Kritik Fahri Hamzah terhadap KPK: Semua Kena Tangkap, Terus di Mana Upaya Pencegahan?
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah marah-marah di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne ketika berbicara tentang revisi UU KPK.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Malvyandie Haryadi
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah marah-marah di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne ketika berbicara tentang revisi UU KPK.
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah marah-marah ketika dirinya menjadi narasumber di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne, Selasa (10/9/2019).
Fahri Hamzah meradang ketika dirinya membicarakan tentang para pejabat yang takut untuk merevisi UU KPK yang tengah hangat diperbincangkan.
Untuk diketahui, saat ini DPR RI tengah berinisiatif merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Baca: Fahri Hamzah Sebut OTT KPK Hambat Investasi, Sudjiwo Tedjo Tak Sependapat: Banyak OTT Justru Bersih
Baca: Emosi Kritik Pejabat yang Tak Berani Lawan KPK, Fahri Hamzah: Pengecut Semua dari Atas Sampai Bawah!
Dikutip dari acara ILC di akun YouTube TVOne ini, Fahri Hamzah awalnya mengatakan, maksud awal pembentukan KPK itu untuk mengantarkan negara untuk mengakhiri transisi secara cepat.
Kemudian, Fahri menceritakan bagaimana pemberantasan korupsi di Korea Selatan berjalan saat dirinya melakukan kunjungan kerja di sana.
Fahri Hamzah menceritakan bahwa dahulu Korea Selatan memiliki lembaga anti korupsi yang dianggap mirip dengan KPK.
"CICAC berdiri pada tahun 2002 itu saudara kembarannya KPK, Corruption Independent Commussion Against Corruption (Komisi Perlawanan Korupsi) ," ujar Fahri Hamzah.
Namun, kata Fahri, lembaga tersebut di Korea Selatan banyak mendapatkan protes dari masyarakatnya sendiri.
"Tapi tahun 2008 masyarakat sipil datang ke parlemen terutama para pengusaha, mengatakan This is will kill economy, ini akan membunuh ekonomi," ungkapnya.
Adanya protes tersebut, Fahri mengatakan jika lembaga antirasuah di Korea Selatan ini akhirnya diperbaiki.
Fahri menyebutkan jika di tahun 2008, lembaga CICAC diubah menjadi ACRC.
Baca: Fahri Hamzah Marah-marah di ILC, Bentak Pejabat yang Takut Merevisi UU KPK: Pengecut Semua
Baca: Hadir di ILC soal Revisi UU KPK, Fahri Hamzah Bandingkan Jumlah Ongkos Milik Presiden dengan KPK
"Lalu pada 2008 diubah menjadi ACRC (Anti Corruption and Human Right Commision )," ucapnya.
Dirinya juga menceritakan bagaimana tanggapan orang-orang Korea Selatan sendiri ketika lembaga tersebut berganti.
"Saya ketemu berapa kali, bahwa pas mereka ke sini, saya ketemu juga, yang luar biasa dari mereka adalah dia mengatakan begini 'Pemberantasan korupsi itu jika tidak untuk mempersiapkan secara cepat, seluruh institusi penegak hukum untuk bekerja menegakkan hukum dan kita mundur sebagai lembaga complain ban dibilang itu akan menjadi disaster itu menjadi problem'," papar Fahri Hamzah.
Ia pun kemudian menyinggung kepada para pejabat yang takut merevisi UU KPK.
"Sekarang 17 tahun sudah karena kita ini takut semua kan, mulai dari Hakim Mahkamah Konstitusi, Judicial Review," tutur Fahri.
Puncaknya ketika Fahri Hamzah juga menyinggung kepada para media saat memberitakan tentang para anggota DPR yang akan merevisi UU KPK.
"Media-media ini juga nih kelakuannya nih. Corruptor Fight Back, setiap ada upaya kita mau merevisi Corruptor Fight Back. Kayak kita ini maling semua mau berkomplot. Enggak berani kita pakai akal dan otak kita untuk menalar suatu perkara," ujar Fahri.
Dengan nada marah, Fahri pun mengatakan jika ada orang yang bilang pejabat itu tidak takut adalah pengecut.
"Kalau ada orang yang bilang pejabat enggak takut, pengecut ulangi dari atas sampai bawah pengecut semua," kata Fahri dengan nada tinggi.
"Penakut, tidak mau menegakkan sistem, tidak berani terus terang, saya menggugat ini pejabat-pejabat main belakang, terus teranglah sehingga KPK jangan dijadikan public hero," bentak Fahri Hamzah.
Baca: Pernyataan Terbaru Jokowi Sikapi Revisi UU KPK yang Digulirkan DPR
Baca: KPK Mau Dilemahkan? Pimpinan KPK: Perancis Saja Contoh KPK Indonesia
Fahri pun juga meminta agar jangan ada penghukuman moral terus menerus kepada para pejabat.
"Jangan kemudian ada penghukuman moral terus menerus kepada masyarakat, kepada pejabat," ujar Fahri.
"DPR tidak bisa dipercaya, karena ketuanya masuk Sukamiskin, Ketua DPD ditangkap 100 juta masuk Sukamiskin, Ketua MK di Sukamiskin, Ketua MA digeledah kantornya, polisi kena geledah, jaksa kena tangkap, hakim kena tangkap, gubernur, bupati semua kena tangkap, terus mana yang namanya pencegahan?," ungkap Fahri dengan nada emosi.
Dirinya pun menyarankan jika menginginkan untuk memperkuat hukum, ia mengatakan perkuat saja polisi agar seperti KPK.
"Kalau mau memperkuat, teori memperkuat, perkuat polisi tuh suruh dia kayak KPK. Kasih gaji Kapolri seperti gaji Kepala KPK, kasih gaji penyidik Polri seperti gaji penyidik KPK," kata Fahri.
"Sehingga semua orang di seluruh Indonesia ini akan ditangkap. Kepala Desa akan ditangkap dan kita tepuk tangan sambil kita rubuh sebagai negara," ujar Fahri dengan nada emosi.
Kata Abraham Samad
Sebelumnya, mantan Ketua KPK, Abraham Samad ikut buka suara terkait UU KPK yang disetujui oleh Anggota DPR.
Dalam akun Twitter miliknya, Abraham Samad pun menyoroti adanya tiga poin yang dikhawatirkan membahayakan bagi lembaga antirasuah ini.
Baca: Emosi Kritik Pejabat yang Tak Berani Lawan KPK, Fahri Hamzah: Pengecut Semua dari Atas Sampai Bawah!
Baca: Di ILC, Karni Ilyas Akui Kaget Lihat Saut Situmorang Berapi-api Tolak Revisi UU KPK: Keras Juga Ini
Poin pertama, bila KPK berada di bawah eksekutif, maka KPK akan bekerja mengikuti program-program eksekutif.
Misalnya kementerian atau badan yang berada di bawah di bawah kekuasan eksekutif.
Pada situasi ini, kata Abraham Samad, KPK akan mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tipikor.
Padahal, independensi merupakan syarat mutlak sebuah lembaga antikorupsi.
"Kalau di bawah eksekutif, status independensi itu otomatis hilang," tulis Abraham Samad.
Poin kedua yang disoroti Abraham Samad, soal urusan penyadapan.
Menurut Abraham Samad, kegiatan penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas akan melumpuhkan sistem kolektif kolegial Pimpinan KPK.
"Kolektif kolegial 5 Pimpinan KPK itu adalah bagian dari prinsip saling mengawasi," kata dia.
Kemudian, Abraham Samad menjelaskan dalam UU KPK, pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut, sedangkan Dewan Pengawas bukan.
Baca: Saat Wakil Ketua KPK Ancam Karni Ilyas Jika Tak Setujui Ucapannya di ILC: Kalau Gak, Gue Tutup Nih?
Baca: Bicarakan Revisi UU KPK, Saut Situmorang: Draft yang Diberikan Itu Tidak Bisa Kami Terima
Ia menilai, bila izin penyadapan harus melibatkan Dewan Pengawas maka akan menyalahi hukum acara.
"Dewan Pengawas tidak punya kewenangan itu. Ini abuse," lanjut Abraham Samad.
Abraham Samad juga menjelaskan bagaimana alur izin penyadapan yang selama ini dilakukan KPK.
Ada banyak 'meja' yang harus dilewati saat KPK meminta izin melakukan penyadapan, yaitu kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, barulah lima pimpinan KPK.
Sistem kolektif kolegial Pimpinan KPK, kata Abraham Samad, merupakan bagian dari sistem pengawasan tersebut.
Menurutnya, tidak perlu lagi melibatkan badan lain yang semakin memperpanjang alur penyadapan karena berisiko bisa bocor.
"Tdk perlu melibatkan badan lain yg memperpanjang alur penyadapan dgn risiko bisa bocor," paparnya.
Poin ketiga yang disoroti Abraham Samad, soal kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.
Menurut Abraham Samad, bila KPK diberi wewenang SP3, sama saja dengan menyuruh KPK berkompromi dengan korupsi.
"KPK jangan disuruh berkompromi dengan kasus tipikor yang disidiknya dengan memberikan wewenang menerbitkan SP3," tulis pria kelahiran Makassar ini.
Baca: Soal Keberadaan Dewan Pengawas di Revisi UU KPK, Wapres JK Setuju dengan Catatan soal Penyadapan
Baca: KPK Belum Terima Informasi dari Pemerintah atau DPR Terkait Revisi UU KPK
Selama ini, lanjutnya, KPK selalu berhasil mempertahankan pembuktiannya dakam setiap sidang tipikor meski tanpa kewenangan SP3.
Pasalnya, dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di KPK terhubung 'satu atap' dalam satu kedeputian yaitu Kedeputian Penindakan.
Dalam cuitan lain, Abraham Samad menulis, dengan adanya revisi UU KPK ini akan menjadikan KPK sebagai Komisi Pencegahan Korupsi.
"Dan pada akhirnya, KPK hanya menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, tidak lebih. Ini mengkhianati semangat reformasi," tulisnya.
(Tribunnews.com/Whiesa/Sri Juliati)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.