk sebagai pimpinan KPK definitif. Sementara, saat pendaftaran, calon hanya membuat pernyataan kesediaan menyampaikan laporan kekayannya.
"Bahwa ada yang berpendapat lain dan berbeda adalah sesuatu yang wajar saja, sepanjang pendapat itu tidak vested interest (mengandung kepentingan,-red)" ujarnya.
Dia menjelaskan, pada periode pansel sebelumnya, pengurusan LHKPN tidak menjadi isu. Dia mencontohkan, pada periode pansel 2014, Saut Situmorang, Wakil Ketua KPK pada periode ini, bahkan pada tahap seleksi akhir belum mendaftarkan LHKPN.
"Jadi isu pengumuman LHKPN sekarang ini sepertinya soal vested interest dari pihak tertentu," tambahnya.