Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dewan Pengawas Bisa Diambil dari Mantan Pimpinan KPK

Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai perlu adanya Dewan Pengawas untuk mengawasi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Dewan Pengawas Bisa Diambil dari Mantan Pimpinan KPK
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai perlu adanya Dewan Pengawas untuk mengawasi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hanya saja, Hendri Satrio menyarankan perlu seleksi yang lebih ketat untuk menentukan orang-orang yang bisa duduk dalam Dewan Pengawas.

Calon-calon Dewan Pengawas menurut dia, harus memiliki integritas yang lebih baik karena mereka akan mengawasi kinerja KPK.

Selain itu, orang-orang yang duduk di Dewan Pengawas KPK pun harus punya rekam jejak yang bersih.

Baca: Terkuak Peran 3 Pembantu Aulia Kesuma Bunuh Pupung dan Dana, Awalnya Cuhat ke Mantan ART

Baca: Bom Seberat 125 kg dari pesawat sukhoi terjatuh di kebun tebu warga lumajang

"Pemilihan Dewan Pengawas ini seharusnya lebih sulit daripada pemilihan Capim KPK. Karena mereka akan mengawasi Pimpinan KPK. Harusnya yang lebih berintegritas lagi," ujar pendiri lembaga analisis politik KedaiKOPI ini kepada Tribunnews.com, Jumat (6/9/2019).

Menurut dia, Dewan Pengawas bisa dari mantan pimpinan KPK sebelumnya.

Berita Rekomendasi

"Bisa datang dari mantan-mantan pimpinan KPK yang sebelum-sebelumnya," ujarnya.

9 poin jadi sorotan KPK

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan KPK sedang berada di ujung tanduk.

Penyataan tersebut menyikapi munculnya inisiatif DPR terkait revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Agus membeberkan 9 poin dalam draf revisi UU tersebut yang bakal melemahkan dan bahkan melumpuhkan KPK secara lembaga dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Ketua KPK Agus Rahardjo
Ketua KPK Agus Rahardjo (Tribunnews.com/Fahdi Fahlevi)

Sembilan poin tersbut di antaranya terancamnya independensi KPK, dibatasinya penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, dibatasinya sumber penyelidik dan penyidik, dan penuntutan perkara korupsi yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Baca: Respons Jokowi Sikapi Inisiatif DPR Revisi Undang-Undang KPK

Baca: Lihat Spektakulernya Dua Gol Beto ke Gawang Malaysia di Babak Pertama

Baca: Kapan Puasa Tasua dan Asyura Dilaksanakan? Ini Bacaan Niat Lengkapnya!

Poin lainnya yang dinilai akan melumpuhkan kerja KPK adalah tidak adanya kriteria perhatian publik sebagai perkara yang dapat ditangani KPK, dipangkasnya kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan serta dihilangkannya kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan.

"Sembilan Persoalan di draf RUU KPK berisiiko melumpuhkan Kerja KPK," ujar Agus Rahardjo di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019).

Berikut 9 poin dalam draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK:

1. Independensi KPK Terancam

• KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

• KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat

• Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan

2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi

• Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya

• Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK

• Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup. Sehingga bukti-bukti dari Penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi

• Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan. Padahal dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang

• Polemik tentang Penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan Penyadapan

3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR

• DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih Pimpinan KPK tetapi juga memilih Dewan Pengawas

• Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan dan penyitaan

4. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi

• Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS

• Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri

• Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka Penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone

• Selama ini proses Penyelidikan dan Penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber

5. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung

• KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan Penuntutan Korupsi

• Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara

6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria

• Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat

• Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil

7. Kewenangan Pengambilalihan Perkara di Penuntutan Dipangkas

• Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses Penyelidikan

• KPK tidak lagi bisa mengambil alih Penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK

8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan

• Pelarangan ke luar negeri

• Meminta keterangan perbankan

• Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi

• Meminta bantuan Polri dan Interpol

9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

• Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara

• Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi

• Selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas