Guru Besar UI: Polri Sudah Tepat Lakukan Red Notice untuk Buru Veronika Koman
Hikmahanto juga menilai Polri sudah tepat melakukan red notice untuk mencari VK di luar negeri.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menila tepat Polri menetapkan aktivis Veronica Koman (VK) sebagai tersangka akibat provokasi yang dilakukannya melalui media sosial terkait rusuh di Papua.
"Polri sudah tepat menetapkan VK sebagai tersangka karena tindakan dia memviralkan kejadian di Surabaya berakibat pada kerusuhan di Bumi Papua," ujar Hikmahanto kepada Tribunnews.com, Kamis (5/9/2019).
"Saya menduga ada niat jahat dari VK yang dengan sengaja mengupload," ucap Hikmahanto.
Selain itu dia menurut dia, Polri tepat sangkaan VK menggunakan UU ITE.
Hikmahanto juga menilai Polri sudah tepat melakukan red notice untuk mencari VK di luar negeri.
Baca: Panglima TNI yang Mampu Membangun Soliditas di Tanah Papua
"Ini tentu tidak terkait dengan kejahatan politik sehingga polisi negara lain akan bersedia untuk melakukan proses penangkapan terhadap VK," jelasnya.
Dia menjelaskan, Polisi di luar negeri akan lebih cepat melakukan penangkapan bila Polri atau pemerintah tahu secara akurat dimana VK berada.
"Informasi ini bila disampaikan ke polisi setempat mereka akan cepat bergerak melakukan penangkapan dan akan mengirim VK ke Indonesia untuk menghadapi proses hukum," jelasnya.
Gandeng Interpol, Polri Buru Veronika Koman
Polri akan bekerja sama dengan Interpol untuk melacak keberadaan aktivis Veronica Koman (VK) karena diduga berada di luar negeri.
Veronica sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka akibat provokasi yang dilakukannya melalui media sosial terkait rusuh di Papua.
"Kalau VK kan masih WNI. Karena keberadaannya di luar negeri, maka nanti dari Interpol akan membantu untuk melacak yang bersangkutan, sekaligus untuk proses penegakan hukumnya," tutur Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (4/9/2019).
Baca: Viral Penemuan Bayi Dikubur Hidup-hidup di Kolong Rumah Warga Kota Palopo, Tengkurap di Lubang 20 cm
Menurut keterangan polisi, konten yang disebarkan Veronica bersifat provokatif dan berita bohong atau hoaks.
Saat ini, penyidik Polda Jawa Timur bersama Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri masih mendalami jejak digital VK.
Berdasarkan hasil sementara, sebagian konten diduga disebarkan dari Jakarta dan sebagian di luar negeri.
"Ada beberapa jejak digital yang masih didalami, masih ada yang didalami di Jakarta dan beberapa yang memang ada di luar negeri. Itu masih didalami laboratorium forensik digital," tutur Dedi.
Sebelumnya, pada Rabu siang, penyidik Ditreskrimsus Polda Jatim menetapkan seorang aktivis perempuan bernama Veronica Koman sebagai tersangka, karena disebut aktif melakukan provokasi melalui media sosial tentang isu-isu Papua.
Kapolda Jatim, Irjen (Pol) Luki Hermawan mengatakan, saat aksi protes perusakan Bendera Merah Putih di asrama mahasiswa Papua, Surabaya, VK diduga berada di luar negeri.
Baca: PP AMPG Puji Kepemimpinan Ketum Golkar Airlangga
"Yang bersangkutan sendiri tidak ada di lokasi saat aksi protes bendera di Asrama Papua Surabaya 16 Agustus lalu. Saat itu dia dikabarkan berada di luar negeri," terang Luki.
Namun meski tidak ada di lokasi, Veronica melalui akun media sosialnya sangat aktif mengunggah ungkapan maupun foto yang bernada provokasi.
Sebagian unggahan menggunakan bahasa Inggris.
Luki menyebut beberapa postingan bernada provokasi seperti pada 18 Agustus 2019, "Mobilisasi aksi monyet turun ke jalan untuk besok di Jayapura", ada juga "Moment polisi mulai tembak asrama Papua. Total 23 tembakan dan gas air mata".
Selain itu, juga ada unggahan "Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".
Lalu, "43 mahasiswa Papua ditangkap tanpa alasan yang jelas, 5 terluka, 1 terkena tembakan gas air mata".
Polisi menjerat Veronica Koman dengan sejumlah pasal pada empat undang-undang yang berbeda, yakni UU ITE, UU 1 tahun 46, UU KUHP pasal 160, dan UU 40 tahun 2008.