Tujuh Catatan Imparsial Untuk HUT Ke-74 TNI
Imparsial menilai, saat ini proses reformasi TNI mengalami stagnasi dan dalam sejumlah aspek bisa dikatakan malah mengalami kemunduran
Penulis: Gita Irawan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-74 pada Sabtu (5/10/2019) besok.
Terkait momentum tersebut, Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di sektor pertahanan dan keamanan serta hak-hak asasi manusia, Imparsial, menyampaikan ucapan selamat dan sekaligus apresiasi kepada seluruh prajurit TNI atas perannya selama ini dalam menjaga pertahanan negara Indonesia.
Baca: Sosok Prada Budi, Putra Rimba yang Jadi TNI AD, Kisah dan Videonya Pulang Kampung ke Hutan Viral
Imparsial memandang momentum 74 tahun perjalanan TNI tidak cukup hanya diperingati melalui kegiatan yang bersifat seremonial melalui upacara atau kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya simbolis.
Namun, jauh lebih penting dan substansil jika Hari Jadi TNI juga digunakan sebagai momentum bagi TNI untuk berbenah diri terutama dalam mendorong kembali proses reformasi TNI.
Inparsial mengakui, proses reformasi TNI yang mulai dijalankan sejak tahun 1998 diakui memang telah menghasilkan sejumlah capaian positif antara lain pencabutan peran sosial-politik TNI, keluarnya TNI/Polri dari parlemen, dan penghapusan bisnis TNI.
Namun demikian, Imparsial menilai semua pencapaian yang diraih pada tahun-tahun awal politik transisi Indonesia itu tidak menandakan bahwa proses reformasi TNI bisa telah tuntas dijalankan.
Imparsial menilai, saat ini proses reformasi TNI mengalami stagnasi dan dalam sejumlah aspek bisa dikatakan malah mengalami kemunduran.
Berikut tujuh catatan Imparsial terkait agenda reformasi TNI yang menjadi pekerjaan rumah yang harus didorong dan dijalankan oleh pemerintah ke depan:
Pertama, kehadiran militer yang semakin meluas di ranah sipil.
Imparsial menilai, satu di antara agenda reformasi TNI pada tahun 1998 adalah membatasi ruang keterlibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri.
Namun, berbagai MoU antara TNI dengan beberapa kementerian dan instansi belakangan ini marak dibentuk dan sering digunakan sebagai landasan bagi pelibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri.
Imparsial menilai, hal itu merupakan langkah keliru dan jelas bertentangan dengan UU TNI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Berdasarkan catatan Imparsial, setidaknya terdapat 30 MoU antara TNI dan kementerian dan instansi lain telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI atau operasi militer selain perang," kata Peneliti Imparsial Annisa Yudha saat membacakan keterangan pers catatan Imparsial terkait HUT Ke-74 TNI di Kantor Imparsial Jakarta Selatan pada Jumat (4/10/2019).
Kedua, hadirnya rancangan regulasi dan kebijakan keamanan yang mengancam Demokrasi dan hak asasi manusia.
Imparsial menilai setidaknya terdapat dua Undang-Undang yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia yakni UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN) untuk Pertahanan Negara dan revisi UU Terorisme yang telah disahkan menjadi UU Nomor 5 tahun 2018 juga menghambat reformasi TNI terkait Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
Ketiga, reformasi sistem peradilan militer.
Imparsial menilai, agenda reformasi TNI lain yang hingga kini belum dijalankan adalah reformasi sistem peradilan militer melalui melalui perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Bahkan, menurut Imparsial agenda ini merupakan salah satu jantung dari reformasi TNI.
Imparsial menilai, selama reformasi peradilan militer belum dilakukan, maka selama itu pula bisa dikatakan bahwa reformasi TNI belum selesai.
Keempat adalah restrukturisasi Komando Teritorial (Koter).
Imparsial menilai, Restrukturisasi Koter adalah agenda reformasi TNI yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan demokratik lainnya pada awal reformasi 1998 yang disuarakan dalam satu paket dengan agenda penghapusan peran sosial-politik ABRI (sekarang TNI) yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI.
Imparsial menilai, eksistensi Koter semakin mekar sejalan dengan pemekaran atau pembentukan provinsi dan kabupaten-kabupaten baru di Indonesia misalnya pembentukan Komando Daerah Militer (Kodam) baru di Papua Barat.
Imparsial menilai saat rezim orde baru berkuasa, Koter dijadikan instrumen kontrol terhadap masyarakat, seperti digunakan untuk merepresi kelompok demokratik yang menentang rezim Soeharto.
Kelima adalah membangun transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaaan Alutsista.
Imparsial menilai, pengembangan Alutsista sebagai bagian dari upaya modernisasi dan penguatan pertahanan Indonesia memang sangat penting dan diperlukan.
Meski demikian, Imparsial menilai upaya modernisasi harus dijalankan secara transparan dan akuntabel.
"Dalam praktiknya selama ini, pengadaan Alutsista bukan hanya menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan, tetapi juga sarat dengan dugaan terjadinya mark-up dalam pengadaan Alutsista," kata Annisa.
Keenam adalah kekerasan TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM.
Imparsial menilai, hingga saat ini, kekerasan yang dilakukan anggota TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM masih terjadi di berbagai daerah.
Hal itu menurut Imparsial menunjukkan bahwa reformasi TNI sesungguhnya belum tuntas, khususnya dalam upaya untuk memutus budaya militerististik yang diwarisi dari rezim otoritarian Orde Baru.
Ketujuh adalah meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI.
Imparsial menilai, sebagai alat pertahanan negara, TNI bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan Indonesia karena hal itu bukan pekerjaan mudah karena membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional.
Berdasarkan tujuh catatan tersebut, Imparsial mendesak agar Pemerintah dan DPR melakukan evaluasi atas sejumlah regulasi dan kebijakan keamanan yang bermasalah, seperti UU PSDN yang baru disahkan oleh DPR, berbagai MoU TNI dengan kementerian dan instansi lainnya.
Pemerintah dan DPR juga diminta segera melakukan pembahasan atas revisi UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer.
Kemudian Pemerintah dan DPR juga didesak segera membentuk undang-undang tentang tugas perbantuan sebagai dasar hukum pelibatan militer dalam OMSP.
Pemerintah dan DPR juga diminta meningkatkan kesejahteraan prajurit.
Imparsial juga mendesak Pemerintah dan DPR perlu melakukan modernisasi alutsista secara transparan dan akuntabel.
Baca: Drone Tempur CH-4 Rainbow Unjuk Gigi Saat Peringatan HUT ke-74 TNI Besok
Pemerintah dan DPR juga didesak Menyelesaikan semua kasus-kasus kekerasan melalui mekanisme peradilan yang bersih dan adil (fair trial).
"Mendesak DPR yang baru untuk lebih meningkatkan kualitas pengawasan yang efektif kepada TNI demi penguatan profesionalisme TNI. Melakukan restrukturisasi Koter sebagai bagian dari mandate undang-undang TNI terkait dengan postur TNI dan gelar kekuatan TNI," kata Annisa.