Polemik Khilafah Terus Bergulir, Ismail Hasani Sarankan FPI Pilih Kata-kata yang Tidak Kontroversial
Ismail Hasani mengatakan Front Pembela Islam (FPI) memilih kata kontroversial dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Penulis: Nuryanti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan Front Pembela Islam (FPI) memilih kata kontroversial dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Diketahui, FPI tidak bisa memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) karena ada kata Khilafah dalam pasal 6.
Kata Khilafah itu hingga kini masih menimbulkan polemik, hingga Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), meminta kelompok pendukung khilafah untuk datang ke DPR.
Sehingga untuk mempermudah perpanjangan SKT FPI, Ismail Hasani menyarankan untuk memilih kata yang tidak kontroversial.
"Mungkin temen-temen FPI, pilihlah kata-kata yang tidak kontroversial," saran Ismail Hasani di Studio Menara Kompas, Rabu (4/12/2019), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Ismail juga memberi saran FPI untuk membentuk organisasi bernama AAI.
Mengingat sebelumnya FPI menyebut kata Khilafah tersebut, bertujuan untuk mendorong Organisasi Kerja sama Islam (OKI).
"Kalau tujuannya untuk membangun aliansi internasional Islam, bisa saja bikin organisasi AAI misalnya," kata Ismail.
Ia menyebut SKT FPI bukan menjadi permasalahan utama.
"SKT ini bukan isu utama sebenarnya, karena tanpa SKT, setiap orang bisa bebas berserikat berkumpul," ujarnya.
"Kecuali FPI hendak mengakses dana negara, karena itu dia perlu SKT," lanjut Ismail.
Ismail menjelaskan, pemerintah akan memberi bantuan jika organisasi masyarakat (ormas) mempunyai SKT.
"Karena negara memberi ormas uang, perlu memverifikasi, apa tujuannya," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua FPI bidang Penegakan Khilafah, Awit Masyhuri menjelaskan arti Khilafah bertujuan untuk mendorong kinerja dari OKI.
"Jadi penegakan Khilafah yang diusung oleh FPI ini mendorong OKI agar lebih optimal," ujar Awit Masyhuri.
Ditanya apakah arti Khilafah tersebut sama dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dengan tegas Awit membantahnya.
"Bukan, beda sekali," jawab Awit Masyhuri.
Mengenai penamaan itu, ia beralasan karena FPI merupakan ormas Islam.
"Kita kan ormas Islam, kita lebih mengedepankan istilah yang Islami," katanya.
Sehingga menurutnya, kata yang saat ini menjadi polemik itu karena bagian dari agama Islam.
"Kita menggunakan kata Khilafah ini kan bagian dari Islam," lanjutnya.
Sementara, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) FPI, Ahmad Sobri Lubis juga mengatakan kata Khilafah dalam AD/ART sebagai ajaran Islam.
Ahmad Sobri Lubis mengatakan Khilafah yang dimaksud dalam AD/ART FPI artinya bukan komunis dan bukan anti Pancasila.
Menurutnya, kata Khilafah tersebut sebagai ajaran dalam agama Islam.
"Kemudian disebutkan kalau ada komunis versi NKRI bagaimana? berbeda," ujar Ahmad Sobri di Studio TV One, Selasa (3/12/2019), dikutip dari YouTube Indonesia Lawyers Club.
"Komunis itu anti Tuhan, anti Pancasila, sedangkan Khilafah itu bagian dari ajaran Islam," jelasnya.
Ia mengatakan, Khilafah adalah syariat yang tak mungkin ditolak.
"Khilafah itu syariat Islam yang tidak mungkin kita tolak," katanya.
"Karena Nabi Muhammad SAW sudah terang-terangan mengatakan dalam hadisnya," jelas Ahmad Sobri.
Ia kemudian menjelaskan, Khilafah versi FPI itu adalah datangnya Imam Mahdi di akhir zaman.
"Nanti Khilafah atas bimbingan kenabian sesuai sunah, itu nanti di akhir zaman akan muncul, akan terjadi," ungkap Ahmad Sobri.
"Khalifah-nya Imam Mahdi disebut dan menjadi keyakinan," lanjutnya.
Jika dianggap sebagai anti Pancasila, Ahmad Sobri menilai pemerintah melihat kata Khilafah secara sempit.
"Soal yang dipermasalahkan oleh Pak Tito, masalah visi dan misi, Khilafah,"
"Ini yang menunjukkan bahwa pemerintah ini melihat kata Khilafah dari kaca mata yang sempit," ujarnya.
Menurutnya, arti kata Khilafah tersebut luas dan dinamis.
"Khilafah ini luas sekali, dan dinamis," katanya.
Ia menyebut permasalahan kata Khilafah tersebut seharusnya melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Diskusinya ini harusnya melibatkan MUI, bukan Kemendagri," jelas Ahmad Sobri.
"Justru Kementerian Agama sudah meneliti bahwa ternyata tidak ada masalah soal Khilafah versinya FPI," lanjutnya.
(Tribunnews.com/Nuryanti)