Soal Ujian Nasional, Ketua Komisi X DPR Ingatkan Nadiem Tidak Jadikan Siswa Kelinci Percobaan
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjelaskan secara rinci soal penggantian sistem UN
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjelaskan secara rinci soal penggantian sistem Ujian Nasional (UN).
Syaiful Huda berharap program baru yang digagas Nadiem Makarim tidak mengorbankan siswa.
Dirinya tidak ingin anak menjadi bahan percobaan dengan sistem tersebut.
Baca: Di Depan Anggota DPR, Nadiem: Jangan Remehkan Kemampuan Guru
“Kami memohon penjelasan lebih detail terkait dengan masalah ini, jangan sampai siswa kita menjadi kelinci percobaan lagi,” ujar Syaiful di ruang rapat Komisi X, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Syaiful juga menanyakan kepada Nadiem Makarim apakah nantinya guru-guru sudah siap untuk menghadapi kebijakan baru yang bakal diterapkannya tersebut.
“Apakah guru-guru kita sudah sistem assesment kompetensi dan kualitas guru sarana, prasarana sekolah sudah memadai?” tanya Syaiful.
Baca: Komisi X: Jangan Sampai Siswa Kita Kembali Menjadi Kelinci Percobaan
Seperti diketahui, Nadiem mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, pada Kamis (12/12/2019).
Dalam raker ini, Komisi X DPR meminta penjelasan kebijakan Nadiem yang meniadakan Ujian Nasional (UN) di tahun 2021.
Sebelumnya, Nadiem membeberkan program pengganti ujian nasional (UN).
Nadiem memastikan bahwa program UN akan tetap dilaksanakan pada 2020.
Namun, pada 2021 program ini akan digantikan dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Baca: Pengamat Pendidikan Sebut Program Pengganti UN Nadiem Makarim Sudah Dikaji dan Pasti Lebih Baik
Perubahan program UN ini termasuk dalam empat program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”.
Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Merdeka Belajar
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, menetapkan empat program pokok kebijakan pendidikan 'Merdeka Belajar'.
Program Merdeka Belajar dibuat guna menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
“Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada arahan Bapak Presiden dan Wakil Presiden dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” kata Nadiem Makarim saat peluncuran Empat Pokok Kebijakan Pendidikan “Merdeka Belajar”, di Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Baca: Anies Baswedan Tolak Komentari Penghapusan UN, Pernah Punya Ide yang Sama Namun Tak Kesampaian
Arah kebijakan baru penyelenggaraan USBN, kata Mendikbud, pada 2020 akan diterapkan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah.
Ujian tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi siswa yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan.
Bisa dalam bentuk tugas kelompok, karya tulis, dan lain sebagainya.
“Dengan itu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa. Anggaran USBN sendiri dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah, guna meningkatkan kualitas pembelajaran,” kata Nadiem Makarim.
Baca: Respons Soal Penghapusan Ujian Nasional, Pimpinan MPR Singgung Pendidikan Pancasila
Selanjutnya, mengenai ujian UN, tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN untuk terakhir kalinya.
“Penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter,” jelasnya.
Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas IV, VIII, XI), sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran.
Hasil ujian tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.
“Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA dan TIMSS,” kata Mendikbud.
Sedangkan untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakannya dengan memangkas beberapa komponen.
Baca: Respons Soal Penghapusan Ujian Nasional, Pimpinan MPR Singgung Pendidikan Pancasila
Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP.
Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen.
“Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Satu halaman saja cukup,” jelas Mendikbud.
Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen.
Sedangkan untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah.
“Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi,” ujar Mendikbud.
Mendikbud berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan.
“Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru,” kata Mendikbud.