Haedar Nashir Blak-blakan Jawab soal Posisi Mendikbud yang Tidak Dijabat Kader Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menegaskan ormas Muhammadiyah tidak berperan dalam mengambil tugas dan peran pada partai politik.
Penulis: Nidaul 'Urwatul Wutsqa
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, K.H Haedar Nashir menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak ikut serta mengambil tugas dan peran dalam partai politik.
Dirinya juga mengatakan, tidak ada orang yang dapat mengintervensi jika menyangkut organisasi Muhammadiyah.
Menurutnya, urusan politik bukanlah domain Muhammadiyah, bahkan juga bukan domainnya organisasi masyarakat yang lain.
"Jadi, kalau ada ormas seperti Muhammadiyah dan yang lain justru bergerak di lapangan politik praktis itu mengambil tugas dan peran parpol, Muhammadiyah pasti tidak akan mengambil peran itu," pungkas Haedar, Minggu (17/11/2019).
Dirinya juga menyatakan, kabinet dan pemerintahan ketika dibentuk maka tidak untuk satu golongan, tidak untuk satu partai politik, tapi untuk semua.
Dalam wawancara bersama Bayu Sutiyono di kediamannya, melansir kanal Youtube KompasTV, suara dan keputusan Muhammadiyah hanya berasal dari pusat saja bukan para tokoh atau kader Muhammadiyah.
"Suara Muhammadiyah itu ketua umum PP Muhammadiyah dan pimpinan pusat PP Muhammadiyah. Yang lain-lain itu khazanah untuk berdemokrasi," tegasnya.
Adanya para tokoh yang tidak bisa kita lepaskan dari Muhammadiyah yakni Buya Syafii Maarif, Din Syamsudin, Amien Rais, yang sering berkomentar dari sisi-sisi politik, dirinya menegaskan hal itu bukanlah bagian dari suara Muhammadiyah.
Ia menambahkan, Muhammadiyah tidak bisa diintervensi jika menyangkut organisasi.
"Muhammadiyah itu biasa tokoh-tokoh yang punya sikap politik yang berbeda. Tetapi beliau-beliau juga paham, kalau sudah menyangkut organisasi siapapun tidak bisa intervensi. Yang bisa dan menjaga, mengawal organisasi adalah pimpinan pusat Muhammadiyah,"
Hal ini menurutnya dapat dibuktikan dari setiap periode dan setiap pemilu bahwa organisasi dapat terjaga dengan baik.
"Di sana - sini ada warga Muhammadiyah maupun tokoh bermacam-macam itu ya anggap sebagai bunga berdemokrasi dan saya yakin di kelompok lain juga ada," sambungnya.
Belum lama ini banyak beredar kabar ketika Presiden Jokowi membentuk Kabinet Indonesia Maju terdapat kader Muhammadiyah yang menyatakan kekecewaan.
Alasannya presiden tidak memilih menteri pendidikan dan kebudayaan dari Muhammadiyah.
Hal ini karena seiring dengan fokus Muhammadiyah untuk mencerdaskan, mencerahkan, mamajukan bangsa.
Apalagi dengan Milad Muhammadiyah ke-107 bertema 'Mencerdaskan Kehidupan Bangsa'.
Namun, ketua umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menolak pemberitahuan tersebut.
"Saya pastikan Muhammadiyah tidak kecewa, dan tidak pernah kecewa, dan tidak akan kecewa," tegasnya kembali.
"Hal ini karena sudah menjadi grade tradition, tradisi besar Muhammadiyah dan marwah Muhammadiyah bahwa urusan pemerintahan termasuk kabinet, itu kan murni urusan presiden terpilih setiap periode," sambungnya.
Adanya kader Muhammdiyah yaitu Prof. Dr. Muhajir Effendy sebagai Menteri Koordinator (Menko) Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) menurut Haedar Nashir adalah amanat sebagai kepercayaan pemerintah terhadap Muhammadiyah.
"Itu kan penghargaan juga terhadap Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah ini di mana pun posisinya insya Allah akan menjalankan amanat dengan baik;
Bahwa ada misalkan ada satu, dua di era media sosial sekarang ini yang bersuara di publik yang berbeda dengan suara organisasi ya itu bonus medsos saja," tutur Haedar Nashir.
Ia juga menjelaskan, Muhammadiyah yang selalu dipandang masyarakat sebagai eksekutor lapangan, tidak mempermasalahkan posisi Muhajir Effendy yang berada sebagai koordinator.
Haedar percaya kader Muhammadiyah dalam ruang sempit sekali pun, dapat mengerjakan tugas negara baik di kementerian teknis, kementerian koordinator, maupun pejabat setingkat menteri.
"Harapan Muhammadiyah hanya satu kok, jalankan kabinet dan pemerintahan itu dengan saksama, objektif untuk mewujudkan cita-cita nasional. Dan semuanya harus punya visi kenegaraan selain punya kemampuan-kemampuan eksekutif," jelas Haedar.
Hal ini mengacu pada tujuan nasional dan para pendiri bangsa yang sudah begitu berjuang keras agar negara Indonesia menjadi negara yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. (*)
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)