Disebut Bahas Kasus BLBI Bersama Hakim MA, Ini Klarifikasi Pengacara Syafruddin Arsyad Temenggung
Mahkamah Agung (MA) menyatakan hakim Syamsul terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengacara Ahmad Yani membantah melakukan pertemuan dengan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi, Syamsul Rakan Chaniago, untuk membahas kasus dugaan korupsi perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI).
Mahkamah Agung (MA) menyatakan hakim Syamsul terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Hal ini karena Syamsul mengadakan kontak hubungan dan pertemuan dengan pengacara Syafruddin Arsyad Temenggung di salah satu cafe di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019 pukul 17.38 WIB sampai dengan pukul 18.30 WIB.
Syamsul merupakan hakim MA yang mengabulkan kasasi terdakwa kasus dugaan korupsi terkait surat keterangan lunas bantuan likuiditas Bank Indonesia, Syafruddin Arsyad Temenggung.
Syafruddin merupakan mantan ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu, sebelumnya divonis 15 tahun penjara di tingkat banding.
"Saya menyatakan tidak ada sama sekali hubungan yang saya lakukan dengan Syamsul Rakan Chaniago terkait perkara pada tingkat kasasi dalam kasus BLBI yang menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT,-red)" kata Ahmad Yani, dalam sesi jumpa pers di Jakarta Pusat, Kamis (1/10/2019).
Bagi Ahmad Yani, Syamsul bukan orang baru.
Mantan anggota komisi III DPR RI itu mengaku sudah mengenal Syamsul sejak sama-sama bernaung di salah satu organisasi advokat.
Di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019, dia mengaku secara tidak sengaja bertemu dengan Syamsul.
Pada saat itu, dia menegaskan, sedang bersama awak media untuk melakukan wawancara interaktif dan seketika pada itu Syamsul sedang berada di dalam cafe tersebut.
"Dan akhirnya, saya bertegur sapa secara on the spot pada moment tersebut. Sejatinya moment sebagaimana dimaksud, terjadi di tempat yang ramai (terbuka,-red), yang dapat diekspose oleh siapapun, bukan di tempat yang tertutup (privat,-red)," ungkapnya.
Meskipun secara tidak sengaja bertemu dengan Syamsul, namun, dia menegaskan di pertemuan itu tidak membahas mengenai kasus BLBI.
Dia mengklaim tak mengetahui jika Syamsul merupakan hakim pada tingkat kasasi yang memeriksa/mengadili/memutus perkara kasasl BLBI atas nama terdakwa SAT.
Adapun, kata dia, materi pembicaraan itu mengenai pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 lalu.
Selain itu, dia menegaskan, dirinya tidak ikut terlibat secara aktif dan partisipatif di tim kuasa hukum SAT, khususnya pada saat pengajuan upaya hukum kasasi di MA. Di mana pada saat itu, sedari awal pengajuan upaya hukum kasasi tersebut.
"Saya memang sudah memohon izin, baik kepada tim kuasa hukum dan khususnya kepada SAT, untuk tidak dapat terlibat lebih jauh di dalam proses pengajuan upaya hukum kasasi tersebut, dikarenakan pada kurun waktu tersebut saya sedang memprioritaskan proses pencalegan mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dari Partai Bulan Bintang untuk daerah pemilihan DKI Jakarta I periode 2019-2024," tambahnya.
Sebelumnya, MA melalui juru bicaranya, Andi Samsan Nganro menyatakan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi, Syamsul Rakan Chaniago, terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Hakim Syamsul Rakan Chaniago masih tercantum atas namanya di kantor lawfirm, walaupun yang bersangkutan sudah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor pada MA.
Selain itu Syamsul juga mengadakan kontak hubungan dan pertemuan dengan pengacara Syafruddin, Ahmad Yani, di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019 pukul 17.38 WIB sampai dengan pukul 18.30 WIB.
Atas alasan tersebut Syamsul Rakan Chaniago dikenakan sanksi etik.
Sebagai terlapor yang bersangkutan dikenakan sanksi sedang berupa hakim non-palu selama 6 bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf b Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY No. 02/PB/MA/IX/2012-02 /BP/P-KY/09/2012.
Sebelumnya, putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 24 September 2018 yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Syafruddin Arsyad Temenggung.
Pada 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis Syafruddin menjadi pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Namun Syafruddin mengajukan kasasi ke MA. Di sini majelis hakim kasasi membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 29/PID.SUS-TPK/2018/PT DKI tanggal 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST. tanggal 24 September 2018.
KPK Kaget
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku terkejut ketika mengetahui Hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi Syamsul Rakan Chaniago diputus telah melanggar kode etik dan perilaku hakim oleh Mahkamah Agung (MA).
Syamsul merupakan salah satu majelis hakim kasasi yang menangani kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumengung.
Menurut MA, Syamsul telah terbukti melakukan pelanggaran dengan berkomunikasi dan bertemu dengan salah satu pengacara Syafruddin bernama Ahmad Yani.
"Memang cukup mengejutkan juga ketika terbukti Hakim Agung bertemu dan berhubungan dengan pengacara terdakwa, apalagi untuk kasus sebesar ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Minggu (29/9/2019).
Baca: KPK Sesali Lambannya MA Serahkan Salinan Putusan Lengkap Syafruddin Arsyad Temenggung
Baca: KPK Siap Bantu KY Usut Dua Hakim MA Pembebas Syafruddin Arsyad Temenggung
Menurut Febri, informasi dari MA ini akan menjadi lembaran baru perkara BLBI. Atau setidaknya, kata dia, memperjelas beberapa kontroversi dan keraguan sebelumnya.
"Semoga sanksi tersebut semakin memperjelas persoalan sebelum putusan lepas tersebut diambil di MA," katanya.
Hingga saat ini, disampaikan Febri, KPK belum juga menerima putusan kasasi milik Syafruddin. Padahal, pihaknya telah terus-menerus berkirim surat ke MA untuk meminta putusan kasasi kasus BLBI itu.
"KPK akan pelajari lebih lanjut. Padahal putusan itu penting untuk menentukan langkah KPK berikutnya," ujar Febri.
"KPK akan segera membicarakan perkembangan terbaru kasus BLBI ini. Kami pastikan KPK serius dan berkomitmen mengusut kasus dg kerugian negara Rp 4,58 triliun ini, khususnya penyidikan yang berjalan saat ini dan juga tindak lanjut pasca putusan kasasi 9 Juli 2019 lalu," imbuhnya.
Sebelumnya, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan Syamsul telah terbukti melakukan pelanggaran dengan berkomunikasi dan bertemu dengan salah satu pengacara Syafruddin bernama Ahmad Yani.
"Sudah diputuskan oleh tim pemeriksa MA dengan putusan bahwa saudara Syamsul Rakan Chaniago dipersalahkan," ujar Andi kepada wartawan, Minggu (29/9/2019).
Pertemuan dilakukan pada Jumat, 28 Juni 2019, sekira pukul 17.38 WIB sampai dengan pukul 18.30 WIB di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
"Yang bersangkutan juga mengadakan kontak hubungan dan pertemuan dengan saudara Ahmad Yani, salah seorang penasihat hukum terdakwa SAT. Padahal saat itu yang bersangkutan duduk sebagai hakim anggota, pada majelis hakim terdakwa SAT," kata Andi.
Selain itu, Syamsul juga melakukan pelanggaran dengan masih membuka kantor hukum yang didalamnya tercantum nama Syamsul.
"Di kantor law firm masih tercantum atas namanya, walau yang bersangkutan sudah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor pada MA," ujar Andi.
Atas perbuatannya itu Syamsul dihukum selama 6 bulan tidak menangani perkara.
Perbuatan Syamsul dianggap telah melanggar Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial, Pasal 21 huruf b. Pasal itu tentang sanksi sedang berupa non palu paling lama 6 bulan
“Sebagai terlapor dikenakan sanksi sedang berupa, hakim non-palu selama 6 bulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf b Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY No. 02/PB/MA/IX/2012 - 02 /BP/P-KY/09/2012," kata Andi.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Antikorupsi melaporkan dua hakim anggota majelis hakim kasasi terdakwa Syafruddin. Keduanya yaitu Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Askin.
Mereka dilaporkan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Mereka menganggap keduanya diduga melanggar KEPPH poin 2 tentang kejujuran, poin 8 tentang disiplin tinggi, dan poin 10 tentang profesionalitas. Namun sejauh ini, hasil sidang itu memutuskan Syamsul melanggar aturan.
Koalisi melaporkan keduanya karena keputusannya dalam kasasi Syafruddin dianggap janggal.
Vonis itu diketuk oleh Ketua Majelis Hakim Salman Luthan dengan 2 anggota majelis, Syamsul Askin. Dalam vonis tersebut terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion). Artinya, putusan untuk membebaskan Syafruddin itu tidak bulat.
Hakim anggota I, Syamsul berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan anggota 2, Prof Mohamad Askin, berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum adminsitrasi. Sedangkan Hakim Salman menganggap perbuatan Syafruddin terbukti korupsi.