Soal Ontran-ontran KPK, Anwar Budiman: Kembali ke Konstitusi!
Ketentuan menerbitkan SP3, lanjut Anwar, sudah diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang juga menjadi pedoman KPK.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Akademisi yang juga pegiat antikorupsi Dr Anwar Budiman mengimbau semua pihak menahan diri terkait terpilihnya pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru dan rencana revisi Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Semua pihak harus menahan diri, jangan sampai terjadi ontran-ontran (kegaduhan, red). Kita kembalikan ke konstitusi dan undang-undang yang ada,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
Anwar yang juga Ketua Lembaga Pencegahan dan Pengawasan Korupsi (LPPK) ini diminta komentar soal kegaduhan yang mewarnai terpilihnya pimpinan KPK yang baru serta rencana revisi UU KPK.
Pasca-Presiden Joko Widodo menyetujui revisi UU KPK, Selasa (10/9/2019), dan pasca-Komisi III DPR menetapkan Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023, Jumat (13/9/2019) dini hari, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengundurkan diri dari jabatannya, Jumat (13/9/2019) pagi.
Baca: Kronologi Kerusuhan di Depan Kantor KPK, Bermula dari Perusakan dan Pembakaran Karangan Bunga
Jumat (13/9/2019) siang, sekelompok massa yang menamakan diri elemen mahasiswa menggelar aksi demonstrasi di depan gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, yang diwarnai kericuhan. Jumat (13/9/2019) malam.
Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, dan Wakil Ketua KPK demisioner Saut Situmorang di depan awak media menyatakan menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi, dengan dalih situasi yang semakin genting.
Agus merasa saat ini KPK diserang dari berbagai sisi, khususnya menyangkut revisi UU KPK, dan KPK tidak diajak berdiskusi oleh pemerintah dan DPR dalam revisi UU tersebut.
Anwar berpendapat, bila semua pihak berpegang pada konstitusi dan UU, maka ontran-ontran itu sesungguhnya tak perlu terjadi. Sesuai amanat Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kata Anwar, Presiden dan DPR-lah yang berwenang menyusun UU, sehingga revisi UU KPK pun menjadi domain Presiden dan DPR. Bahwa KPK diajak berdiskusi atau tidak, itu hanya soal waktu saja.
“Bila memang Presiden dan DPR belum berdiskusi dengan KPK, mungkin itu hanya soal waktu saja. Pada saatnya nanti Presiden dan DPR saya yakin akan mengundang KPK untuk berdiskusi,” jelas dosen di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, ini sambil menambahkan, sesuai amanat UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, pembuatan UU dilakukan dengan dengar pendapat yang melibatkan masyarakat dan lembaga terkait.
“Jangankan UU, UUD saja dapat diamandemen, kok. Hanya kitab suci yang tak bisa direvisi. Namanya revisi, jelas untuk perbaikan,” lanjutnya sambil menyatakan tak ada UU yang sempurna yang dapat dipakai sepanjang hayat.
“UU itu kontekstual. Bisa saja kemarin dianggap paripurna, tapi hari ini atau esok dianggap sudah tak sesuai. UUD 1945 saja sudah direvisi empat kali, kok,” cetus pria yang juga aktif dalam advokasi kasus perburuhan ini.
Anwar lalu merujuk contoh larangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) tersangka. Dalam draf revisi UU KPK, lembaga ini deberi kewenangan menerbitkan SP3, seperti tercantum dalam Pasal 40 ayat (1) yang berbunyi, "KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun."
Ketentuan menerbitkan SP3, lanjut Anwar, sudah diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang juga menjadi pedoman KPK.
Pasal ini menyebutkan dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, disebabkan karena tidak terdapat cukup bukti, peristiwa yang diperiksa ternyata bukan tindak pidana, dan tersangka meninggal dunia.
“Jangan sampai orang menjadi tersangka bertahun-tahun bahkan sampai meninggal dunia tanpa ada kepastian hukum,” tukasnya sambil merujuk contoh mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Siti Fadjrijah yang menjadi tersangka sampai meninggal dunia, dan mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino yang sudah lebih dari tiga tahun menjadi tersangka namun kasusnya tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan.
Dalam menjalankan tugasnya, tambah Anwar, KPK berpedoman pada lima asas, yakni kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
“SP3 itu untuk kepastian hukum dan proporsionalitas,” cetus doktor ilmu hukum yang siap mendaftarkan diri sebagai calon anggota Dewan Pengawas KPK ini.
Terkait terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang memicu kontoversi bahkan ditolak pimpinan dan pegawai KPK, lagi-lagi Anwar berpendapat harus dikembalikan ke UU.
“Tak ada manusia yang sempurna. Kita juga tidak sedang memilih malaikat untuk memimpin KPK. Yang penting, tidak ada undang-undang yang dilanggar Firli.
Di sisi lain, Firli dan empat pimpinan KPK terpilih lainnya merupakan pilihan Presiden dan DPR yang diamanatkan UU KPK,” paparnya.
Soal aksi demo di KPK yang diwarnai kericuhan, Anwar berpendapat, kalau memang ada yang melanggar hukum harus diproses secara hukum pula, jangan pandang bulu, sesuai prinsip equality before the law (kesetaraan hukum).
“Kalau memang ada demonstran yang melanggar hukum, baik dalam demo mendukung atau menentang KPK, harus diperlakukan sama sesuai prinsip equality before the law,” pintanya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPPK DR Abraham C Hutapea SH MM berharap semua stakeholders di negeri ini, terutama aparat penegak hukum, bisa menciptakan kepastian hukum, salah satunya demi terciptanya iklim kondusif bagi investasi.
“Jangan sampai Indonesia kalah dengan Vietnam gara-gara tak ada kepastian hukum. Banyak investor yang mau berinvestasi di Indonesia tapi mengurungkan niatnya karena situasi kepastian hukum yang kurang memihak, bahkan tak sedikit perusahaan asing yang ada juga hengkang dari Indonesia," tandas Abraham.