Soal Hukuman Mati Koruptor, Maruf Amin: dalam UU Tipikor Sudah Ada, Hukuman Mati Memang Dibolehkan
Wakil Presiden Maruf Amin mengatakan hukuman mati koruptor bisa digunakan namun dengan syarat-syarat yang sangat ketat.
Penulis: Nuryanti
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Presiden Maruf Amin mengatakan hukuman mati koruptor bisa digunakan namun dengan syarat-syarat yang sangat ketat.
Hal itu disampaikan oleh Maruf Amin kepada wartawan, Rabu (11/12/19).
Menurut Maruf Amin, hukuman mati koruptor sudah ada Undang-undang yang mengaturnya, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Saya kira dalam UU Tipikor kan sudah ada, kemungkinan dihukum mati itu kan dengan syarat-syarat, ada aturan khusus," ujar Maruf Amin, dikutip dari pemberitaan Kompas TV, Rabu (11/12/2019).
"Jadi sangat dimungkinkan dengan aturan Undang-undang," lanjutnya.
Sehingga, ada kemungkinan penerapan hukuman mati koruptor jika ada syarat yang dipenuhi.
"Karena Undang-undangnya ada, mengatur, jadi persyaratan jika dipenuhi sangat mungkin dikenakan," jelas Maruf Amin.
Maruf Amin menyebut hukuman mati koruptor itu diperbolehkan.
Meskipun menurutnya, ada orang yang menolak hukuman mati itu.
"Hukuman mati itu kan memang dibolehkan, walaupun ada yang melarang, tapi banyak negara membolehkan," katanya.
Maruf juga menyebut agama memperbolehkan hukuman mati koruptor itu.
Asalkan, kasus pidana yang akan diberi hukuman mati itu, sulit diatasi dengan cara lain.
"Agama juga membolehkan dalam kasus pidana tertentu, yang memang sulit diatasi dengan cara-cara lain," ungkap Maruf.
Maruf berharap jika hukuman mati benar-benar diterapkan pada koruptor, maka ancaman ini bisa memberikan efek jera sehingga tidak ada lagi orang yang berani berbuat korupsi.
Di sisi lain, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam menilai hukuman mati koruptor akan melanggar hak asasi manusia.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan, hukuman mati bisa diterapkan bagi pencuri uang negara atau koruptor.
Wacana ini muncul saat Presiden menjawab pertanyaan siswa SMK, yang bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Senin (9/12/2019).
Menurut Choirul Anam, selain dinilai melanggar hak asasi manusia, hukuman mati koruptor juga belum tentu akan memberantas korupsi.
"Yang pasti hukuman mati melanggar hak asasi manusia," kata Choirul Anam, dikutip dari pemberitaan Kompas TV, Selasa (10/12/2019).
"Belum tentu itu memberantas korupsi," jelasnya.
Ia mengatakan, negara yang sudah menerapkan hukuman mati sebelumnya, belum ada yang bisa menghilangkan kejahatan korupsi.
"Nggak ada negara di dunia ini yang menerapkan hukuman mati terus korupsinya terhapus, nggak ada," ujar Choirul Anam.
Choirul Anam mengatakan, hukuman mati koruptor kurang efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Sehingga mendiskusikan hukuman mati itu apakah akan efektif atau tidak, pasti jawabannya tidak," jelasnya.
Choirul Anam menjelaskan, kasus korupsi bisa dicegah dengan tindakan akuntabilitas dan koreksi.
"Perilaku antikorupsinya dipastikan dengan cara akuntabilitas, koreksi," ungkapnya.
Sehingga, ia menyampaikan, daripada membicarakan hukuman mati bagi koruptor, menurutnya, pemerintah seharusnya membuat peraturan mengenai mantan narapidana korupsi.
"Lebih penting kita mendiskusikan, apakah koruptor yang sudah menjalani pidana, boleh tidak menduduki jabatan publik?" tanya Choirul Anam.
Komisioner Komnas Ham ini berujar, peraturan untuk mantan narapidana korupsi tersebut lebih penting untuk didiskusikan.
"Itu lebih penting daripada bicara hukuman mati," lanjutnya.
Sementara, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil mengatakan, Presiden Jokowi Keliru jika mengatakan bahwa hukuman mati berdasarkan kehendak masyarakat.
Menurutnya, ada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang telah mengatur hukuman bagi koruptor.
"Menurut saya Pak Jokowi itu keliru, kalau mengatakan bahwa hukuman mati berdasarkan kehendak masyarakat, karena UU Tipikor sendiri itu mengatur," ujar Nasir Djamil.
Menurut Nasir, peraturan hukuman mati telah termuat dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Psikotropika, dan Undang-undang Tipikor.
"Hukuman mati itu ada di UU HAM, UU Psikotropika, dan UU tentang korupsi itu sendiri," jelas Nasir.
Nasir mengatakan, presiden tidak perlu membuat retorika dalam komitmen pemberantasan korupsi.
Menurutnya presiden sebaiknya segera mengoreksi keputusan yang dibuat dalam memberikan grasi terhadap terpidana korupsi Annas Maamun.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa dirinya sepakat mengenai hukuman mati terhadap para koruptor.
Hal itu disampaikan oleh Mahfud MD di kantor Kemenko Polhukam sebelum menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Selasa (10/12/19).
Ia mengungkapkan setuju dengan wacana tersebut, karena koruptor sudah merusak nadi bangsa Indonesia.
"Saya sejak dulu sudah setuju, karena itu merusak aliran darah sebuah bangsa yang dirusak oleh koruptor itu," ujar Mahfud MD.
Mahfud MD mengatakan tidak perlu lagi membuat instrumen baru yang mengatur soal hukuman mati bagi koruptor bila memang akan serius mulai diterapkan.
Pasalnya, Mahfud MD juga menyebut hukuman mati untuk koruptor sudah diatur dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Sebetulnya kan sudah ada hukuman mati," ungkap Mahfud MD.
Mahfud MD pun telah menyetujui gagasan hukuman mati bagi koruptor sejak lama, khususnya korupsi besar yang terbukti dilakukan karena keserakahan.
"Koruptor itu bisa dilakukan hukuman mati kalau dilakukan pengulangan," katanya.
Menurutnya, hukuman mati itu bisa diterapkan jika koruptor tersebut selain melakukan pengulangan juga melakukan korupsi saat terjadi bencana.
"Atau melakukan korupsinya ada bencana, itu sudah ada," jelasnya.
Namun, ia mengungkapkan, kriteria bencana yang dimaksud tersebut belum ada rumusannya.
"Tapi kriteria bencana itu sekarang belum dirumuskan," tambah Mahfud MD.
Mahfud MD mengatakan sudah ada perangkat hukum yang mengatur sebelumnya.
"Kalau itu mau diterapkan, saya kira tidak ada Undang-undang baru, karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada," ujar Mahfud MD.
Sehingga, menurutnya, pemerintah akan setuju untuk menerapkan, karena sudah ada dalam Undang-Undang yang mengaturnya.
"Kalau sudah masuk ke dalam Undang-undang, artinya pemerintah setuju, itu sudah ada di Undang-undang," jelasnya.
Namun, ia berujar untuk penerapan peraturan hukuman tersebut, Mahfud menyebut itu adalah urusan hakim yang memutuskan.
Menurutnya, kadang hakim yang memutuskan memberi hukuman kepada koruptor dengan hukuman yang ringan.
"Tetapi karena itu urusan hakim, kadangkala hakimnya malah mutus gitu," katanya.
"Kadangkala hukumannya ringan sekali, dipotong lagi, dipotong lagi," lanjut Mahfud.
Sehingga, penerapan hukuman mati koruptor tersebut menjadi urusan pengadilan.
"Itu urusan pengadilan, di luar urusan pemerintah," jelasnya.
(Tribunnews.com/Nuryanti)