DPR Revisi UU Permasyarakatan: Napi Koruptor Boleh Pulang ke Rumah dan Jalan-jalan ke Mall
Selain revisi Undang-undang KPK yang sudah disahkan, ada dua revisi undang-undang yang menuai kontroversi dan tinggal menunggu pengesahan.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah Revisi Undang-undang (RUU) dikebut DPR RI di akhir masa periode 2014-2019.
Selain revisi Undang-undang KPK yang sudah disahkan, ada dua revisi undang-undang yang menuai kontroversi dan tinggal menunggu pengesahan.
Salah satunya yakni RUU Pemasyarakatan.
Dalam Pasal 7 dan 9 Huruf C RUU Permasyarakatan memuat hak tahanan dan narapidana untuk rerkreasi.
Dalam Pasal 9 Poin C diatur mengenai sejumlah hak tahanan misalnya pendidikan, pengajaran, kegiatan rekreasional, serta kesempatan mengembangkan potensi.
Baca: Ambulans yang Sedang Antar Jenazah Tabrak Truk di Tegal, Seluruh Penumpang yang Ikut Mengantar Tewas
Baca: Mama Muda dan Gadis SMA Jadi Sasaran Aksi Pria Misterius Mirip Kolor Ijo, Subuh Jadi Waktu Mencekam
Mereka yang berhak mendapatkan hak tersebut tertuang dalam pasal 10 ayat 1 huruf d.
Yakni narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas:
1. remisi;
2. asimilasi;
3. cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga;
4. cuti bersyarat;
5. cuti menjelang bebas;
6. pembebasan bersyarat; dan
7. hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Anggota Komisi III DPR Muslim Ayub mengatakan bahwa narapidana berhak mengajukan hak cuti bersyarat.
Hak tersebut bisa digunakan untuk pulang ke rumah atau ke mall.
"Itu kan sudah ada, di Pasal 10 sudah jelas bahwasanya hak-hak warga binaan itu sudah ada, hak remisi, asimilasi, cuti bersyarat, kemudian bisa pulang ke rumah, itu bagian dari itu semua. Terserah kalau dia mau cuti di situ, mau dalam arti dia ke mall juga bisa. Iya kan? Kan cuti, bisa ngambil cuti, dan didampingi oleh petugas lapas. Apapun yang dia lakukan itu didampingi oleh petugas lapas," ujar Muslim Ayub, Jumat (20/9/2019).
Terkait lamanya cutinya, dan peraturan teknis lainnya menurut Muslim, akan diatur dalam peraturan pemerintah.
"Peraturan Pemerintah PP-nya ini akan keluar nanti dalam bentuk apa cuti itu, berapa lama, akan diatur nanti. Kita tidak bisa memastikan cuti itu berapa lama, dalam sebulan itu berapa kali dia cuti, satu tahun berapa kali, itu diatur dalam PP. kan hanya global saja kita buat aturan itu," katanya.
Muslim tidak khawatir bila cuti bersyarat tersebut disalahgunakan oleh narapidana, seperti penyalahgunaan izin berobat.
Ia tidak khawatir juga narapidana dan petugas Lapas bekerjasama menyalahgunakan cuti bersama itu.
"Itu tinggal begini aja, tinggal jati diri seorang petugas itu, dia mau bermain di situ atau tidak. Sebab, UU ini kita buat dengan segala pemikiran, dengan segala, dalam arti kita nggak berpikir yang lain-lain lah. Tergantung implementasi dari petugas itu, mau gimana dia bawanya? Kalau dia melakukan yang tidak baik kan ada aturannya itu dilarang, dia harus siap dengan risiko," pungkasnya.
Bikin koruptor senang
Pakar hukum tata negara yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, revisi sejumlah undang-undang yang dikebut DPR bersama pemerintah beberapa waktu belakangan merupakan cara eksekutif dan legislatif memuluskan jalan koruptor.
Rancangan undang-undang yang dimaksud antara lain Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, hingga rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Jika semua RUU itu disahkan, negara seolah lebih berpihak kepada koruptor.
"Saya yakin kalau paket undang-undang ini semua jebol, tentu saja rezim berubah bentuk, menjadi lebih pro-koruptor dan tidak memihak publik," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (20/9/2019).
Baca: Laode M Syarif Beberkan Kondisi Internal Pasca Pengesahan RUU KPK: Banyak yang Menangis
Baca: Wawancara Khusus dengan Masinton Pasaribu, Inisiator Revisi UU KPK: Kami Ingin Kembalikan Fungsi KPK
Feri menyebut, perubahan aturan dalam beberapa undang-undang tersebut bakal memperkuat tindak pidana korupsi sekaligus melemahkan pemberantasannya.
Misalnya saja, dalam RUU KPK yang baru disahkan Selasa (17/9/2019), ada ketentuan pembentukan dewan pengawas yang salah satu tugasnya memberi izin penyidikan kepada KPK.
Selain itu, UU KPK hasil revisi memberi kewenangan KPK menghentikan penyidikan (SP3) apabila penyidikan tak selesai dalam 2 tahun.
Sementara itu, dalam RUU Pemasyarakatan, salah satu poinnya menyebutkan tentang pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya kasus korupsi.
RUU tersebut menghilangkan ketentuan bagi aparat penegak hukum, yakni KPK, memberikan rekomendasi bagi napi koruptor yang mengajukan hak remisi hingga pembebasan bersyarat.
Dalam Pasal 12 Ayat (2) UU Pemasyarakatan sebelum revisi, ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sementara itu, PP Nomor 99 Tahun 2012 memperketat pemberian hak remisi dan pembebasan bersyarat, yakni jika seorang narapidana kasus korupsi menjadi justice collaborator serta mendapat rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca: Hasil Revisi UU KPK Akan Diuji Materi ke MK
Dalam draf UU Pemasyarakatan yang sudah direvisi, tidak lagi terdapat ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Menurut Feri, RUU-RUU ini menjadi "paket" yang sudah lama dinantikan para koruptor.
Sebab, tidak hanya KPK sebagai aparat penegak hukum yang diperlemah melalui revisi UU KPK, tetapi juga pembebasan koruptor dipermudah melalui RUU Pemasyarakatan.
"Bahwa ini paket yang ditunggu-tunggu para koruptor karena semuanya tersusun rapi, dari yang mau koruptor, sedang berjalan kasusnya, yang sudah koruptor, terus semuanya mendapatkan paket yang menguntungkan," ujar dia.
"Karena itu kerja-kerja yang jelas sekali arahnya ke mana, dan pasti yang menikmati adalah koruptor, bukan publik," kata Feri lagi.