Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Jadi Beban Bagi Peserta Mandiri
Bila pemerintah tetap memberlakukan pasal 34 tersebut maka masyarakat bisa mengajukan judicial review pasal 34 ini
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 tahun 2019 tanggal 24 Oktober lalu.
Perpres No. 75 ini merevisi beberapa pasal di Perpres No. 82 Tahun 2018, khususnya pasal tentang iuran.
Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai persoalan utama Perpres no. 75 ini ada di Pasal 34, yaitu tentang kenaikan iuran peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri yang sedemikian besarnya.
Iuran kelas 3 menjadi Rp 42.000 POPB, kelas 2 menjadi Rp 110.000 POPB dan kelas 1 menjadi Rp 160.000 POPB.
“Kenaikan ini sangat memberatkan peserta mandiri yang akan berakibat pada keinginan membayar (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) yang menurun,” ucap Timboel, Rabu (30/10/2019).
Menurutnya dampak kenaikan iuran kepesertaan menjadi non aktif akan semakin besar.
Bila di 30 Juni 2019 peserta mandiri yang non aktif sebanyak 49.04 persen, maka pasca dinaikkannya iuran mandiri ini akan terjadi peningkatan peserta non aktif.
“Semangat baik JKN mendekatkan dan memudahkan masyarakat ke fasilitas kesehatan, maka dengan adanya kenaikan iuran ini masyarakat akan dijauhkan lagi dengan pelayanan kesehatan,” ujarnya.
Pasal 34 ini berpotensi menimbulkan gejolak penolakan dari masyarakat.
Oleh karenanya, pemerintah sebaiknya mengkaji lagi pasal 34 tersebut.
Pemerintah sebaiknya menaikan iuran untuk peserta mandiri dalam batas yang wajar saja.
Bila pemerintah tetap memberlakukan pasal 34 tersebut maka masyarakat bisa mengajukan judicial review pasal 34 ini ke Mahkamah Agung.
“Tentunya pasca ditetapkannya Perpres No. 75 tahun 2019 ini BPJS Kesehatan harus meningkatkan pelayanannya kepada peserta JKN, sehingga peserta JKN tidak mendapat kesulitan lagi ketika berada di fasilitas kesehatan,” ujar Timboel.
Tak hanya BPJS Kesehatan tetapi diharapkan juga Kementerian Kesehatan pun harus mampu memproduksi regulasi JKN yang tidak memberatkan masyarakat.