Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sama dengan Zaman SBY, Banyak Wakil Menteri di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi, Ini Kata Pengamat

Periode keduanya, ada satu kesamaan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan pemerintahan Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY).

Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Daryono
zoom-in Sama dengan Zaman SBY, Banyak Wakil Menteri di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi, Ini Kata Pengamat
Tribunnews.com
Sama dengan Jaman SBY, Banyak Wakil Menteri di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi, Ini Kata Pengamat 

Sama dengan Jaman SBY, Banyak Wakil Menteri di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi, Ini Kata Pengamat

TRIBUNNEWS.COM - Memulai periode keduanya dalam memerintah, ternyata ada satu kesamaan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kesamaan tersebut terjadi di awal periode kedua pemerintahan masing-masing, yakni sewaktu membentuk kabinet kedua.

Dalam Kabinet Indonesia Maju yang merupakan kabinet kedua Presiden Jokowi ini, terdapat 12 Wakil Menteri.

Jumlah Wakil Menteri ini berbeda dengan Kabinet Kerja saat pemerintahan Jokowi -Jusuf Kalla periode 2014-2019, sebab waktu itu hanya ada tiga wakil menteri yang menjabat.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, langkah ini sama dengan yang dilakukan oleh SBY saat 2009.

Hal itu diungkapkan Burhanuddin Muhtadi saat berbicara dalam acara Breaking News KompasTV, Jumat (25/10/2019).

Baca: 12 Wakil Menteri Dilantik, Pengamat: Tak Serta Merta Menjamin Birokrasi Semakin Mulus

Berita Rekomendasi

Di periode kedua kepemimpinan SBY, saat itu terdapat 18 nama yang ditunjuk oleh SBY untuk menjadi wakil menteri di pemerintahan keduanya.

Padahal sebelumnya di periode pertama, SBY hanya mengandalkan dukungan utama dari partai koalisinya, yakni PBB dan PKPI.

"Di 2009-2014, pak SBY melakukan eksperimen yang berbeda dibanding periode pertamanya, di periode pertama pak SBY hanya mengandalkan dukungan utamanya dari Partai Demokrat dan PBB, tapi di periode kedua pak SBY menambah armada koalisinya," terang Burhaniddin.

Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (1/7/2019).
Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (1/7/2019). (Tribunnews.com/ Fransiskus Adhiyuda)

Kini hal yang sama dilakukan oleh Presiden Jokowi di periode kedua pemerintahannya.

Sementara itu, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang menduga ada semacam tekanan yang diterima oleh Presiden Jokowi untuk mengakomodir koalisinya.

"Semacam ada tekanan, khususnya dari pihak-pihak, kalau dulu kita sebut sebagai oposisi, akhirnya pak Jokowi mengakomodir semua yang diharapkan," terang Rustika.

Baca: Jokowi Umumkan 12 Wakil Menteri, Angela Tanoesoedibjo Satu-satunya Wakil Menteri Perempuan

Tak Serta Merta Muluskan Birokrasi

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melantik 12 Wakil Menteri (Wamen) Kabinet Indonesia Maju, Jumat (25/10/2019) di istana Negara, Jakarta.

Burhanuddin Muhtadi mengatakan, banyaknya wakil menteri tak serta merta menjamin birokrasi semakin mulus.

Burhanuddin berkaca dari pemerintahan sebelumnya, yakni pada kepemimpinannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2009-2014.

Ia mengungkapkan, saat itu terdapat 18 nama yang ditunjuk oleh SBY untuk menjadi wakil menteri, namun menurutnya Wamen yang banyak tak semerta-merta membuat smoth birokrasi.

"Saat itu yang muncul adalah karena banyaknya menteri yang represi dari partai politik."

"Pak SBY menunjuk wakil menteri yang secara tidak langsung menujukkan ketidakpercayaan terhadap menterinya sendiri."

"Kebetulan menterinya dari partai, jadi perlu dijaga oleh wamen-wamen yang profesional yang berlatar belakang dari non partai," terang Burhanuddin.

Baca: Tiga Pesan Jokowi kepada Mahendra Siregar yang menyandang Wakil Menteri Luar Negeri

Namun demikian, ia menilai keputusan SBY saat itu tidak berjalan dengan baik lantaran malah menghambat birokrasi karena proses persetujuan suatu keputusan terlalu panjang.

"Tetapi tidak jalan, karena approval, terlalu panjang untuk mendapatkan persetujuan dari partai koalisi, kalau koalisinya gemuk," ucap Burhan.

Burhanuddin pun mengatkan koalisi yang gemuk disatu sisi dapat berdampak buruk.

"Jadi ibarat orang yang terkena obesitas, itu bukan hanya kurang lincah bergerak, tapi juga penyakitan karena rawan terkena lemak jahat," tandas Burhanuddin.

Menurutnya, hal tersebut harus diantisipasi oleh Jokowi sehingga kedepannya tidak berdamapak yang sama dengan sewaktu pemerintahan SBY.

"Ini yang harus diantisipasi Jokowi, harus betul-betul, jangan serta-merta dengan membentuk postur kabinet yang gemuk, kemudian disiplin koalisi menjadi lemah, monitering menjadi lemah," jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, Presiden Jokowi harus menunjukkan jiwa kepemimpinananya untuk menekan perbedaan yang ada antar koalisi.

"Pak Jokowi harus menunjukkan leadershipnya, karena kalau misalnya tidak diantisipasi dari sekarang, jangan -jangan sudah mulai muncul perbedaan-perbedaan tajam antar mitra koalisi," ujar dia.

(Tribunnews.com/Tio)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas