Presiden Diminta Jangan Petieskan RUU KPK
Oleh karena itu lembaga antirasuah tersebut harus melibatkan lembaga lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cendekiawan muda berprestasi, Prof. Dr Bambang Saputra mengataka jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin maju maka tidak bisa bekerja sendiri.
Oleh karena itu lembaga antirasuah tersebut harus melibatkan lembaga lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
Apalagi penyidik yang bertugas di KPK juga berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan guna bekerjasama memberantas korupsi.
"Mengenai RUU KPK maka KPK tidak perlu khawatir atau merasa dikebiri atau dibantai. Karena dalam menangani kasus-kasus korupsi di negeri ini, KPK tidak sendirian. Masih ada kepolisian dan kejaksaan yang juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam memerangi korupsi. Saya yakin, sekarang Kepolisian dan Kejaksaan sudah sangat professional dalam menjalankan tugasnya," ujar Prof Bambang Saputra yang dihubungi, Sabtu (7/9/2019).
Baca: KPK Merasa Tak Dilibatkan dalam Revisi UU KPK, Ini Jawaban Komisi III DPR
Guru Besar termuda Indonesia ini memaparkan memasuki era revolusi 4.0, maka tingkat kejahatan korupsi sudah lebih canggih, para koruptor akan lebih licik dalam menjalankan aksi bejatnya.
Oleh karena itu tanpa adanya bantuan dari Polri dan Kejaksaan maka KPK tidak akan bisa berjalan dengan sendirian.
Sehingga dalam menangani kasus-kasus mega korupsi di negeri ini KPK tidak bisa berjalan sendiri, akan tetapi harus bersinergi dengan institusi lain yang memiliki tugas yang serupa.
"Adanya pasal-pasal dalam RUU itu terbaca bahwa di era digitalisasi ini sudah semestinya KPK bersinergi dengan institusi lainnya yang justru memperkuat dan bukan sebaliknya," tandasnya.
Prof Bambang menjelaskan kata “memperkuat” di sini bukan berarti RUU harus dirancang dan dipaksakan untuk membuat KPK menjadi lembaga negara yang superbody.
Bersinergi juga harus dipahami bahwa suatu upaya pemberantasan korupsi itu agar jalannya tidak sempoyongan dan berjalan sempurna, maka harus dilakukan secara konprehensif.
Dari sudut pandang tersebut, maka letak keberhasilan pemberantasan korupsi itu adalah pada pencegahan yang dilakukan sebelumnya, dan bukan penangkapan-penangkapan setelah terjadinya.
"Paradigma inilah (penangkapan) yang sudah semestinya diluruskan. Dalam menangani kasus korupsi keberhasilan KPK adalah pada pencegahannya dan bukan penangkapannya. KPK merupakan suatu lembaga di hulu yang menyadarkan orang-orang agar tidak berlaku korupsi, dan bukan menunggu di hilir untuk menangkapi siapa-siapa yang korupsi," urainya.
"Di sini kita jangan berburuk sangka bahwa RUU ini kepentingan siapa, tetapi yang harus dipahami bahwa RUU yang sekarang itu eksistensinya jauh lebih konprehensif dibanding UU KPK yang lahir sebelumnya," tambahnya.
Lebih lanjut Prof Bambang mengatakan, RUU itu dibuat untuk memperkuat KPK sebagai lembaga anti rasuah, maka kesuksesan KPK dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak terlepas dari peran serta semua elemen bangsa, terutama lembaga-lembaga negera yang lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
Dan, letak kesuksesan KPK dalam memberantas korupsi itu justru karena merangkul lembaga-lembaga lainnya untuk bekerja sama.
Atas dasar itu, sambung Prof Bambang, maka adanya RUU KPK yang konprehensif adalah sebuah keharusan demi perbaikan negeri ini ke depan, pemberantasan korupsi tidak dilakukan hanya sebatas penangkapan-penangkapan yang dianggap sebagai prestasi.
Akan tetapi pencegahan-pencegahan sebelum terjadinya tindakan korupsi itulah yang paling utama. Karena majunya suatu bangsa ditandai dengan tingginya kesadaran masyarakatnya untuk tidak korupsi.
"Hemat saya bapak Presiden Joko Widodo agar tidak setengah hati dalam menyikapi persoalan RUU KPK ini, dan segera memerintahkan menterinya untuk membahas RUU tersebut bersama DPR untuk segera disahkan," tegasnya.
Prof Bambang menilai RU KPK harus segera disahkan karena sebagai sebuah lembaga yang menangani kasus-kasus korupsi yang besar dari sisi restorative justice (keadilan bagi semua pihak) maka sudah sepantasnya KPK memiliki undang-undang yang lebih konprehensif.
Apalagi penanganan korupsi selalu menjadi masalah yang kompleks, maka sudah ideal jika Presiden mengakomodir semua pihak demi kebaikan bersama, dan bukan mempeti-es-kan RUU KPK yang diinisiasi oleh DPR.
"Harapannya, duduk bersama membahasnya adalah langkah dan solusi terbaik yang diambil presiden," paparnya.
Untuk menolak Revisi UU KPK, 5 Pimpinan KPK bahkan harus berkirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, adanya penolakan karena RUU KPK justru melemahkan kinerja KPK sehingga bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia.
Berdasarkan aturan-aturan tersebut menegaskan Indonesia harus memiliki lembaga khusus anti korupsi, yang pelaksanaannya diatur secara khusus dan independen dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Sementara dalam revisi UU KPK, secara spesifik dalam proses penyadapan perlu dilaporakan ke Dewan Pengawas KPK yang bentukannya disusun oleh DPR sendiri.
Setidaknya 9 poin draft revisi UU KPK yang ditolak yaitu: Independensi KPK terancam, Penyadapan dipersulit dan dibatasi,
Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi, Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas,
Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan dan Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.