Saat Manokwari Rusuh, Parnadi dan 8 Karyawannya Sembunyi 3 Jam di Kamar Mandi
Namun demikian, polisi memastikan bahwa kondisi di Manokwari sudah kondusif dan masyarakat tidak perlu khawatir.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, PAPUA - Munculnya aksi unjuk rasa di berbagai wilayah provinsi Papua dan Papua Barat untuk menentang dugaan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur, membuat sebagian warga pendatang di bumi Cenderawasih khawatir.
Pasalnya, seperti yang dilaporkan wartawan harian Cahaya Papua di Manokwari, Safwan Ashari, untuk BBC News Indonesia, sejumlah fasilitas umum dibakar dan dihancurkan beberapa oknum pengunjuk rasa, Senin (19/08/2019), termasuk properti pribadi warga setempat.
Salah satunya menimpa Parnadi, 46 tahun, yang memiliki kios fotokopi di Jalan Merdeka, kota Manokwari.
"Punya mesin hancur semua, (kerugiannya) sekitar Rp 200 juta lebih," ungkap Parnadi yang sudah 30 tahun menetap di ibu kota provinsi Papua Barat itu.
Namun demikian, polisi memastikan bahwa kondisi di Manokwari sudah kondusif dan masyarakat tidak perlu khawatir.
"Kita menjamin untuk situasi kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) yang ada, apalagi yang di Manokwari, tidak perlu takut lagi dengan berita-berita hoaks," ujar Kabid Humas Polda Papua Barat, AKBP Mathias Yosia Krey, pada Rabu (21/08).
'Sebenarnya saat kejadian itu kita inginnya keluar dari Manokwari' ujar Parnadi.
Baca: Pasca Rusuh Manokwari, Wapres Berharap Ada Fase Cooling Down
Baca: Pascarusuh, 600 Personel Tambahan Disiagakan di Manokwari dan Sorong
Pada awalnya, saat mendengar ada demonstrasi, Parnadi, pemilik kios fotokopi di Manokwari, tidak khawatir karena menurutnya hal itu "sudah biasa".
Kabar itu sudah ia dengar semalam sebelum aksi berlangsung.
"Saya kira demo damai, tidak anarkis begitu," ujarnya.
Parnadi baru khawatir ketika aksi itu berubah ricuh keesokan harinya.
"Kita khawatir juga, sampai masyarakat masuk, menjarah-jarah. (Ada yang) bawa balok lah, bawa martir," ujarnya.
"Kita punya toko-toko hancur semua. Kita takut juga."
Saat peristiwa berlangsung, ia dan delapan pegawainya bersembunyi di dalam kamar mandi kios fotokopinya selama tiga jam hingga "akhirnya bisa lolos jebol atap, lari ke (atap) seng".
Baru pada hari Rabu atau dua hari setelah peristiwa, Parnadi bersama pegawainya, yang ia sebut masih trauma, mulai memperbaiki kiosnya yang rusak.
Penjarahan juga dialami Katirin, pria paruh baya asli Blitar yang besar di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ia mengaku sudah tinggal di Manokwari selama enam tahun terakhir sebagai buruh bangunan.
"Sebenarnya saat kejadian itu kita inginnya keluar dari Manokwari," ungkap Katirin saat ditanya apa yang ada di benaknya ketika demo berujung ricuh Senin lalu.
"Jujur saja, seandainya saya punya uang, lebih baik saya pulang kampung ke Sulawesi," tambahnya, "akhirnya terjadi begini, jujur saja saya ngedrop."
Ia tidak menyangka tempat tinggalnya di Jalan Gunung Salju, Manokwari, yang menurutnya tidak berada di lokasi utama, turut menjadi target.
Pasalnya, menurut Katirin, sebelum peristiwa tersebut ia merasa aman berada di Manokwari. Bahkan, ia merasa dilindungi masyarakat setempat.
"Saat saya kerja proyek di pedalaman, itu dia sambut kita juga dengan baik walaupun kita pendatang," tuturnya.
"Malah kita merasa dilindungi, maksudnya, kalau ada yang korek kita, itu malah kita dibantu."
Sementara itu, salah seorang warga asli Papua yang tinggal di Kampung Bugis, Distrik Manokwari Barat, Omson Kirmai, terkejut dengan pemandangan yang ia lihat di kampungnya di hari unjuk rasa berlangsung Senin lalu.
"Saya kaget, terus saya lihat dari sini juga ada orang angkat alat-alat tajam, pisau, parang kayu, 'ini ada apa ini?'," tutur Omson.
Ia mengaku tidak menyangka aksi tersebut terjadi di kampungnya yang notabene menjadi tempat bermukim banyak warga pendatang asal Makassar.
"Selama di sini hubungan saya dengan masyarakat orang Bugis di sini aman," ujarnya.
Omson, yang berasal dari suku Arfak, menyayangkan aksi yang menciptakan ketegangan di masyarakat tersebut. Baginya, meski mereka berbeda ras, "kekeluargaan jadi lebih penting, lebih utama".
Ia lantas mengajak warga asli Papua untuk tidak melakukan hal-hal seperti yang terjadi pada aksi yang berakhir ricuh tersebut.
"Kita yang orang Papua yang berada di mana tempat orang pendatang berada, kita jangan melakukan hal-hal yang seperti macam kemarin," ungkapnya.
'Tidak ada yang harus ditakutkan'
Polisi memastikan bahwa situasi di Manokwari sudah kembali aman dan tertib. Hal itu dikatakan Kabid Humas Polda Papua Barat, AKBP Mathias Yosia Krey.
"Masyarakat tidak perlu khawatir dan takut untuk melakukan aktivitas, apabila memang ada rasa kekhawatiran atau rasa ragu, silakan menghubungi kita," tutur Mathias.
Ia juga meminta warga untuk tidak memercayai berita-berita yang belum terkonfirmasi tentang "mungkin ada pengusiran, tidak ada itu".
Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan, meminta warga agar tidak mudah terpancing. Ia pun menyesalkan aksi anarkis yang dilakukan oknum-oknum massa pengunjuk rasa.
"Saya kira kalau demo-demo damai itu kan hal yang biasa, wajar. Tapi jangan merusak," ujarnya.
"Ini kita merusak kita punya kota sendiri. Yang tadinya sudah dibangun, sekarang kita merusak sendiri, kita butuh uang berapa banyak nanti kita bangun kembali."
Sementara itu, ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua, Pendeta Lipiyus Biniluk, berharap tokoh-tokoh agama untuk terus menyebarkan pesan-pesan perdamaian di Papua.
"Jangan bosan-bosan untuk tetap bangun komunikasi damai, bermartabat, bertoleransi, hidup rukun, aman dan damai di mimbar-mimbar agama, di rumah-rumah ibadah," tuturnya kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon, Rabu (21/08).
Lipiyus pun mengimbau agar masyarakat, baik warga asli Papua maupun pendatang, dapat saling menjaga dan tidak membiarkan pihak lain memprovokasi mereka.
"Semua umat, kulit hitam, putih, rambut keriting, lurus, semua memang ciptaan berasal dari Tuhan," ujarnya.
"Semua sama, tidak boleh ada rasisme dalam hal-hal seperti ini."
Baca: Presiden Jokowi Pastikan Papua Kondusif
Baca: Sosiolog: Akar Konflik dan Ketidakpuasan Warga Papua Adalah Industrialisasi dan Eksploitasi Alam
Bilapun ada kasus yang harus dihadapi, Lipiyus meminta aparat penegak hukum untuk dapat menanganinya dengan baik.
"Pihak TNI-Polri dalam menangani hal-hal seperti ini, humanis lah. Artinya, bangun komunikasi, kalau memang salah, diproses secara hukum," pungkasnya.
Sebelumnya, sejak Senin (19/08), aksi unjuk rasa pecah di Manokwari dan Jayapura, hingga kemudian menyebar ke Sorong, Fakfak dan Timika. Mereka menentang hal yang mereka sebut tindakan rasis dan diskriminasi yang diterima sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya, Malang dan Semarang.
Dalam peristiwa yang terjadi di Surabaya, oknum aparat dituding melontarkan kata-kata rasis terhadap para mahasiswa asal Papua di asrama mereka. Selanjutnya, sebanyak 43 mahasiswa ditangkap aparat terkait tuduhan pengrusakan bendera Merah Putih.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.