Ini Alasan Publik Perlu Tolak Revisi UU KPK
Pengamat Hukum C Suhadi menjelaskan ada tiga alasan mendasar publik untuk menolak revisi UU KPK.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Fajar Anjungroso

Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Hukum C Suhadi menjelaskan ada tiga alasan mendasar publik untuk menolak revisi UU KPK.
Salah satunya jika revisi megatur adanya kebijakan SP3, mengatur kewenangan penyadapan, hingga batas nilai korupsi yang bisa ditangani harus rugikan negara lebih dari Rp 1 miliar.
"Sebelum menentukan status tersangkanya, KPK terlebih dahulu melakukan penyelidikan. Jadi tidak gegabah langsung menetapkan tersangka, kecuali tertangkap tangan," ujar Suhadi dalam keterangan tertulis, Selasa (10/9/2019).
"Kalau ada SP3 miris," imbuhnya.
Soal penyadapan, Suhadi menilai DPR tak perlu membatasi KPK dalam aktivitas tersebut dengan menyerahkan kewenangan persetujuannya ke lembaga lain di luar KPK.
Apalagi, tak menutup kemungkinan orang-orang yang masuk dalam badan pengawas malah punya kepentingan lain.
Menurutnya hal ini bisa berdampak pada tidak maksimalnya kinerja KPK. Karena sama saja mengintervensi independensi lembaga antirasuah itu.
"Kebebasan kerja KPK sudah pasti tidak maksimal, karena ada pihak lain yang mengatur atau cawe-cawe yang selama ini menjadi independensi KPK. Sehingga lambat atau cepat lembaga ini tidak bergigi lagi sebagai lembaga antirasuah," ujar Suhadi.
Sedangkan soal pembatasan nilai kasus korupsi yang bisa ditangani KPK hanya di atas Rp 1 miliar, Suhadi menilai hal tersebut tidak tepat.
Baca: Presiden Diminta Jangan Petieskan RUU KPK
Sebab terkadang KPK memiliki informasi terbatas sehingga hanya menjerat pelaku korupsi ratusan juta. Tapi, bisa jadi kasus yang dianggap receh, justru menuntun KPK mengungkap aktivitas korupsi yang rugikan negara lebih besar.
Lebih lanjut kata Suhadi, bila alasan perubahan UU KPK dilakukan demi mengeliminasi kelompok tertentu di internal KPK yang menyalahgunakan kekuasaan, maka semestinya orang-orang tersebut yang diganti. Bukan malah merusak regulasi KPK yang dianggap sudah baik.
"Jangan rumahnya yang diganti namun orang-orangnya yang harus dibenahi," kata dia.
Presiden Joko Widodo juga diharapkan mengambil sikap penuh kehati-hatian agar revisi UU KPK tidak menjadi bom waktu bagi dirinya sendiri.
Jika revisi tersebut hasilnya terbukti melemahkan, publik dipastikan bakal menyalahkan Jokowi ketimbang DPR.
"Kalau hasil revisi melemahkan KPK, saya yakin yang paling banyak disalahkan adalah Presiden, bukan DPR," pungkas Suhadi.