Tanggapi Hasil Survei LSI soal Perppu terhadap UU KPK, PDIP Minta Jokowi Jangan Diprovokasi
Dia mengatakan, penolakan terhadap UU KPK hasil revisi sebaiknya diajukan melalui MK, bukan dari Perppu
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap UU KPK hasil revisi masih terus menjadi polemik.
Menanggapi survei tersebut, Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP PDI Perjuangan (PDIP), Eva Kusuma Sundari meminta semua pihak untuk menghormati proses hukum yang telah berjalan dalam UU KPK hasil revisi tersebut.
"Ini negara berdasarkan UU, bukan berdasarkan polling. Gitu loh. Jadi kalau kemudian kita mengikuti itu, ada chaos di dalam pemerintahan. Nanti yang rugi rakyat sendiri," kata Eva Sundari saat dihubungi, Senin (7/10).
Dia mengatakan, penolakan terhadap UU KPK hasil revisi sebaiknya diajukan melalui MK, bukan dari Perppu.
"Jangan dong di dorong-dorong untuk melakukan sesuatu yang berdampak tidak bagus bagi penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan konstitusional. Memang Perppu bisa dikeluarkan, tapi kalau banyak mudharatnya gimana?" cetusnya.
Eva mengklaim, besarnya dukungan untuk menerbitkan Perppu KPK dari hasil survei LSI dinilainya karena terpengaruh oleh demonstrasi massa dan propaganda media.
"Jangan diprovokasi lah presiden. Mari kita patuhi hukum yang ada. Terutama yang mendatangkan manfaat dan dimanapun situasi konflik, chaos tidak ada manfaat penciptaan kemajuan," pungkasnya.
Sebagai informasi, LSI melakukan survei untuk mengetahui opini publik terkait Perpu KPK dan gerakan mahasiswa.
Total responden pada survei LSI kali ini ialah berjumlah 23.760 orang.
Sedangkan 18 persen responden lain bilang revisi UU KPK dinilai bakal menguatkan lembaga antirasuah.
Anggota DPR fraksi Partai Gerindra Andre Rosiade menilai usulan penerbitan Perppu penangguhan UU KPK hasil revisi merupakan ranah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Andre Rosiade mengatakan, penerbitan Perppu merupakan hak seorang Presiden.
Baca: MAKI Sebut UU KPK Tidak Sah, Soroti Hal yang Biasanya Dianggap Sepele dalam Sidang Pengesahan
"Ya tanya saja sama presiden jangan tanya sama kita lagi, kan domain Perppu ada di presiden, silakan tanya sama Pak Jokowi mau terbitkan atau tidak, terserah presiden," kata Andre Rosiade di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Andre menegaskan sejak awal sikap fraksi Gerindra menolak revisi UU KPK.
Baca: Perppu Batalkan UU KPK Belum Penuhi Syarat Diterbitkan, Simak Penjelasan Pakar Hukum Tata Negara Ini
Namun, Andre menyebut jika Jokowi memutuskan menerbitkan Perppu, maka DPR akan mempelajari keputusan presiden.
"Yang pasti dari awal Pak Prabowo selalu menolak revisi UU KPK. Jadi nanti kita lihat kalau Perppu-nya terbit kirim ke DPR kami akan pelajari," ujarnya.
Perppu penangguhan terhadap UU KPK hasil revisi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih memiliki opsi alternatif yang bisa ditempuh terkait penerbitan Peranturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap UU KPK hasil revisi.
Pakar hukum tata negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan opsi tersebut yaitu Perppu tentang penangguhan atau penundaan berlakunya Undang-Undang tentang perubahan UU KPK.
Baca: Mahasiswa Ultimatum Jokowi Soal Perppu KPK, Ngabalin: Jangan Mengancam!
"Setelah terlebih dahulu mengundangkan UU perubahan UU KPK maka presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) tentang penangguhan atau penundaan berlakunya UU tentang perubahan UU KPK dalam jangka waktu tertentu. Misalnya penangguhan selama 1 tahun," kata Bayu dalam keterangan pers yang diterima, Jumat (4/10/2019).
Bayu menjelaskan, setelah Perppu tersebut seandainya mendapat persetujuan DPR, selama masa penangguhan tersebut, presiden dan DPR bisa secara lebih tenang, cermat dan partisipatif dapat melakukan proses peninjauan kembali atas UU KPK hasil perubahan yang ditangguhkan tersebut.
"UU baru tersebut akan menggantikan UU KPK hasil perubahan yang telah ditangguhkan keberlakuannya," kata dia.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, kata Bayu, sudah pernah ada peristiwa di mana presiden mengeluarkan Perppu tentang penangguhan atau penundaan suatu Undang-Undang yang telah disetujui bersama dengan DPR dan telah diundangkan.
"Yaitu, Perppu Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kemudian pada era sebelum Reformasi juga pernah ada Perppu Nomor 1 Tahun 1984 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai," kata Bayu.
Menurut Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember ini, ada tiga keuntungan jika Presiden Jokowi memilih opsi alternatif ini.
Pertama, KPK tetap dapat bekerja seperti biasanya dengan menggunakan UU KPK yang ada seperti saat ini, yang artinya aspirasi sebagian besar publik kepada Presiden Jokowi terpenuhi.
Dengan aspirasi publik terpenuhi, situasi nasional akan kembali kondusif.
"Kedua, relasi Presiden dan DPR dalam proses legislasi tetap terjaga karena Presiden bukan membatalkan melainkan hanya menangguhkan dan kemudian mengajak DPR sesuai dengan prosedur pembentukan UU yang semestinya untuk duduk kembali membahas perubahan atas UU KPK yang telah diubah ini," katanya.
Dengan masa penangguhan ini, Bayu meyakini pembahasan perubahan UU KPK dapat dilakukan secara komprehensif, seksama, cermat, hati-hati dan partisipatif dengan melibatkan banyak pihak.
Baca: Waspadai Terorisme Jelang Pelantikan Jokowi-Maruf
"Pembahasan secara partisipatif ini akan menghasilkan kesepakatan nasional mengenai pasal mana dalam UU KPK yang tetap perlu dipertahankan dan mana-mana yang perlu dilakukan perubahan," ungkap Bayu.
Ketiga, kewibawaan presiden dalam proses legislasi bisa terjaga mengingat presiden bukan berubah sikap secara mendadak atas apa yang telah diputuskannya bersama DPR melainkan hanya menangguhkan dan kemudian menggantinya dengan proses legislasi secara normal.
"Relasi presiden dengan Parpol di DPR juga dapat tetap terjaga karena presiden tidak mengambil keputusan sepihak atas permasalahan revisi UU KPK ini," ungkapnya. (Dylan Aprialdo Rachman)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Pakar: Presiden Bisa Terbitkan Perppu Penangguhan UU KPK Hasil Revisi
Pendapat lain soal urgensi Perppu terhadap UU KPK hasil revisi
Kamis (3/10/2019) Kemarin, Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menggelar diskusi bertajuk 'Menimbang Urgensi Perppu UU KPK'.
Para pembicara pun memberikan pandangannya tentang urgensi penerbitan Perppu KPK.
pendiri Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Universitas Indonesia, Junaedi menyarankan Presiden dalam menerbitkan perppu lebih baik menentukan dulu status RUU yang sudah ditetapkan dalam sidang paripurna tanggal 17 September 2019.
"Apakah RUU yang sudah disahkan dalam sidang paripurna itu akan ditandatangani dan diundangkan dalam waktu dell’atleta atau akan dibiarkan berlaku otomatis?" katanya.
Kedua, Junaedi menilai hal tersebut mesti ditegaskan sebelum langkah Perppu
diambil.
Karena hal ini untuk menghindari keberlakuan UU yang sama dan saling berbenturan.
Baca: Kegalauan Presiden Jokowi Keluarkan Perppu Cabut UU KPK, Ancaman Parpol hingga Ultimatum Mahasiswa
Jika itu terjadi, maka akan berlaku lex posteriori derogat legi priori atau UU yang berlaku belakangan
mengesampingkan UU yg telah berlaku.
Jika memang Perppu KPK diterbitkan, lanjut Junaedi, maka konten perubahan dalam Perppu di antaranya
adalah:
Pertama: Mengembalikan posisi extraordinary dari KPK.
Kedua: Menghapuskan wewenang penerbitan SP3 dari KPK.
Ketiga: Pembenahan struktur KPK di mana Dewan Pengawas tidak diperlukan
perannya dalam pro justitia.
Dewan Pengawas bisa menggantikan tim penasihat KPK, sehingga tetap berperan dalam pengawasan dan kepatuhan internal secara keorganisasian, melalui pembentukan kedeputian bidang pengawasan dan kepatuhan internal.
Keempat: Perbaikan sistem pengelolaan SDM di KPK, di mana Sumber SDM tidak dibatasi.
Saran agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu terbatas juga dibahas dalam diskusi ini.
Dosen Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Chudry Sitompul mengatakan Perppu terbatas tersebut harus memenuhi beberapa unsur ini jika akan diterbitkan.
Pertama: Dewan Pengawas kewenangannya tidak pro justitia. Lebih ke
pengawasan internal KPK, seperti komisi atau dewan etik.
Kedua: terkait penyadapan, sebaiknya tidak perlu ada permintaan izin. Cukup pemberitahuan saja. Penyadapan hanya diperlukan di tingkatan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Sementara itu, Andre Rahadian selaku Ketua Umum ILUNI UI menyampaikan sebaiknya Presiden Jokowi
mempertimbangkan mengeluarkan Perppu.
Baca: Mahfud MD Minta Semua Pihak Tunggu Keputusan Presiden Jokowi Terkait UU KPK
Dengan mengeluarkan Perppu, Presiden Jokowi menjawab keresahan publik dengan gelombang aksi di berbagai kota di Indonesia.
Bagaimanapun, katanya, keresahan publik ini perlu direspon dengan tepat oleh presiden Jokowi.
Mengeluarkan Perppu, pembatalan atau revisi terbatas, bisa menjadi salah satu opsi.
Jika ada elemen masyarakat yang mengajukan judicial review, lanjut Andre, ini juga satu opsi di mana
usaha tersebut berjalan paralel dan tidak tergantung kepada Presiden dan DPR RI yang kemarin sudah
menyetujui pengesahan revisi UU KPK.
Penguatan pemberantasan korupsi adalah salah satu janji kampanye Presiden Jokowi yang dinanti oleh
rakyat.