BPJS Kesehatan Menunggak Terus, DPR: Penyakit Jantung & Operasi Caesar Paling Menyerap Anggaran
Komisi Kesehatan DPR Anwar Hafid terkait penyakit jantung yang paling menyerap anggaran BPJS Kesehatan saat ini banyak dialami semua kalangan.
Penulis: Indah Aprilin Cahyani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Komisi IX atau Komisi Kesehatan DPR Anwar Hafid menanggapi pernyataan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang menyebut pelayanan berlebihan dari dokter sebagai salah satu penyebab defisit BPJS Kesehatan hingga triliunan rupiah.
Anwar Hafid mengatakan terkait penyakit yang paling menyerap anggaran terbesar BPJS Kesehatan saat ini banyak dialami oleh kalangan mampu maupun tidak mampu.
"Kalaupun ada kasus-kasus seperti yang disampaikan bahwa operasi caesar kemudian jantung itu adalah jenis penyakit yang paling menyerap dana anggaran BPJS Kesehatan."
"Saya kira itu sebuah kenyataan juga di tengah-tengah masyarakat kita penyakit seperti ini sekarang menjadi trend di tengah-tengah masyarakat kita yang lebih banyak dialami oleh masyarakat baik orang yang mampu maupun orang yang tidak mampu hari ini," jelas Anwar, dilansir dari tayangan Youtube KompasTV, Minggu (1/12/2019).
Anggota Komisi IX DPR Fraksi Demokrat ini menyatakan Komisi XI belum sampai menyasar dugaan pelayanan berlebihan dari dokter sebagai penyebab defisit BPJS Kesehatan.
Anwar menambahkan DPR lebih menyoroti data peserta BPJS yang belum dimutakhirkan serta macetnya pembayaran iuran dari peserta sebagai penyebab membengkaknya biaya BPJS Kesehatan.
Lanjut, Anwar juga mengatakan untuk permasalahan dokter belum sampai ranah ke sana, sekarang lebih ke persoalan data dan standar kemiskinan.
"Masalah dokter sebetulnya ya, kami belum sampai ke sana di DPR RI tapi kami lebih kepada persoalan data kemudian kepada persoalan standar kemiskinan itu sendiri," pungkasnya.
Pemerintah resmi menaikkan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai awal tahun depan.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas menegaskan, pemerintah senantiasa berhati-hati dalam menerbitkan Perpres tersebut.
"Tentu kalau kita bicara program JKN sudah jalan 6 tahun, pemerintah berhati-hati ketika memutuskan menerbitkan Perpres Nomor 75 ini hal lebih yang besar, kepentingan yang lebih besar untuk masyarakat," ungkapnya, dilansir dari unggahan YouTube TvOneNews, Selasa (29/10/2019),
Pemerintah ingin memastikan program ini tetap berjalan dan tentu dengan kecukupan soal pembiayaan yang memang harus di tanggung oleh masyarkat.
Opsi soal kemampuan masyarakat untuk mengikuti program ini dalam hal memilih kelas berapa yang akan digunakan sesuai dengan kemampuan.
Dalam program JKN, tidak ada perbedaan manfaat medis di kelas I, II, dan III
Perbedaan yang ada bukan dari medis tetapi dari non medis.
Harapan pemerintah, Perpres ini akan menjadi solusi permanen jangka panjang pembiayaan program.
"Disisi lain sebenarnya tidak menutup kemungkinan kalau memang tidak ada kemampuan untuk membayar, bisa bergeser untuk mendapatkan pelayanan yang memang iurannya dibantu oleh Pemerintah,"ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan.
Ketakutan bahwa nanti tidak memiliki kemampuan bayar, perubahan iuran pun menyasar orang yang sebenarnya memiliki kemampuan, kalau benar tidak memiliki kemampuan masuk dalam skema penerima bantuan iuran.
"Kalau sekarang merasa berat di kelas I bisa coba di kelas II misalkan, tetapi bukan bicara tentang manfaat medis, manfaat medis hal yang sama. Rumah sakit atau fasilitas kesehatan akan melayani sesuai dengan kompetensi dokternya di situ," pungkasnya.
Kenaikkan iuran berlaku untuk semua kelompok peserta baik peserta penerima bantuan iuran maupun peserta mandiri.
(Tribunnews.com/Indah Aprilin Cahyani)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.