Fadli Zon Menilai Ada yang Salah, Jokowi Naik Motor Trail ke Papua Tapi Tak Didengarkan Rakyat
Buktinya, meskipun Jokowi sudah melakukan pembangunan besar-besaran di sana, rakyat Papua masih tidak puas.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai, ada yang salah dengan strategi pendekatan Presiden Joko Widodo terhadap masyarakat Papua.
Buktinya, meskipun Jokowi sudah melakukan pembangunan besar-besaran di sana, rakyat Papua masih tidak puas.
Pernyataan Fadli ini merespons kerusuhan yang terjadi di sejumlah wilayah Papua beberapa waktu belakangan.
"Ada yang salah dong dari strategi pendekatan kita terhadap Papua. Jadi ada pembangunan di sana, pembangunan infrastruktur, bahkan presiden pakai (motor) trail di sana, tetapi kok rakyat Papua enggak mau dengarkan presiden? Berarti ada yang salah," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (3/9/2019).
Ngantor di Papua
Supaya kerusuhan tidak berlarut-larut, Fadli meminta Jokowi segera mendatangi Papua. Fadli bahkan menyarankan Jokowi untuk berkantor sementara di Papua, supaya tensi kerusuhan mereda.
"Saya minta Pak Jokowi segeralah datang ke sana, berkantor juga di sana," kata dia.
Fadli mendengar kabar bahwa Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bakal berkantor selama sepekan di Papua.
Menurut dia, gestur semacam itu sangat baik untuk menyikapi kondisi Papua saat ini.
"Kalau bisa presiden," kata Fadli.
Pemerintah terus berupaya menstabilkan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat di Papua dan Papua Barat.
Baca: Istana Akan Tangani Aktor Rusuh Papua Benny Wenda Secara Politik, Tidak Militer
Upaya itu dilakukan setelah tensi di Bumi Cenderawasih sempat memanas setelah insiden rasisme serta diskriminasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Kerusuhan terjadi di sejumlah kota, antara lain Manokwari, Fakfak, Sorong, Timika, dan Jayapura.
Bantah Pernyataan Benny Wenda
Selasa kemarin, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULWMP) Benny Wenda sebagai orang yang naif.
Bukan tanpa alasan, ini karena Benny Wenda menuding Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto telah memicu konflik horizontal di Papua-Papua Barat.
Baca: Istana: Benny Wenda Provokator, Aktor Intelektual Aksi Rusuh di Papua
"Itu orang yang naif, ngarang aja," tegas Moeldoko di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Untuk sementara ini, lanjut Moeldoko, pemerintah belum memutuskan langkah lebih lanjut untuk memulangkan Benny yang sudah menetap di Oxford, Inggris.
Moeldoko mengatakan pemerintah baru akan membahas pendekatan politik yang bisa diterapkan kepada Benny. "Rapat nanti mungkin akan dibicarakan," singkat dia.
Sementara itu, Wiranto juga menyebut Benny sebagai orang yang 'ngaco' sejak dahulu. "Sejak dahulu dia memang ngaco," tegas Wiranto di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta.
Wiranto menilai pernyataan Benny terkait dengan kondisi di Papua-Papua Barat adalah kebohongan.
Sebelumnya, Benny menuding Wiranto berupaya memicu konflik horizontal dengan warga Papua.
Benny merespons tuduhan Wiranto yang menyebut dirinya sebagai dalang di balik kerusuhan di Papua.
Tak Ada Referendum
Wiranto menggelar konferensi pers terkait Papua, Selasa (3/9/2019). Dalam konferensi pers tersebut, Wiranto menyatakan, tidak ada referendum untuk Papua dan Papua Barat.
Sementara itu, Wiranto juga berharap agar masyarakat tidak terkecoh dengan berita yang disampaikan tokoh separatis Papua yang diduga sebagai dalang kerusuhan di Papua, Benny Wenda.
Melalui siaran langsung Breaking News Kompas TV, Wiranto mengklarifikasi tuduhan pihak-pihak yang menganggap pemerintah telah bersikap tidak adil terhadap Papua dan Papua Barat.
Selain itu, Wiranto juga mengklarifikasi wacana referendum Papua dan Papua Barat yang beberapa waktu ini digaungkan oleh warga Papua.
Wiranto menyebut, banyak informasi dan tuntutan tentang referendum atau keinginan untuk memisahkan diri dan merdeka dari Indonesia.
Menko Polhukam itu mengatakan, pihak-pihak yang menuntut referendum sebenarnya tidak menyadari apa yang terjadi selama ini.
"Kalau kita berbicara referendum, sebenarnya hukum internasional sudah tidak ada lagi tempat untuk Papua dan Papua Barat disuarakan referendum," kata Wiranto.
Dalam hukum internasional, referendum bukan untuk wilayah yang sudah merdeka, tetapi wilayah Non-Self-Governing Territories.
Misalnya, Timor Timur yang merupakan provinsi seberang lautan dari Portugis. Di PBB, Timor Timur memang bukan wilayah Indonesia.
Karena itu, di sana boleh mengajukan referendum. Namun, Papua dan Papua Barat sudah pernah referendum pada 1969.
"Sesuai prinsip-prinsip Piagam PBB, sudah dilaksanakan satu jajak pendapat yang didukung oleh sebagian besar anggota PBB. Muncul resolusi 2524 yang sah, Papua dan Papua Barat (waktu itu Irian Barat) sah sebagai wilayah NKRI," jelas Wiranto.
"Keputusan PBB tidak bisa bolak-balik ditinjau lagi, ganti lagi, nggak bisa. Sehingga jalan untuk ke sana sebenarnya tidak ada lagi," lanjutnya.
Sebagian artikel ini tayang di Kompas.com dengan judul Fadli Zon: Jokowi Naik Motor Trail ke Papua tetapi Tidak Didengarkan Rakyat, Ini Ada yang Salah