Level Indeks Standar Pencemaran Udara Kini Berada di Level Berbahaya #BantuMerekaBernapas
Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai lembaga kemanusiaan terdepan telah melakukan kolaborasi untuk terus memantau dan melakukan kolaborasi dengan berbagai
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai lembaga kemanusiaan terdepan telah melakukan kolaborasi untuk terus memantau dan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak salah satunya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Hingga saat ini, jumlah hutan dan lahan yang terbakar di seluruh Indonesia mencapai 328.722 ha dengan luas daerah bahaya hingga 86.455.896 ha bila dilihat pada situs Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Data dari Climate Early Warning System (CEWS) BMKG pun menggambarkan sebaran titik panas di Indonesia saat ini paling banyak berada di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Dodo Gunawan selaku Kepala Informasi Pusat Perubahan Iklim mengatakan, hal tersebut dipengaruhi oleh puncak kemarau yang tengah berlangsung dan ditambah oleh fenomena El Nino yang cukup berpengaruh.
Dari pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika per Kamis (19/9) pukul delapan pagi, kualitas udara di beberapa kota terdampak asap kebakaran lahan dan hutan masih berada di level tidak sehat, bahkan lebih. Di Pekanbaru, Riau misalnya.
Baca: Ratusan Anggota Kajian Musawarah dan ACT Tingkatkan Kolaborasi Kemanusiaan di #IndonesiaDermawan
Pagi ini kualitas udara dengan kosentrasi PM10 atau partikulat yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron, berada di sangat tidak sehat. Kota lain di Sumatra, seperti Jambi, kualitas masih berada di level sedang.
Sebelumnya, pada Kamis dini hari tadi, berada di level sangat tidak sehat. Lain hal dengan di Palembang. Grafik yang dipublikasi BMKG menunjukkan kenaikan level Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), dan kini berada di level berbahaya.
“Jadi saat ini musim kemarau, kondisinya kering, tidak ada hujan, dan kondisi ini juga cukup panjang. Jadi dengan kondisi seperti itu, dapat memicu mudahnya lahan terbakar. Apalagi di tempat-tempat yang saat ini banyak kebakaran hutan dan lahan itu memang lahannya gambut. Jadi itu sangat mudah sekali dan sangat rentan,” ujar Dodo di Gedung BMKG, Jakarta Pusat.
Banyak daerah sekarang ini juga berada dalam keadaan darurat asap. Ia mencontohkan Pekanbaru yang pada saat itu nilai ambang batasnya berada di atas 150 mikron. Menggunakan indikator partikulat (PM10) dari BMKG, kualitas PM10 yang lebih dari 150 mikron dapat dikatakan berbahaya.
“Jadi nilai ambang batas yang diperkenankan untuk PM10 itu 150 mikron. Nah, melebihi nilai (150 mikron) itu, berbahaya untuk kesehatan. Jadi itu yang menyebabkan darurat asap karena konsentrasi dari PM10 yang sudah melebihi ambang batas, sehingga berbahaya untuk kesehatan. Dan itu kita lihat tadi ada di provinsi dengan jumlah hotspot (titik panas) yang sangat banyak,” terang Dodo.
Baca: Kabut Asap Ganggu Aktivitas Pelayaran di Berau
Dodo mengatakan, sejauh ini pemerintah sudah mengantisipasi dampak kabut asap seperti dengan membuat hujan buatan, ataupun mengadakan pemadaman langsung dan water bombing.
“Bila hujan dating maka akan sangat efektif menghadapi kondisi sekarang. Di lahan yang sifatnya gambut, kalau kurang air untuk memadamkannya, cuma permukaannya saja yang padam, tapi di bawahnya masih tetap ada api. Jadi asap akan tetap keluar walaupun api di permukaannya sudah hilang. Beda dengan kebarakan di tanah yang biasa,” kata Dodo.
Dr. Muhammad Riedha dari Tim Medis Aksi Cepat Tanggap (ACT) menambahkan, kabut asap yang terjadi di sebagian Sumatra dan Kalimantan saat ini sangat berbahaya bagi kondisi kesehatan masyarakat. Asap yang menyebar dapat menimbulkan efek langsung pada kesehatan. “Dampaknya bisa berpengaruh pada iritasi mata, hidung, tenggorokan, juga alergi kulit,” ungkapnya.
Selain itu, tambah dr. Riedha, infeksi saluran pernapasan atau ISPA dan penyakit alergi seperti asma juga lebih mudah muncul. Dampak asap terhadap kesehatan juga sangat berpengaruh pada kelompok usia rentan seperti bayi-balita, orang lanjut usia, ibu hamil dan menyusui. Asap yang mengandung polutan berbahaya dapat berpengaruh pada kesehatan mereka. “Selain melalui udara yang dihirup alat pernapasan, polutan yang terbawa asap bisa juga jatuh ke aliran air atau makanan yang kemudian dikonsumsi makhluk hidup,” tambah dr. Riedha.
Saat ini, tim medis ACT sedang melakukan pelayanan medis bagi warga terdampak bencana kabut asap di Riau dan Kalimantan Barat. Tak hanya itu, tim tanggap darurat hingga posko bencana asap ACT juga turut bersiaga. Hal ini sebagai bukti nyata ACT dalam proses pemadaman api serta menampung bantuan dari masyarakat untuk kemudian disalurkan ke warga terdampak.
Kampanye #BantuMerkaBernapas menjadi semangat dalam menghidupkan kembali kebersamaan dalam aksi-aksi kebaikan. Semangat kebersamaan ini yang akan terus dihidupkan melalui Gerakan Nasional #IndonesiaDermawan yang digalakkan oleh ACT dengan mengajak seluruh bangsa untuk memberikan kontribusi terbaiknya. Gerakan #IndonesiaDermawan adalah gerakan inklusif yang berusaha mengajak publik berkontribusi menyelesaikan permasalahan kemanusiaan di Indonesia dan dunia berupa advokasi dan implementasi nilai-nilai kedermawanan ke seluruh masyarakat. (*)