Ketum DPP FPI Benarkan Surat Pernyataan Setia pada Pancasila Jadi Syarat Perpanjangan Izin SKT FPI
Ahmad Sobri Lubis mengaku menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penulis: Nuryanti
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Front Pembela Islam (FPI), Ahmad Sobri Lubis mengaku menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ahmad Sobri Lubis menyebut, surat pernyataan tersebut sebagai syarat untuk memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI.
"Saya selaku ketua umum dan sekum, dalam syarat perpanjang SKT, itu memang ada, saya memang tanda tangan," ujar Ahmad Sobri Lubis di Studio TV One, Selasa (3/12/2019), dikutip dari YouTube Indonesia Lawyers Club.
Ketua Umum DPP FPI itu, menyebut surat pernyataan setia pada Pancasila itu bukan sebagai tekanan kepada FPI.
Namun menurutnya, itu merupakan syarat dalam mengurus perpanjangan SKT.
"Bukan sebagai tekanan, memang syaratnya begitu," jelasnya.
Ahmad Sobri menyatakan FPI sebagai ormas yang berdasarkan Pancasila.
"Memang kan kita ormas Pancasila, artinya hidup di negara Pancasila," katanya.
Ia menyebut, pernyataan FPI yang setia kepada Pancasila tersebut, sudah ada sejak Habib Rizieq Shihab menjabat sebagai Ketua Umum FPI dulu.
"Bahkan dulu Habib Rizieq Shihab sebagai Imam Besar FPI, ketum beliau, atas usulan Kemendagri juga buat pernyataan setuju setia pada Pancasila," ungkapnya.
"Jadi itu menghilangkan keraguan yang ada," lanjut Ahmad Sobri Lubis.
Sebelumnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menyebut ada kata kilafah dalam isi AD/ART FPI.
Sehingga, Tito mengaku pemerintah belum bisa memberikan perpanjangan izin kepada FPI.
Ahmad Sobri menilai pemerintah melihat kata Khilafah tersebut secara sempit.
"Soal yang dipermasalahkan oleh Pak Tito, masalah visi dan misi, Khilafah,"
"Ini yang menunjukkan bahwa pemerintah ini melihat kata Khilafah dari kaca mata yang sempit," ujarnya.
Menurutnya, arti kata Khilafah tersebut luas dan dinamis.
"Khilafah ini luas sekali, dan dinamis," katanya.
Ia menyebut permasalahan kata Khilafah tersebut seharusnya melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Diskusinya ini harusnya melibatkan MUI, bukan Kemendagri," jelas Ahmad Sobri.
"Justru Kementerian Agama sudah meneliti bahwa ternyata tidak ada masalah soal Khilafah versinya FPI," lanjutnya.
Dikutip dari laman Kompas.com, Jumat (29/11/2019), Tito mengatakan, dalam visi dan misi FPI, terdapat penerapan Islam secara kafah di bawah naungan khilafah Islamiah dan munculnya kata NKRI bersyariah.
"Tapi kemarin sempat muncul istilah dari FPI mengatakan NKRI bersyariah. Apakah maksudnya dilakukan prinsip syariah yang ada di aceh apakah seperti itu?" ujar Tito dalam rapat kerja bersama Komisi II di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Tito menambahkan, dalam AD/ART FPI tersebut terdapat pelaksanaan hisbah (pengawasan).
Menurut Tito, terkadang FPI melakukan penegakan hukum sendiri seperti menertibkan tempat-tempat hiburan dan atribut perayaan agama.
Sehingga, mantan Kapolri itu khawatir jika hisbah yang dimaksud FPI adalah tindakan-tindakan tersebut.
Tito menuturkan, pelaksanaan hisbah yang dimaksud FPI itu harus dijelaskan agar tidak menyimpang.
"Dalam rangka penegakan hisbah. Nah ini perlu diklarifikasi. Karena kalau itu dilakukan, bertentangan sistem hukum Indonesia, enggak boleh ada ormas yang melakukan penegakan hukum sendiri," jelas Tito.
Sementara itu, Menteri Agama menyebut, masih bisa dibuat kesepakatan dengan FPI selama isi AD/ART ormas itu tak bertentangan dengan NKRI dan tak melanggar hukum.
Fachrul mengakui telah membaca AD/ART FPI termasuk pasal 6 yang dinilai bertentangan dengan pancasila dan NKRI.
Menurutnya, jika poin yang diragukan tersebut akan diubah oleh Kemendagri, ia mempersilakannya.
"Misalnya saya sependapat, dari Mendagri ada poin-poin yang diragukan, ya kita deal aja," ujar Fachrul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Fachrul menegaskan, jika Kementerian Agama akan memberi rekomendasi kepada ormas yang ingin memajukan Indonesia.
"Bisa nggak ada deal begini gitu, jadi enteng-enteng aja lah, selama orang ingin sama-sama membangun bangsa, kita ajak sama-sama," lanjut Fachrul.
Fachrul menyampaikan, isi AD/ART dari FPI yang diragukan oleh Kemendagri berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi politik pan-Islamis, yang menganggap ideologinya sebagai ideologi Islam, yang tujuannya membentuk khilafah Islam atau negara Islam.
"Kita tanya, dia (FPI) mengatakan itu lain dengan HTI, memang betul itu setelah kita baca, dengan HTI beda," jelasnya.
Fachrul berujar akan setuju jika ada usulan untuk mengubah atau menghilangkan poin AD/ART FPI yang diragukan tersebut.
"Sehingga yang tadi itu bisa agak kita eliminasi, tapi kalau temen-temen merasa itu perlu sedikit kita ubah, kita coba diskusi bagaimana kalau ini dihilangkan," kata dia.
Menurut Fachrul Razi, pihaknya hanya berwenang untuk berikan rekomendasi untuk memperpanjang izin FPI.
"Kami sudah final mengajukan, karenanya ditimbang, karena memang selanjutnya akan ada proses lanjut," ujar Fachrul
Namun keputusan akhir tetap berada di tangan Kemendagri, akan mengeluarkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) untuk FPI atau tidak.
"Kalau SKT-nya bagaimana Mendagri, kalau Kemenag hanya merekomendasi dari aspek kami," ungkapnya.
Fachrul menyampaikan, FPI sudah membuat surat pernyataan untuk setia kepada pancasila dan NKRI.
"Kami (FPI) buat pernyataan bahwa kami setia pada NKRI, setia pada pancasila, kemudian tidak melanggar hukum," ujar Fachrul.
Mengenai rekomendasi perpanjangan izin yang ia berikan kepada FPI, Fachrul menilai itu merupakan kewenangan dari Kementerian Agama.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (Kompas.com/Haryanti Puspa Sari)