Pemerintah Diminta Dorong Kajian Ilmiah Terkait Produk Tembakau Alternatif
Kajian ilmiah perlu dilakukan untuk meluruskan opini negatif yang sudah terbentuk karena minimnya fakta terhadap produk tembakau alternatif
Editor: Eko Sutriyanto
Riset itu menyatakan produk tembakau alternatif, tepatnya produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen daripada rokok.
Regulasi Produk Tembakau Alternatif
Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dan Pengamat hukum, Ariyo Bimmo, mengharapkan pemerintah untuk merumuskan regulasi bagi produk tembakau alternatif yang terpisah dan tidak seketat regulasi rokok.
Sebab, saat ini sudah banyak peredaran produk tembakau alternatif di publik.
Namun, pemerintah belum memiliki regulasi yang mengatur dalam penjualan, penggunaan, dan pengawasan.
Dampaknya yang sudah terjadi adalah penyalahgunaan produk ini untuk narkoba.
“Regulasinya tentunya berperan penting untuk menjamin keamanan dalam penggunaan produk ini, tapi jangan sampai menghalangi potensi manfaat yang dimiliki. Regulasi tersebut tentunya harus mencakup batasan usia bagi pembeli, penjualan, iklan, dan promosi, sehingga masyarakat pun mengonsumsi produk yang legal dan aman,” kata Ariyo.
Ariyo juga menyarankan pemerintah memberikan insentif fiskal bagi produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik.
Baca: Cukai Rokok Naik, Simplifikasi dan Penggabungan SPM-SKM Dinilai Tak Perlu
Tarif cukai 57 persen bagi Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) terlampau sangat tinggi, sehingga menyebabkan harga dari produk ini begitu mahal.
Kondisi menyulitkan para perokok yang ingin beralih ke produk tembakau memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.
“Kembali lagi, pemerintah dapat berguru dari Inggris dan Selandia Baru yang memberikan insentif fiskal untuk produk tembakau alternatif. Harga produk tersebut lebih rendah dari rokok sehingga para perokok beralih ke produk tembakau alternatif. Jika masih mahal, perokok akan sulit pindah ke produk yang minim akan risiko kesehatan ini,” tutup Ariyo.