Permohonan Justice Collaborator Indung Andriani Dikabulkan
M Indung Andriani K dituntut pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan kurungan.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mengabulkan permohonan M Indung Andriani K sebagai Justice Collaborator (JC) dalam perkara suap kerjasama pengerjaan pengangkutan dan atau sewa kapal.
"Bahwa berdasarkan fakta persidangan dikaitkan dengan ketentuan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tersebut, maka Penuntut Umum berpendapat bahwa permohonan terdakwa untuk ditetapkan sebagai Justice Collaborator dapat dikabulkan," kata Kiki Ahmad Yani, JPU pada KPK di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Di persidangan sebelumnya, terdakwa sudah mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai JC, berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang bekerjasama di dalam perkara tindak pidana tertentu.
Di dalam SEMA tersebut telah secara jelas diatur mengenai kriteria seseorang dapat diberikan status sebagai Justice Collaborator, di mana kriteria tersebut adalah bukan pelaku utama, mengakui kejahatan yang dilakukannya, memberikan keterangan sebagai saksi dan memberikan bukti-bukti yang sangat signifikan untuk mengungkap pelaku lain yang memiliki peran lebih besar, dan mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
Baca: Dipecat, ASN di Kanwil Balikpapan Dukung Ideologi Selain Pancasila di Media Sosial
M Indung Andriani K dituntut pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK membacakan tuntutan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Rabu (16/10/2019).
"Terdakwa M Indung Andriani telah terbukti secara sah meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dengan Bowo Sidik," kata Kiki Ahmad Yani, selaku JPU pada KPK, saat membacakan tuntutan.
JPU pada KPK mengungkapkan hal-hal yang memberatkan berupa perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sedangkan, hal-hal yang meringankan, terdakwa bersikap kooperatif di persidangan, terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, terdakwa membantu mengungkap pelaku lain yang memiliki peran yang lebih besar.
Lalu, hal-hal yang meringankan lainnya, yaitu terdakwa belum pernah dihukum, dan terdakwa telah ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dalam tindak pidana korupsi.
Untuk diketahui, Indung diduga membantu Bowo, mantan anggota Komisi VI DPR RI menerima uang dari PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK). Jaksa menyebut Indung menerima total USD 128.733 dan Rp 311 juta dalam beberapa tahapan.
Pemberian uang itu diberikan karena Bowo telah membantu PT HTK mendapatkan kerjasama pekerjaan pengangkutan dan/atau sewa kapal dengan PT PILOG. Sebab, kontrak kerjasama antara PT HTK dan PT PILOG telah diputus atau berhenti.
Uang itu diterima secara langsung Bowo atau melalui orang kepercayaannya, M Indung Adriani. Indung selalu mencatat setiap penerimaan tersebut.
Indung menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Inersia Ampak Engineer (IAE) di mana Bowo berstatus sebagai Komisaris Utama. Indung disebut jaksa dipercaya Bowo untuk urusan keuangan.
Atas perbuatan itu, Indung dituntut Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke-1, Pasal 64 ayat 1 KUHP.