Cerita Meutya Hafid Dapat Perlakuan Manusiawi Usai Negosiasi dengan Penyandera di Irak
Anda itu artinya rakyat Irak. Nggak mempan juga sih. Tapi setidaknya saya merasa diperlakukan lebih baik daripada sandera yang lain.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mendapat hadiah atas prestasi tentu akan menyenangkan.
Tapi pengalaman Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid sedikit berbeda.
Baca: Cerita Meutya Hafid Terjun ke Dunia Jurnalis Usai Lulus Kuliah Dari Australia
Mengawali karir sebagai seorang jurnalis, Meutya Hafid ternyata mendapat hadiah liputan ke luar negeri atas dedikasi dan kinerjanya.
Berkat kinerja Meutya Hafid yang dianggap bagus saat meliput bencana tsunami di Aceh pada 2004 silam, ia pun diberangkatkan ke Irak.
Tak disangka, perempuan kelahiran Bandung tersebut justru harus merasakan ditawan oleh sekelompok pria bersenjata yang menyebut dirinya Mujahidin di Irak.
Baca: Sosok Meutya Hafid, Terus Dicecar saat Pimpin Rapat Komisi I, Puji Menhan Prabowo Bawa Harapan Baru
Meutya Hafid bersama rekannya ditawan selama 168 jam, atau tepatnya dari 18 Februari 2005 hingga 21 Februari 2005.
Berikut wawancara khusus Tribunnews.com bersama Meutya di Ruang Tunggu VIP Komisi I DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2019), terkait pengalamannya ditawan selama 168 jam :
Bagaimana awal mula cerita Mbak Meutya mendapatkan penugasan ke Irak untuk meliput pemilu pertama?
Saya baru pulang liputan tsunami (Aceh) Desember 2004, liputan saya dianggap bagus dan saya diberi hadiah. Hadiahnya adalah tugas ke luar negeri.
Tapi ternyata tugasnya ke Irak, jadi waktu itu agak kaget.
Baca: Prabowo: Rakyat Berhak dan Wajib Ikut Bela Negara
Tapi memang bagi saya hadiah itu apresiasi dan senang waktu dikirim, (saya) masih muda sekali waktu itu.
Memang takutnya masih sedikit, hampir nggak punya rasa takut.
Berangkat pun tanpa banyak persiapan karena kita mengejar waktu, Irak ketika itu mau pemilu pertama setelah Saddam Husein terguling.
Memang situasinya saat itu karena Amerika menginvasi di 2003 sampai 2005, masih ada pendudukan dan muncul perlawanan dari kelompok-kelompok di Irak.
Baca: Meutya Hafid: Golkar Dorong Munas Capai Musyawarah Mufakat
Jadi memang sangat chaotic, nuansa perang yang lebih mengerikan dari masuknya Amerika ke Irak.
Karena kita nggak tahu kapan bom akan terjadi, perang terjadi di mana, tiba-tiba bisa ada bom, atau ada penyerangan di pinggir jalan.
Bagaimana ceritanya Anda bisa ditawan oleh sekelompok pria bersenjata? Saat itu sedang berada di mana?
Akhirnya (saya) berangkat untuk meliput pemilu pertama di Irak dan 10 hari di sana mungkin nggak banyak yang ingat saya sempat melaporkan langsung.
Tapi yang diingat banyak (orang) adalah yang waktu disanderanya.
(saya) Berencana pulang waktu itu melalui kota Amman, Yordania.
Sampai di Yordania ditelepon untuk diminta meliput hari Asyura, jadi masuk kembali ke Irak.
Ketika dalam perjalanan darat dari Amman menuju Baghdad, di tengah jalan kita berhenti di pom bensin.
Tepatnya di antara kota Ramadi dan Falujah.
Kita di situ diambil dan dibawa.
Mata saya ditutup, senjata (ditodongkan) di leher, kemudian mobil kita diambil alih.
Saya mencoba mengingat (jalan), belok kiri, belok kanan, tapi setelah dua jam saya nggak tahu dibawa kemana.
Ketika dibuka penutup mata yang saya lihat hanya gurun.
Dan ketika itu saya tahu, "Oh ini saya diculik."
Awalnya kan sempat nggak tahu maunya mereka apa ya, mau mengambil barang-barang kita atau lainnya.
Baca: Mengenal Meutya Hafid, Wartawan Perang yang Kini Jadi Ketua Komisi I DPR
Tapi ketika di gurun, saya langsung berpikir kita diculik.
Jadi harapan saya ketika itu masih ada ruang negosiasi nih.
Kemudian apa yang Anda sampaikan atau negosiasikan ke kelompok bersenjata tersebut?
Mulailah saya bicara bahwa kami dari Indonesia.
Indonesia itu negara yang sangat menjunjung dan menghormati Irak.
Kami menentang masuknya Amerika ke Irak.
Bahkan mahasiswa-mahasiswa kami banyak yang mendukung Anda gitu.
Anda itu artinya rakyat Irak.
Nggak mempan juga sih.
Tapi setidaknya saya merasa diperlakukan lebih baik daripada sandera yang lain.
Karena saya dulu kan sebagai penyiar, jurnalis, juga sering melaporkan wartawan-wartawan yang disandera.
Saya lihat ketika ada yang divideoin, ditayangkan di televisi (wartawan yang disandera) posisinya merunduk di bawah.
Nah waktu itu kan posisi saya berdiri, tegak.
Baca: Politikus PDIP Effendi Simbolon Berdebat dengan Prabowo Saat Rapat di Komisi I DPR
Tetap ada senjata di kiri, kanan, tapi paling tidak sedikit lebih manusiawi, diberi makan.
Jadi kalau mau dibilang dalam kondisi penyanderaan ya saya rasa itu sudah cukup baik.
Tentu ketika disandera ada didorong dengan senjata, dipaksa, dan lain-lain.
Tapi setelah itu saya cuma bersyukur bahwa saya bisa kembali selamat ke Indonesia dan bisa tetap bekerja sampai sekarang.