Cerita Darwis Triadi Saat Memotret Jokowi dan Maruf
Sebelum pemotretan, Darwis Triadi melihat Joko Widodo sedang memiliki pikiran yang berat. Darwis Triadi menceritakan pengalamannya kepada Tribun
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Deodatus Pradipto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fotografer Darwis Triadi dipilih memotret Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Maruf Amin. Foto-foto karyanya akan digunakan oleh negara untuk dipajang di setiap kantor pemerintahan dan acara kenegaraan.
Sesi pemotretan ini dilakukan di Istana Merdeka, Jakarta beberapa hari sebelum pelantikan Jokowi dan Maruf pada Minggu (20/10). Darwis hanya memiliki waktu 30 menit untuk memotret mereka berdua.
Sebelum pemotretan, Darwis Triadi melihat Joko Widodo sedang memiliki pikiran yang berat. Oleh karena itu, Darwis berusaha membuat Jokowi rileks sebelum pemotretan. Darwis memilih berbincang ringan dengan orang nomor satu di Indonesia tersebut. Hasilnya sungguh maksimal. Darwis Triadi berhasil menunjukkan karakter seorang Joko Widodo melalui kameranya.
Darwis Triadi menceritakan pengalamannya tersebut kepada wartawan Tribun Network Dennis Destryawan di Darwis Triadi School of Photography di Jakarta, Jumat (18/10). Berikut ini petikan wawancaranya.
Baca: Daftar Kepala Negara Hadir Pelantikan Presiden, Ada 1 Raja Negara Kecil di Afrika, Ini Sosoknya
Bagaimana awal mula Anda menjadi official photographer Presiden RI Joko Widodo?
Sebetulnya, pertama kali waktu bikin profile Beliau untuk kampanye Pilpres. Dari situlah saya dipanggil untuk memotret. Kebetulan waktu itu yang kontak saya Pak Triawan Munaf (kepala Badan Ekonomi Kreatif, red). Mungkin Beliau (Joko Widodo, red) tidak tahu nomor saya, kebetulan Pak Triawan tahu lalu kontak. Di situlah saya motret Bapak dengan Pak Kiai (Maruf Amin, red). Sejak saat itu saya diminta lagi untuk bikin profile photo-nya sampai dua kali, untuk keperluan kampanye Beliau. Kemudian juga untuk buku Jokowi Menuju Cahaya karya Alberthiene Endah. Setelah saya memotret Bapak, mungkin terjadi sebuah kecocokan.
Saya kan memang seorang profesional, jadi kalau ada setiap hal yang saya kerjakan, akan saya kerjakan secara maksimal. Ada satu hal yang kalau saya tarik ke belakang, saya selalu berpikir begini, saya melihat foto Bapak, dulu, yang setelah Beliau dilantik pada 2014 banyak terpajang. Dalam hati saya berpikir, "Ini foto Bapak, kok karakternya tidak keluar." Saya berpikir begitu. Saya ini tahu bagaimana teknis lighting, saya fotografer portrait, jadi saya mempelajari itu.
Jadi, kalau ada teknis yang tidak tepat, saya hanya bilang, "Ketidaktepatan menggunakan cahaya membuat karakter jadi sulit keluar."
Kedua adalah bagaimana meng-capture sebuah karakter yang betul-betul mencerminkan apa yang ada di dalam figure tersebut. Tidak mudah memang, tapi kalau kita sudah tahu, ya gampang. Itu saja persoalannya.
Setelah saya dipanggil, kok apa yang saya pikir, saya impikan, ternyata terealisasi. Jadi saat saya motret Bapak berkampanye, saya hanya berpikir mudah-mudahan saya motret untuk official fotonya karena buat saya sebuah foto official kenegaraan itu merepresentasikan ke luar negeri, tidak hanya di dalam negeri. Di luar negeri harus, "Ini kepala negara gua." Itu yang terpenting. Jadi, kalau kita lihat foto-foto kepala negara di luar, itu gagah sekali. Mungkin karena yang motret orang yang paham.
Bukan berarti di sini tidak paham, tapi mungkin secara detail kurang paham. Memotret itu sebetulnya bukan hanya masalah teknis. Kalau teknis bisa kita pelajari. Soal teknis, saya rasa agak sedikit orang yang paham mengenai itu. Jadi, itulah yang sebetulnya.
Bagaimana proses Anda menjadi official photographer?
Karena memang Bapak sebelumnya bilang, "Kalau waktunya tepat, kita motret lagi." Saya memang mempersiapkan diri untuk itu. Sebetulnya persiapan tidak harus secara ini juga karena saya sudah tahu kira-kira kebutuhannya seperti ini. Tinggal saya selalu berpikir bagaimana saat saya memotret saya bisa berkomunikasi secara prima dengan Bapak dan Pak Kiai.
Seberapa sulit mengatur seorang kepala negara untuk dipotret?
Kadang-kadang ini memang menjadi sebuah problem. Bisa di Indonesia, bisa di luar negeri. Pertama adalah sebuah protokoler yang agak SOP (standar operasional prosedur, red) kadang-kadang bisa menjadi sebuah gap. Kesulitan-kesulitan hanya seperti itu.
Hal yang berikutnya adalah bagaimana dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, waktunya kan cuma setengah jam, saya bisa melakukan segala sesuatu secara maksimal.
Hal yang ketiga adalah bagaimana saya bisa meyakini Bapak dan Pak Kiai saya akan buat sesuatu yang bagus. Itu harus ada trust. Trust itu muncul dari sikap kita, dari cara kita meng-handle semuanya. Itu semuanya berkaitan dengan leadership.
Di sini, sebetulnya seorang fotografer itu harus mempunyai suatu kapasitas, kemampuan yang terintegrasi secara komplet. Bukan hanya masalah teknis, tapi supaya semuanya terjadi secara santai.
Hal yang berikutnya adalah bagaimana mengeluarkan karakter. Itu tidak mudah karena kadang-kadang, maklumlah kalau antara kita, fotograger, dengan kepala negara pasti akan terjadi. Saya juga sangat surprise oleh apa adanya Bapak, Pak Jokowi, tidak ada batasan-batasan. Semuanya mengalir.
Adakah permintaan Jokowi dalam pemotretan? Fotonya harus begini, harus begitu. Seperti apa?
Sebelumnya iya. Hanya diskusi kecil. Nanti saya menginginkan foto seperti ini, close up. Saya sudah paham karena ada guidande. Waktu itu tidak perlu sampai kaki. Seperti itulah. Berikutnya adalah eksplorasi saya saat memotret Bapak itu saya lakukan setelah semuanya saya dapatkan. Misalnya keperluan offcial hanya foto dari depan.
Tapi saya melihat Bapak kalau diambil dari samping, begitu juga Pak Kiai, dari kiri saya ambil, saya pindah lighting dan banyak sekali. Seperti itu (Darwis Triadi menunjukkan foto Jokowi dari samping), itu sebuah foto yang mengeluarkan karakter Bapak. Itu biasanya bisa kita lakukan secara spontan karena kalau tidak waktu berjalan. Jadi, itulah yang menarik. Menjalankan pekerjaan memotret, apalagi seorang kepala negara, di mana semuanya serba cepat, kita harus melakukan secara prosedural.
Berapa lama proses pemotretan Jokowi dan Maruf Amin?
Tiga puluh menit, tapi sebelumnya saya sempat ngobrol dengan Bapak selama tiga sampai lima menit. Sebetulnya saya mengobrol hanya untuk menetralkan. Saya bicara yang rileks saja, tidak bicara yang berat-berat. Saya utarakan hal-hal sederhana yang bisa bikin Bapak senyum. Itu saja. Supaya rileks saat difoto. Intinya cuma itu.
Saya tahu waktu saya memotret situasi pikiran Bapak sedang berat. Kalau kita lihat tiga minggu lalu, situasinya seperti itu. Buat saya itu adalah suatu momentum mukjizat yang luar biasa.
Saya sempat khawatir tidak dapat ekspresi yang baik. Sebetulnya harus rileks. Bapak terbebani begitu berat. Nah, bagaimana caranya saat memotret, bisa hilang. Ternyata saat itu Bapak, luar biasa, bisa begitu. Saya mengarahkan sedikit, Bapak lepas dan saya mendapatkan momentum satu sampai dua menit itu. Sisanya Bapak kembali ke pemikiran masalah-masalah yang begitu berat, yang memang harus dia jalankan.
Bapak memang sosok pemimpin yang luar biasa dalam kondisi seperti itu saya masih bisa memotret. Itu yang membuat saya salut kepada Beliau dan rileks. Bisa dilihat dari behind the scene. Behind the scene itu saya buat untuk memperlihatkan sosok kepala negara kita, sosok pemimpin kita pada situasi seperti itu, bisa menjalaninya secara rileks. Jika saat itu saya gagal berkomunikasi, fotonya pasti tidak bagus. Kalau tidak bagus, jadinya tidak bagus saat dipajang. Itu persoalannya.
Apa yang Anda ingin sampaikan dalam potret itu?
Sebetulnya sederhana, saya mau menyampaikan saya sebagai fotografer saya memotret pemimpin saya, saya memotret pemimpin negara Indonesia, saya membuat bukan hanya untuk rakyat Indonesia, tapi juga untuk negara luar. Nih, pemimpin gua punya karakter, punya wajah yang tegas, cool, bijaksana. Itu yang saya tangkap di situ dan saya dapatkan itu.
Kadang-kadang saya melihat foto kepala negara luar negeri keren banget. Kita juga pengin saat nanti terpajang dalam setiap acara, "Oh, ini kepala negara Indonesia." Memang itu adalah sebuah tujuan saya, untuk melakukan itu.
Bagaimana suasana saat pemotretan Jokowi dan Maruf Amin? Adakah yang sulit diatur atau mungkin canggung saat difoto?
Sama sekali tidak. Sebetulnya sebuah pengaturan pose itu tergantung fotografernya karena kalau itu sudah bisa diatasi, akan lepas, rileks. Kalau sudah rileks kita bisa mengarahkan apa saja yang kita mau. Saat itu, kaptennya adalah si fotografer, bukan siapa-siapa. Beliau hanya mengikuti arahan kita, tapi bagaimana Beliau mau mengikuti kalau Beliau tidak trust.
Menurut saya seorang fotografer memotret seperti itu. Tidak boleh ada pengarah gaya. Tidak boleh karena itu sangat personal. Beda kalau kita motret fashion, ada stylist. Kalau ini kan tidak. Apa yang saya inginkan, karakter apa yang mau saya tangkap, saya harus mendapatkan itu. Hal yang terakhir sebetulnya bagaimana energi saya, yang di dalam imajinasi saya, bisa saya berikan ke Beliau. Saat kita memotret, secara tidak sadar kita mengalirkan energi kita. Energi itu masuk tertangkap karakter itu. Makanya, kalau kita lihat foto-foto zaman dulu, kita akan kagum betapa foto itu hidup banget. Itu energi. Itu yang saya coba lakukan. Saat kondisi itu sudah terjadi, tinggal kita menjalankan secara berkesinambungan. Sampai kita merasa puas, ya sudah, selesai. Membentuk mood itu hanya sebentar.
Hal yang kedua pasti tidak fokus karena maksimal energi tidak akan keluar dua kali. Itu dari pengalaman saya. Apa yang saya lakukan sekarang ini, ya sudah melalui proses rasa.
Apa yang membedakan memotret model dengan kepala negara?
Jauh karena memotret kepala negara memiliki tanggung jawab moral yang sangat besar, karena itu me-represent bangsa dan negara kita yang dilihat di luar. Bukan hanya foto. Harus ke sana. Makanya, sederhana saja, kalau kita lihat fotonya Pak Karno zaman dulu, kan gila itu, sampai bisa dikoleksi. Seperti itu yang saya inginkan. Nantinya foto-foto Bapak ini bisa menjadi suatu koleksi, suatu sejarah. Saya mau seperti itu karena mempunyai bobot tersendiri. Itulah tantangan saya sebetulnya dan pencapaian itu memang harus kita lakukan lewat sebuah proses.
Seperti apa sosok Jokowi-Maruf di mata Darwis Triadi?
Waktu itu politik panas, kemudian digabungkan. Saya sempat bertanya, apakah kombinasi Bapak dengan Pak Kiai ini matching atau tidak. Tapi pikiran saya itu sirna setelah mengadakan pemotretan pertama dengan Bapak dan Pak Kiai untuk kampanye. Di situ saya melihat sosok Pak Jokowi itu ngemong dan respect kepada Pak Kiai. Itu sangat luar biasa. Sedangkan Pak Kiai memposisikan diri sebagai sosok senior yang wise, tapi dihargai oleh Bapak karena memang posisinya Bapak nomor satu, Pak Kiai nomor dua.
Menurut saya itu suatu siklus energi yang luar biasa. Bahkan pada pemotretan yang kedua, jawabannya konkret, jelas. Bapak Kiai Maruf difoto lebih dulu. Dipersilakan oleh Bapak. Setelah selesai, Bapak mengantarkan ke mobil. Begitu Pak Kiai Maruf sudah pergi, baru Bapak bilang, "Mas, oke sekarang saya sudah siap." Saya sampai bilang, "Saya tidak menemukan kepala negara yang seperti ini." Apa artinya? Pak Jokowi itu betul-betul tidak menempatkan diri sebagai orang nomor satu sebetulnya. Dia melayani. Saat memotret Bapak, saya belajar di situ. Saya melihat luar biasa. Sebetulnya dari apa yang dilakukan sekelibat itu saja, kalau orang normal bisa membaca sosok Pak Jokowi seperti apa? Sederhana, kan? Kita tidak perlu ngomong ngalor-ngidul politik segala macam. Kalau kita orang pintar, begitu melihat dalam beberapa detik, kita bisa tahu. (*)