KPK Jebloskan Mantan Deputi IV Kemenpora ke Lapas Tangerang
KPK mengeksekusi mantan Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Mulyana ke Lapas Kelas I Tangerang, Banten, Senin (30/9/2019).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeksekusi mantan Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Mulyana ke Lapas Kelas I Tangerang, Banten, Senin (30/9/2019).
"KPK telah melakukan eksekusi terhadap terpidana Mulyana ke Lapas Kelas I Tangerang pada hari Senin (30/9/2019)," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Senin (30/9/2019).
Eksekusi dilakukan setelah putusannya berkekuatan hukum tetap.
Baca: Massa Serang Polisi dengan Petasan dan Batu dari Arah Plaza Semanggi
Baca: Musisi Harap Jokowi Hadir dan Bermain Musik Dalam Konser Persatuan Indonesia di Cibubur
Baca: Massa #SemarangMelawan Duduki Teras Gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah
Baca: Jokowi Pertimbangkan Terbitkan Perppu KPK, Margarito Kamis: Apa yang Genting ?
Untuk diketahui, Mulyana telah divonis 4 tahun dan 6 bulan penjara karena dinilai terbukti menerima suap berupa satu unit mobil Fortuner, uang Rp400 juta dan satu unit ponsel Samsung Galaxy Note 9 senilai total sekira Rp900 juta.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Mulyana telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama. Menjatuhkan terdakwa Mulyana dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan," Ketua Majelis Hakim Mochamad Arifin saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Vonis itu berdasarkan dakwaan pertama Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Putusan terhadap Mulyana itu lebih rendah daripada tuntutan JPU KPK yang menuntut Mulyana selama 7 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim juga menyatakan terdakwa Mulyana tidak memenuhi syarat untuk menjadi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
Kabulkan permohonan justice collabolator
Mantan Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga, Mulyana, meminta majelis hakim meringankan hukuman dan mengabulkan permohonan sebagai Justice Collaborator (JC).
"Mohon majelis yang mulia memutuskan hukuman yang seadil-adilnya dan seringan-ringannya. Harapan majelis hakim mengabulkan permohonan JC, sehingga saya dapat menjalani hukuman dengan baik dan dapat segera kembali ke masyarakat," kata Mulyana saat membacakan pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Pada saat membacakan pembelaan, dihadapan majelis hakim, dia mengaku menerima sejumlah pemberian berupa uang untuk Tunjangan Hari Raya Rp 300 juta, HP Samsung, dan ATM BNI yang dalam fakta persidangan disebut sebesar Rp 100 juta.
Baca: Diupahi Rp 500 Juta, 2 Eksekutor Pembunuhan Sukabumi Malah Tak Jadi Membunuh Usai Alami Hal Janggal
Baca: Emil Salim Meminta Jokowi Menerima Kritik dan Saran Terkait Rencana Pemindahan Ibu Kota
Baca: TERKINI Kerusuhan di Jayapura Papua: Kronologi Kerusuhan hingga Wiranto Tanggapi Tuntutan Referendum
Uang dan barang itu diberikan mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KONI, Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI, Johny E Awuy.
Pemberian uang itu sebagai bentuk terima kasih karena mengurus proposal dana hibah dari Kemenpora kepada KONI.
Dalam persidangan, Mulyana mengaku menyesal atas penerimaan tersebut yang membuat dirinya harus menerima konsekuensi.
Dia meminta keringanan hukuman karena sejumlah hal.
Pertama, masih memiliki tanggungan lima orang anak dan ibu.
Baca: Aulia Kusuma, Otak Pembunuh Suami dan Anak Tiri Tutupi Muka Saat Digiring ke Polda Metro Jaya
Baca: Polisi Jemput Tersangka Pembunuhan di Pasar Unit 2 Tulang Bawang
Kedua, sudah bersikap terbukan kooperatif, dan jujur selama persidangan.
Ketiga, dia telah mengungkapkan tidak ada niat sedikitpun untuk korupsi dan mengambil uang negara.
Keempat, dia mengaku sudah mengembalikan seluruh penerimaan kepada KPK.
"Kelima, saya tidak mempercepat proses pencairan proposal. Keenam, saya tidak mengetahui tentang komitmen fee," ujarnya.
Ketujuh, dia mengaku berjasa atas sukses penyelenggaraan dan prestasi Asian Games 2018 dan Asian Paragames 2018, di mana dalam sejarah, Indonesia menduduki peringkat lima besar Asia.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Mantan Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) bidang Peningkatan Prestasi Olahraga, Mulyana, pidana penjara 7 tahun serta pidana denda senilai Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
JPU pada KPK menuntut Mulyana karena menerima suap Rp 400 juta. Suap tersebut diberikan oleh Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johny E Awuy.
Baca: Meguro Parasitological Museum di Tokyo Pamerkan Parasit pada Makhluk Hidup
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah meyakinkan bersama melakukan tindak pidana korupsi secara lebih lanjut sesuai dakwaan alternatif pertama yang terbukti melanggar Pasal 12 a UU Tipikor," kata JPU pada KPK, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Mulyana diduga menerima uang dan barang bersama-sama pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Kemenpora Adhi Purnomo dan staf Kemenpora Eko Triyanto.
Mulyana diduga menerima Rp 100 juta dalam kartu ATM terkait pencairan hibah untuk KONI tersebut. Selain itu, Mulyana diduga menerima mobil Toyota Fortuner, uang Rp 300 juta, dan ponsel Samsung Galaxy Note 9.
JPU pada KPK mengungkapkan pemberian uang, mobil dan ponsel itu diduga agar Mulyana membantu mempercepat proses persetujuan dan pencairan dana hibah Kemenpora RI yang akan diberikan kepada KONI pada Tahun Anggaran 2018.
Selama persidangan, kata JPU pada KPK, terdakwa cukup kooperatif, mengakui perbuatan dan membantu penuntut umum dalam menerangkan perkara ini. Namun, hal itu tidak cukup untuk mengabulkan sebagai Justice Collaborator (JC).
"Berdasarkan SEMA 4 angka 9 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama, namun permohonan JC belum memenuhi syarat yang diajukan terdakwa untuk dapat dikabulkan," kata JPU pada KPK.