Veronica Koman Dijadikan Tersangka Kasus Rasisme Mahasiswa Papua, Polisi: Dia Melakukan Provokasi
Kapolda Jatim, Irjen Pol Luki Hermawan ungkap alasan mengapa polisi menjadikan Veronica Koman sebagai tersangka atas kasus rasisme mahasiswa Papua.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Miftah
Kapolda Jatim, Irjen Pol Luki Hermawan ungkap alasan mengapa polisi menjadikan Veronica Koman sebagai tersangka atas kasus rasisme mahasiswa Papua.
TRIBUNNEWS.COM - Polisi kembali mengungkap satu tersangka baru dalam kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya beberapa waktu yang lalu.
Kapolda Jatim, Irjen Pol Luki Hermawan mengungkapkan Rabu (4/9/2019), tersangka baru tersebut berinisial VK (Veronika Koman), seorang warga negara Indonesia yang saat ini berada di luar negeri.
"Ternyata dia sangat aktif membuat provokasi di dalam maupun di luar negeri," katanya di Lobby Gedung Tribrata Mapolda Jatim, Rabu (4/9/2019), seperti yang dikutip dari Surya.
Baca: Hadir di ILC, Komika Asal Papua Mamat Alkatiri Berikan Saran pada Jokowi: Selama Ini Kan Abu-abu
Baca: Biodata Veronica Koman yang Jadi Tersangka Kasus Hoaks Rusuh Papua, Pernah Demo Jokowi Soal Ahok
Irjen Pol Luki Hermawan menyebut Veronica Koman ditetapkan tersangka setelah Selasa malam penyidik melakukan gelar perkara.
Dikutip dari Kompas.com, dasar penetapan tersangka selain mendalami bukti di media sosial, juga ada 3 saksi dan 3 saksi ahli.
"Sebelumnya, dia dipanggil 2 kali sebagai saksi untuk tersangka Tri Susanti, namun tidak hadir," terangnya.
Veronica Koman disebut sangat aktif melakukan provokasi di media sosial tentang isu-isu Papua.
Baca: TERKINI Kerusuhan di Papua, Internet Kembali Pulih hingga Ada Tersangka Baru dalam Demo Asrama Papua
Baca: Wiranto: Ada Pihak yang Ingin Papua Kacau Lagi
"Yang bersangkutan sendiri tidak ada di lokasi saat aksi protes bendera di Asrama Papua Surabaya 16 Agustus lalu."
"Saat itu dia dikabarkan berada di luar negeri," terang Luki.
Namun meski tidak ada di lokasi, Veronica melalui akun media sosialnya sangat aktif mengunggah ungkapan maupun foto yang bernada provokasi.
Luki menyebut beberapa postingan bernada provokasi seperti pada 18 Agustus 2019, "Mobilisasi aksi monyet turun ke jalan untuk besok di Jayapura", ada juga "Moment polisi mulai tembak asrama Papua. Total 23 tembakan dan gas air mata".
Baca: Veronica Koman Provokasi Rusuh Papua Melalui Twitter
Baca: Polisi: Surya Anta Ginting Inisiator Demo Referendum Papua di Depan Istana
Selain itu juga ada postingan "Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".
Lalu, "43 mahasiswa Papua ditangkap tanpa alasan yang jelas, 5 terluka, 1 terkena tembakan gas air mata".
Veronica Koman dijerat sejumlah pasal di 4 undang-undang, pertama UU ITE, UU 1 tahun 46, UU KUHP pasal 160, dan UU 40 tahun 2008.
Polri Mengaku Kesulitan Proses Hukum Benny Wenda
Sementara itu, Polri mengaku jika tidak dapat berbuat banyak terkait kasus proses hukum tokoh separatis asal Papua, Benny Wenda yang diduga menjadi dalang kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, kesulitan memproses hukum Benny Wenda disebabkan karena ia merupakan warga negara Inggris dan tempat kejadian perbuatan pidananya berada di London, Inggris, tempat ia bermukim saat ini.
Baca: Legislator PKS: Rusuh Papua Kepentingan Asing
Baca: Veronica Koman Jadi Tersangka Baru Insiden di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya
"BW (Benny Wenda) itu WNA. Kemudian locus (tempat kejadian perkara) dan tempus (tindak pidana)-nya berada di luar negeri. Jelas hukum Indonesia tidak akan menjangkau ke sana," tutur Dedi di Gedung Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan, Selasa (3/9/2019), seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Ketika ditanya apakah Polri akan bekerja sama dengan Interpol untuk mengejar Benny Wenda, Dedi berdalih bahwa hal tersebut bukan ranah Polri, melainkan ranah Kementerian Luar Negeri.
"Ranahnya Kemenlu, Kemenlu sudah mengambil langkah-langkah diplomatis terkait hal tersebut," ujar dia.
(Tribunnews.com/Whiesa)(Surya/Luhur Pambudi)(Kompas.com/Devina Halim/Kontributor Surabaya, Achmad Faizal)