Nurul Arifin: Jangan Ganggu Prabowo
Pasti selalu ingin berbuat, ingin apalah. Nah saya itu, satu mewakili perempuan, representasi perempuan.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Nurul Qomaril Arifin kembali ke parlemen. Sempat absen pada periode 2014-2019, wanita asal Bandung ini, akan duduk di Komisi I DPR DI periode 2019-2024 menjadi mitra Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Nurul tengah duduk di ruang kerja di Lantai 12 Nusantara I kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/10) saat ditemui Tribun. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya. Ia tengah sibuk dengan pekerjaan di awal masa jabatan sebagai wakil rakyat di gedung kura-kura.
Kira-kira 16 tahun lalu, Nurul Arifin mengakhiri kariernya sebagai artis. Ia mantap untuk terjun ke dunia politik. Semua berawal dari keinginan Nurul untuk menyuarakan permasalahan perempuan di negeri ini.
Ia sempat menjadi aktivis yang peduli dengan persoalan AIDS dan narkoba. Cita-citanya ketika terjun ke dunia politik untuk dapat membuat kebijakan politik yang mengedepankan kesetaraan perempuan.
"Untuk menciptakan kesetaraan, keadilan tersebut, memang harus dirumuskan dalam kebijakan-kebijakan politik," ujar Nurul Arifin saat berbincang dengan Tribun.
Ada hal lain kini yang menjadi fokusnya. Yakni, soal ketahanan negara. "Konsep pertahanan itu tidak hanya soal senjata," kata Nurul.
Baca: Meski Belum Dapat Keuntungan Signifikan, Nurul Arifin Tegaskan Golkar Terus Dukung Jokowi
Konsep pertahanan negara, bagi Nurul juga membahas soal budaya dan ekonomi. Saat ini, perang tak hanya perang secara fisik.
Tapi perang teknologi, perang pangan, hingga perang penguasaan sumber daya alam. Hal-hal itu yang membuatnya tertarik berada di Komisi I dan bermitra dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
"Sekarang juga perang ideologi sedang terjadi. Bukan hanya di tingkat nasional di Indonesia saja, tapi di tingkat global di dunia internasional sedang disorientasi, terjadi pengotakan, terjadi polarisasi aliran. Jadi ini menarik sebetulnya, bahwa Indonesia mau dibawa ke mana," ucap Nurul antusias.
Berikut wawancara lengkap Tribun Network bersama Nurul Arifin:
Awal mula Anda memilih terjun di dunia politik dari hiburan?
Waktu saya berhenti main film, kemudian beralih ke dunia aktivis. Lalu mempunyai kesadaran bahwa segala sesuatu itu tidak lepas dari politik, kebijakan-kebijakan politik. Jadi akhirnya keputusannya adalah masuk ke dunia politik. Pilihannya masuk ke Partai Golkar.
Karena ada kesadaran untuk masuk ke dalam sistem. Kenapa waktu itu ada keputusan begitu, karena waktu jadi aktivis HIV AIDS, masalah reproduksi, kemudian tentang Narkoba juga, banyak korban-korban yang ternyata korbannya itu perempuan dan anak-anak.
Baca: Nurul Arifin: Pertemuan Jokowi dan Prabowo Jadi Sinyal Positif Rekonsiliasi Setelah Pilpres
Perempuan ini powerless karena tidak punya bargaining position dengan suaminya, pasangannya. Mereka bukan pemakai, mereka tidak seks bebas, tidak berganti pasangan tapi bisa terkena.
Ini kan' kalau dalam struktur negara, perempuan itu makhluk nomor dua, powerless. Untuk menciptakan kesetaraan, keadilan tersebut, memang harus dirumuskan dalam kebijakan-kebijakan politik.
Akhirnya pilihan saya masuk Partai Golkar, kemudian menjadi pengurus. 2004 nyaleg tapi kalah, tetapi tetap running. Akhirnya pilihan saya memutuskan untuk serius di dunia politik, dan mengakhiri dunia keartisan tahun 2003. Karena saya punya prinsip, ketika Anda sudah masuk ke politik maka harus melepaskan pekerjaan lain.
Mungkin beda prinsip dengan orang, tapi itu prinsip yang saya anut. 2009 saya berhasil masuk sampai 2014. Kemudian masuk ke Komisi II karena memang pilihan saya Komisi II.
Background saya ilmu politik Universitas Indonesia. Skripsi, tesisnya berbicara tentang perempuan dan politik. Jadi memang ingin mengaplikasikan ilmu di Komisi II. Namun, walaupun saya di Komisi II punya mitra kerja KPU bukan berarti itu apa-apa juga. Ternyata tahun 2014 saya kalah running saya di parlemen.
Kemudian selama 2014-2019 itu, saya bekerja dengan Ketua DPR menjadi staf khusus di situ. Artinya keberadaan saya di politik tidak benar-benar tenggelam tapi tetap berkiprah.
Karena satu kesadaran juga yang saya lihat dan belajar di dunia partai dan politik, bahwa politik itu yang penting itu appearance atau keberadaan. Ketika Anda ada terus, eksis terus, kemudian dedikasi, loyal juga, itu yang menjadi penilaian di partai. Jadi ada konsistensi, ada eksistensi. Itu penting, kalau kita sudah hilang, tenggelam, orang susah manggil kita.
Itu yang harus dijaga. Dan saya juga sempat running untuk Pilkada, karena kita harus pintar-pintar melihat peluang. Saya running di Pilkada untuk Wali Kota Bandung. Tapi kalah juga. Kemudian peluang itu tidak saya tinggalkan, tapi untuk modal maju di Pileg 2019. Dan saya bersyukur sekarang jadi lagi.
Kenapa memilih Partai Golkar?
Memang kalau secara historis itu, bapak saya tentara ya. Jadi beliau ABRI itu Golkar. Tapi saya melihat, Golkar itu partai yang tidak otoriter karena dia tidak terpusat pada satu orang. Golkar pascareformasi menjadi partai yang terbuka dan modern. Di mana kepemilikan itu tidak ada. Kepemilikan itu kepemilikan bersama. Karena ada Munas, ketuanya berganti setiap lima tahun, bahkan sebelum lima tahun berganti lewat Munaslub.
Dinamika itu yang saya suka. Karena di Golkar ini betul-betul belajar tentang berpolitik. Mengatur strategi. Dan semua orang kalau punya kapasitas, punya modal, Anda bisa menjadi ketua umum, bisa bercita-cita sampai sana. Karena tidak ada lagi secara biologis partai itu punya siapa.
Dan kemudian yang saya senang itu Partai Golkar menghasilkan sejumlah kader di semua tempat. Bahkan Partai Golkar secara SDM sudah banyak melahirkan pemimpin-pemimpin di partai lain.
Dan partai lain berhasil juga, seperti Gerindra, Nasdem, Hanura, PKPI, di situlah kebanggaan kita sebagai kader, bahwa Golkar menghasilkan kader-kader baru yang bisa menyebarkan ideologi partai di tempat-tempat lain. Dan meraih follower banyak. Tapi Golkar sebagai partai induk tidak pernah terdegradasi.
Selama menjadi politisi apakah Anda pernah mendapat tawaran untuk sekedar terjun kembali ke dunia hiburan?
Pernah saat awal-awal orang masih menanyakan menawarkan bahkan terakhir untuk jadi cameo saja. Tapi saya merasa itu bukan dunia saya lagi. Namun demikian saya sangat menghargai dan bersyukur saya pernah besar menjadi artis dan orang mengenal saya sampai saat ini karena keartisan tersebut. Jadi itu sesuatu yang sejarah hidup saya yang sangat berharga.
Karena orang kalau mau memproduksi keterkenalannya itu harus mengeluarkan modal yang banyak, tapi saya sudah mempunyai modal itu tanpa mengeluarkan modal. Dan itu saya syukuri. Karena sampai saat ini, kalau saya ke kampung, ke jalan, atau ke mana, orang masih mengenal saya sebagai artis, pertama. Justru politisinya itu belakangan.
Anda pernah di Komisi I dan Komisi II. Komisi I membidangi keamanan dan pertahanan luar dan dalam negeri. Dipilih langsung oleh partai atau Anda yang meminta?
Kalau dalam mekanisme kami itu ada formulir yang diisi ketika kita masuk terpilih. Form itu berisi Anda mau di komisi mana. Sama waktu saya terpilih pada 2004, Anda mau di komisi mana. Jawaban saya Komisi II. Kalau sekarang Komisi I. Karena saya melihat di sini memang high politic. Waktu Komisi II kan' Poldagri, Politik Dalam Negeri semua.
Dan itu kuat. Kalau orang ingin menghabiskan waktu berpikir, berdebat, kemudian melahirkan ide paket politik itu di Komisi II. Saya agak jenuh dan ingin punya pengalaman baru, dulu juga setahun di Komisi I. Dan sekarang ingin meneruskan lagi karena merasa belum puas.
Saya ingin mengelaborasi lagi pertahanan Indonesia itu seperti apa. Konsep pertahanan itu kan' tidak hanya senjata. Tapi juga budaya, ekonomi, semua hal itu bisa dilihat sebagai ketahanan sebuah negara. Baik dalam bentuk ideologi, jadi bukan melulu berbicara senjata.
Karena perang juga saat ini bukan hanya perang konvesional, tapi sudah proxy war, perang teknologi, perang pangan, perang penguasaan sumber daya alam. Jadi ini sangat menarik. Lalu bagaimana melihat konsep besar Indonesia dalam menyiapkan perang non fisik ini ke depan seperti apa. Sekarang juga perang ideologi sedang terjadi.
Bukan hanya di tingkat nasional di Indonesia saja, tapi di tingkat global di dunia internasional sedang disorientasi, terjadi pengotakan, terjadi polarisasi aliran. Jadi ini menarik sebetulnya, bahwa Indonesia mau dibawa ke mana. Dunia ini mau dibawa ke mana sebetulnya.
Karena ternyata tadi perangnya banyak. Perseteruan tentang ideologi, keyakinan, dan sebagainya. Itu kan menarik sekali. Tapi bahwa Indonesia besar karena perbedaan, karena kemajemukan itu juga yang harus diingat.
Bahwa kita punya ideologi yang mengikat tentang kebersamaan itu, di mana negara lain ingin punya kayak kita (Indonesia, -red). Itu harus dijaga yang namanya Pancasila. Misal, orang melihatnya udah old school banget ngomongin Pancasila. Tapi ternyata tidak. Karena ideologi itu yang mengikat.
Yang mengingatkan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Anak bangsa dan anak negeri. Nah di samping serbuan-serbuan teknologi, hoaks, dan sebagainya, kita selalu diingatkan dari hal yang kecil yang justru mengikat kita.
Terus di sini juga ada Kemenkominfo juga. Kita kan' mitra kerjanya luar negeri, pertahanan, Kemenkominfo, TVRI, RRI, BIN, Lemhanas, ini semuanya bicara soal pertahanan sebetulnya. Walaupun masih ada formalitas, seperti hari ini misalnya ada fit n proper test Kapolri, ini kan' formalitas saja, mekanismenya sudah dijalankan begitu.
Dan biasanya kalau Dubes itu satu orang untuk satu negara. Jadi memang tidak ke mana-mana sebetulnya. Tapi kita ingin melihat lebih jauh, lebih dalam konsepnya. Karena seorang Dubes itu sekarang tidak hanya soal hubungan diplomatik, as a politic, tapi juga hubungan dagang, hubungan lain-lain.
Prabowo akan menjadi mitra Anda di Komisi I. Seperti apa sosok Prabowo di mata Anda, di mana dulu Anda bagian dari tim pemenangan Prabowo dan sekarang saat menjadi mitra kerja?
Ini suatu pengalaman yang luar biasa buat saya. Ketika Golkar masih mendukung Pak Prabowo kita berkoalisi untuk kemenangan Pak Prabowo. Saya dengan Mas Tantowi, dengan Mas Sandiaga Uno jadi jubir beliau. Tapi kemudian kita kalah.
Dan sekarang kita berada di pihak berlawanan, tapi kemudian Pak Jokowi merangkul Pak Prabowo untuk menjadi Menteri Pertahanan. Dan sekarang menjadi mitra kerja Komisi I. Pasti saya akan ketemu lagi. Jadi ini perjalanan panjang buat saya, pertemanan.
Dan saya melihat Pak Prabowo, sesungguhnya beliau teguh dengan prinsip-prinsipnya. Beliau kalau sudah percaya dengan apa yang diyakininya tidak akan goyah. Jadi ini yang akan saya temui sebagai mitra kerja saya. Tapi ketika diganggu untuk hal-hal yang membuat beliau tidak nyaman, beliau juga bisa marah.
Dan mengganggu apa yang diyakininya itu, dikutak-kutik, beliau juga bisa marah. Kalau sekarang ini posisinya Pak Prabowo saya lihat tepat ya. Karena ini menjadi suatu tantangan khusus untuk Pak Prabowo sebagai orang yang nasionalis. Kemudian bisa mengimplementasikan apa yang menjadi keinginan Pak Prabowo sendiri.
Memberikan ruang untuk beliau mengekspresikan cintanya terhadap bangsa ini. Jadi saya mensyukuri keberadaan Pak Prabowo, mudah-mudahan bisa berjalan selaras dengan pemerintahan, dengan Pak Jokowi sampai akhir nanti.
Baca: Nurul Arifin: Jika Jokowi-Prabowo Sudah Damai, Pendukung Harusnya Legowo
Keterwakilan perempuan di DPR masih rendah, bagaimana cara Anda mendorong kader perempuan?
Sebetulnya kader perempuan itu banyak, kemudian kalaupun kita atau partai memanggil pasti ada. Cuma masalahnya perempuan itu tidak siap bertempur, tidak siapnya apa? Mungkin dia secara fisik siap, tapi secara finansial ini yang susah.
Karena memang seringkali satu biaya kampanye itu mahal sekali. Kemudian strateginya juga, strateginya untuk meraih kemenangan ini tidak selalu dimiliki oleh perempuan. Karena memang di politik itu harus tega-tegaan. Mungkin perempuan itu tidak tegaan gitu, maka angkanya selalu sedikit.
Kalau sekarang memang lah 19,8 persen dari 132 perempuan dari 575. Cuma dari persentase tersebut kan banyak yang berasal dari keluarga, Dinasti Politik, anaknya atau istrinya. Hanya sebagian kecil yang independen. Nah sebagian kecil yang independen itu yang struggle gitu bagaimana masuk meraih kemenangan.
Saya sudah empat kali bertarung ya, ikut pileg gitu, dua kali menang, dua kali kalah. Memang strategi di lapangan itu jadi penting gitu. Tim sukses juga menentukan.
Baca: Ogah Tampil Heboh Saat Pelantikan, Nurul Arifin Pakai Kebaya Kuning
Banyak elemen yang menentukan, kita membawa apa, untuk siapa, di mana, dan kapan, itu benar-benar harus berhitung secara tepat gitu. Jadi tidak bisa juga Anda banyak uang, terus menyebar uang begitu saja. Itu juga tidak akan jadi apa-apa kalau tidak disertai dengan strategi yang mantap.
Apa kiat Anda untuk menghadapi sorotan publik?
Kalau saya sih jadi politisi yang konvensional ya. Karena saya merasa kalau politik itu harus menganut nilai-nilai konvensional. Jadi di politik itu bukan selebritis.
Memang dia bisa menjadi selebritis politik tapi bukan selebritis artis. Jadi harus dibedakan, jadi ada prinsip-prinsip yang sifatnya konvensional. Ya kalau saya berpakaian jadi seorang politisi ya as politician gitu. Tidak terus menjadi artis atau profesi yang lainnya. Terus bersikap profesional lah mas.
Teman-teman saya yang artis kadang rindu juga, gua kangen ngeliat lu yang dulu katanya, ya ntar kalau ada waktunya kan. Kan teori Goffman pernah menyatakan dunia adalah panggung sandiwara, ada panggung depan dan back stage, nah ketika di panggung depan itu adalah panggung sandiwara, ketika di belakang kita kembali ke realitas.
Sebetulnya siapapun pasti begitu, anda juga pasti begitu. Mungkin di rumah beda lagi, sekarang di sini beda lagi wawancara. Saya juga jadi politisi beda, di panggung depannya. Jadi politisi itu makhluk biasa aja kadang memunculkan kegilaannya di back stage.
Baca: Bidadari-bidadari DPR Dilantik: Krisdayanti, Nurul Arifin, Rike, Mengapa Mulan Jameela Berantakan?
Saya dari pengalaman saya empat kali Pileg ketemu dengan lawan politik yang seperti itu. Politik itu satu konsensus ya, dan tidak boleh kalau mau jelek-jelekin habis, kalau mau muji-muji terserah sih tapi akhirnya orang melabelingnya beda. Tapi melihat segala sesuatunya biasa aja.
Iya kadang kita tidak menduga, misal karena pimpinan kita membenci atau melawan yang bersebrangan, kita ikut kan. Eh tahunya terus kita lebih galak gitu karena kita ngebelain ketua kita. Taunya ketua kita baikannya duluan, padahal masih tersisa di bawah (kebencian), sampai sekarang di grass root masih begitu. Udah bela-belain sampai mampus, tahunya sudah baikan yang di atas.
Ke depan ada impian apalagi?
Jadi kita di sini sekarang membuat UU, melakukan pengawasan, dan dalam membuat UU itu selalu ada apa.. Bukan beban sih, kalau saya berpikir itu saya berpikir untuk perempuan gitu, jadi saya memakai pisau analisa perempuan, yang ngomong saja perempuan kok (menunjuk diri sendiri), jadi sebetulnya apa yang disebut menjadi penting perempuan ada di parlemen adalah agar kebijakan-kebijakannya berperspektif perempuan.
Apa yang belum saya lakukan? Ya namanya orang kan tidak puas ya. Pasti selalu ingin berbuat, ingin apalah. Nah saya itu, satu mewakili perempuan, representasi perempuan.
Kedua bahwa jadi perempuan itu sebetulnya bisa kalau kita mau bersuara, bernego, berjuang dan sebagainya. Kalau ke depannya saya sih dunia aktivis itu tetap menarik buat saya. Sekarang saya baru terpilih saya akan menyelesaikan pekerjaan saya, kalau misalnya saya sampai ke depannya besok, saya ingin menjadi aktivis gitu ya.
Baca: Dulu Jadi Tim Kampanye di Pilpres, Nurul Arifin Tak Menyangka Kini Jadi Mitra Prabowo di Komisi I
Ke depannya kalau misalnya saya udah tidak lagi, tapi tetap saya di partai. Karena partai itu memang kan berorganisasinya, berstrateginya kemudian jaringannya, jadi partai itu sudah menjadi keluarga besar kita.
Kalau ada yang ngajakin main film, Joko Anwar misalnya?
Kalau Joko Anwar sih kayaknya aku pikirin banget. Siapa yang tidak mau sama dia (main film).
Kalau yang lain?
Eee.. tidak deh. Tidak terlalu sih, kecuali seseorang banget sih.
Joko Anwar dimata mbak?
Ya filmnya bagus.