Ahli: Peran Sofyan Basir Fasilitasi Pemberian Suap Dapat Dijerat Hukum
Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggelar sidang kasus suap proyek pengadaan PLTU Riau-1 yang menjerat terdakwa Sofyan Basir, mantan Direktur Utama PT PLN (Persero).
Pada Senin (26/8/2019) ini, sidang beragenda pemeriksaan saksi. JPU KPK menghadirkan dua ahli. Mereka yaitu, ahli hukum pidana Agustinus Pohan dan Abdul Fickar Hadjar.
Sofyan didakwa membantu mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Golkar Idrus Marham menerima suap dari pengusaha Blackgold Natural Resources Johannes B Kotjo dalam kasus suap proyek PLTU Riau 1.
Dia dikenai Pasal 12 a juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 KUHP.
Baca: KPU: Keputusan Status Pencalegan Mulan Jameela cs Hanya Mengikat Partai Gerindra
Baca: Soal Kebiri Kimia, Wakil Ketua Komisi IX DPR Lebih Setuju Kebiri Permanen
Baca: Usai Kecelakaan, PT KAI DAOP I Jakarta Tutup Perlintasan Sebidang Liar Demi Keselamatan
Abdul Fikar Hajar menjelaskan mengenai penafsiran pembantuan dalam pasal yang didakwakan kepada Sofyan. Menurut dia, pasal 15 pada UU Pemberantasan Korupsi mau tidak mau harus dicantolkan dengan pasal 56 KUHP.
“Untuk kepastian mestinya dijunctokan. Pasal 15 untuk penegasan ancaman pidana,” ungkap Fickar.
Dia mengatakan penetapan juncto itu berlaku karena Sofyan memiliki kewenangan sebagai dirut PLN pada saat kasus terjadi.
Meskipun tidak menerima suap, kata dia, pejabat berwenang dapat dikenai hukum pidana karena secara tidak langsung memfasilitasi suap itu.
Mendengarkan keterangan dari Fickar, Soesilo Aribowo, selaku penasihat hukum Sofyan, belum mengungkap apakah kliennya mengetahui dan berniat membantu suap.
Namun, dia merasa kliennya tidak terlibat. Apalagi, dia menegaskan, di persidangan sebelumnya, pihaknya sudah mendengar kesaksian dari Eni dan Kotjo.
“Dari beberapa kesaksian fakta, tidak ada satu pun yang mengatakan Sofyan mengetahui pemberian Kotjo kepada Eni,” tutur Soesilo.
Sebelumnya, dalam perkara suap proyek PLTU Riau 1 yang menelan biaya USD 900 juta ini, KPK sudah menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka keempat menyusul pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Sofyan diduga menerima janji fee proyek dengan nilai yang sama dengan Eni Saragih dan Idrus Marham dari salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Kotjo.
KPK menduga Sofyan Basir berperan aktif memerintahkan salah satu direktur di PLN untuk segera merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PT PLN, Blackgold Natural Resources Ltd., dan investor China Huadian Engineering Co. Ltd. (CHEC).
Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo.
KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Atas perbuatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Sofyan Basir, Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif, mengatur pertemuan untuk membahas pemufakatan jahat suap kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.
Sofyan Basir mengatur pertemuan antara Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisn Kotjo, dengan jajaran Direksi PT PLN.
JPU pada KPK menjelaskan, Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan Eni, Idrus, dan Kotjo dengan jajaran Direksi PT PLN untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan BNR, Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited yang dibawa oleh Kotjo.
Padahal, kata JPU pada KPK, terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, sehingga Eni, selaku anggota Komisi VII DPR RI dan Idrus menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 4,75 Miliar.
Pada dakwaan pertama, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Ataupun pada dakwaan kedua, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 11 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.