Kaleidoskop 2019: 6 Berita Politik 'Terpanas' Tahun Ini, Surat Suara Tercoblos hingga Demo Mahasiswa
Selama tahun 2019, banyak berita politik 'terpanas' di Indonesia selama setahun. Apa saja? Simak berikut ini kaleidoskop 2019 berita politik 'terpanas
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Tiara Shelavie
Selama tahun 2019, banyak berita politik 'terpanas' di Indonesia selama setahun. Apa saja? Simak berikut ini kaleidoskop 2019 berita politik 'terpanas'.
TRIBUNNEWS.COM - Selama tahun 2019, terdapat banyak sekali berita politik yang bisa disebut 'terpanas' dalam satu tahun.
Mulai dari temuan 7 kontainer surat suara tercoblos hingga demo mahasiswa tolak RKUHP, menghiasi berita politik selama satu tahun ini.
Selain itu, kabar demo Aksi 22 Mei termasuk paling 'panas' selama tahun 2019.
Dalam Aksi 22 Mei beberapa waktu yang lalu, menyita banyak perhatian publik karena kericuhan yang disebabkan demo tersebut.
Berikut Tribunnews rangkum Kaleidoskop 2019 berita politik 'terpanas' selama satu tahun ini:
1. Isu Temuan 7 Kontainer Surat Suara Tercoblos
Pada bulan Januari lalu, muncul isu tujuh kontainer surat suara tercoblos, yang tersebar di media sosial seperti Twitter, Facebook, hingga WhatsApp.
Di media-media sosial tersebut, tersebar sebuah rekaman suara seorang laki-laki, yang menyebutkan penemuan tujuh surat suara tercoblos di Tanjung Priok.
Berikut isi suara rekaman tersebut:
"Ini sekarang ada 7 kontainer di Tanjung Priok sekarang lagi geger, mari sudah turun. Di buka satu. Isinya kartu suara yang dicoblos nomor 1, dicoblos Jokowi. Itu kemungkinan dari cina itu. Total katanya kalau 1 kontainer 10 juta, kalau ada 7 kontainer 70 juta suara dan dicoblos nomor 1. Tolong sampaikan ke akses, ke pak Darma kek atau ke pusat ini tak kirimkan nomor telepon orangku yang di sana untuk membimbing ke kontainer itu. Ya. Atau syukur ada akses ke Pak Djoko Santoso. Pasti marah kalau beliau ya langsung cek ke sana ya."
Kabar tujuh kontainer surat suara tercoblos tersebut, sampai terdengar di komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik dari media sosial ataupun WhatsApp.
Namun demikian, atas beredarnya informasi itu, KPU enggan merespons.
Sebab, komisioner KPU meyakini bahwa kabar tersebut adalah hoaks.
Atas kasus tersebut KPU meminta Cyber Crime Mabes Polri untuk menelusuri penyebar hoaks tersebut.
Hasil penelusuran awal kepolisian menyebutkan bahwa penyebar berita bohong itu merupakan akun anonim yang tidak jelas identitasnya dan tiba-tiba hilang setelah menyebarkan informasi.
Karena informasi itu terus berkembang, KPU akhirnya merasa perlu untuk memberikan informasi yang lebih konkret dengan melakukan pengecekan langsung ke lapangan.
"KPU berkoordinasi dengan Bawaslu, sepakat kalau gitu kita perlu lihat ke lapangan untuk menyampaikan data dan fakta yang lebih konkret," kata Ketua KPU Arief Budiman, seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Atas kasus ini, pihak kepolisian pun berhasil menetapkan lima tersangka, diantaranya adalah Bagus Bawana Putra (BBP) HY, LS, J, dan MIK.
Selain itu juga terdapat empat tersangka lain, yakni Mujiman alias Maulana, Sugiyono alias Abdul Karim, Titi Setiawati, dan Suroso.
Bagus Bawana Putra didakwa membuat keonaran karena penyebaran berita bohong atau hoaks tujuh kontainer surat suara telah dicoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Dikutip dari Kompas.com, Jaksa mengatakan, terdakwa sengaja menyebarkan hoaks tujuh kontainer berisi surat suara telah dicoblos untuk paslon nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin pada 2 Januari 2019.
2. Abu Bakar Baasyir Batal Bebas
Pada bulan yang sama, yaitu Januari 2019, pemerintah berencana untuk membebaskan Abu Bakar Baasyir.
Surat pembebasan Abu Bakar Baasyir pada dasarnya sudah diterima yang bersangkutan sejak 13 Desember 2018 lalu.
Kepala Staf Presiden pada saat itu, Moeldoko memastikan permintaan pembebasan bersyarat atas Abu Bakar Baasyir tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah.
Sebab, Ba'asyir tidak dapat memenuhi syarat formil sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan lebih lanjut didetailkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
"Iya (tidak dibebaskan). Karena persyaratan itu tidak boleh dinegosiasikan. Harus dilaksanakan," ujar Moeldoko, seperti yang diberitakan Kompas.com.
Syarat formil bagi narapidana perkara terorisme, yakni pertama, bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
Kedua, telah menjalani paling sedikit dua per tiga masa pidana, dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit 9 bulan.
Ketiga, telah menjalani asimilasi paling sedikit setengah dari sisa masa pidana yang wajib dijalani.
Terakhir, menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan pemohon dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar kesetiaan pada NKRI secara tertulis.
Presiden Jokowi saat itu menyambut baik permohonan Abu Bakar Baasyir bebas.
Hal itu dikarenakan kondisi kesehatan Baasyir yang sudah berusia 81 tahun terus menurun sehingga membutuhkan perawatan yang khusus.
"Dari sisi kemanusiaan, Presiden sangat memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Namun ya Presiden juga memperhatikan prinsip-prinsip bernegara yang tidak dapat dikurangi dan tidak dapat dinegosiasikan," ujar Moeldoko.
Kuasa hukum Baasyir, Muhammad Mahendradatta mengklarifikasi kliennya yang tidak ingin menandatangani sejumlah dokumen pembebasan bersyarat.
"Mengenai ustaz tidak mau menandatangani kesetiaan terhadap Pancasila, itu perlu saya jelaskan, yang ustadz tidak mau tanda tangan itu 1 ikatan dokumen macam-macam," kata kuasa hukum Baasyir, Muhammad Mahendradatta.
Mahendradatta juga menjelaskan salah satu dokumen itu adalah janji tidak melakukan tindak pidana yang pernah dilakukan.
Oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan pada 2011, Baasyir terbukti secara sah dan meyakinkan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Mahendradatta mengungkapkan bahwa Baasyir tidak merasa melakukan tindak pidana tersebut.
Hal itulah yang menjadi dasar Baasyir tidak ingin menandatangani dokumen tersebut.
Dengan membubuhkan tanda tangannya, mengartikan bahwa Baasyir mengakui kesalahannya.
3. Surat Suara Tercoblos di Malaysia
Menjelang Pemilu 2019, masyarakat di Indonesia dihebohkan dengan penemuan surat suara tercoblos di Selangor, Malaysia pada April 2019 lalu.
Kabar penemuan surat suara tercoblos di Malaysia ini disebarkan di media sosial Facebook.
Terdapat sebuah konten video yang memperlihatkan beberapa pihak, termasuk Panitia Pengawas Pemilu Indonesia di Malaysia dan polisi Malaysia, mendatangi sebuah lokasi yang diduga menjadi tempat penyimpanan surat suara tercoblos tersebut.
Menanggapi kabar tersebut, Ketua Panwaslu Kuala Lumpur, Yaza Azzahra mengatakan, awal penemuan surat suara pemilu telah tercoblos ini dari laporan pesan WhatsApp seorang relawan Sekretariat Bersama Satuan Tugas Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bernama Parlaungan.
Seperti yang dikutip dari Kompas.com, setelah mendengar kabar tersebut, Yaza dan anggota Panwaslu bernama Rizki Israeni Nur menuju lokasi yang disebutkan oleh pelapor.
Setibanya Yaza di tempat tersebut, ia menemukan surat suara dalam tas sebanyak kurang lebih 20 buah, 19 kantong plastik hitam, dan sekitar 5 karung goni berwarna putih bertuliskan Pos Malaysia.
Perkiraan jumlah surat suara di lokasi ini sebanyak 10.000-20.000 lembar. Di lokasi kedua ditemukan 158 karus berbobot surat suara sebayak 216-230 kg per karung.
"Berdasarkan sampel yang dibuka di lokasi semua surat suara telah dicoblos pada paslon 01. Surat suara legislatif sudah dicoblos Partai Nasdem dengan caleg Nasdem DPR nomor urut 3," kata Yaza.
4. Aksi 22 Mei
Pada tahun 2019, Indonesia juga mengalami aksi yang berujung kericuhan besar pada bulan Mei lalu.
Aksi yang dikenal dengan Aksi 22 Mei ini berujung ricuh, terjadi di epan Gedung Bawaslu, Stasiun Tanah Abang, hingga Petamburan, Jakarta.
Kericuhan Aksi 22 Mei ini terjadi karena adanya salah satu bukti dari isi pesan grup WhatsApp dari massa provokasi Aksi 22 Mei.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono menjelaskan bahwa dalam pesan tersebut sempat ada pembahasan mengenai rencana penyerangan.
"Mereka mengunggah kata-kata di grup WhatsApp, contoh 'persiapan buat perang yang lain mana'," kata Argo.
Dalam chat grup tersebut, massa juga tampak melaporkan situasi massa di beberapa lokasi di Jakarta.
"Kemudian, ada kata-kata lagi, seperti 'rusuh sudah sampai ke Tanah Abang, kok'," ungkap Argo.
Dalam chat grup itu pula, ada sejumlah massa yang tampak memantau keberadaan Jokowi.
Hal tersebut terlihat dari pesan di grup tersebut yang melaporkan keberadaan Jokowi yang dilihatnya dari stasiun televisi.
Massa aksi 22 Mei tersebut bahkan berniat untuk melakukan penyerangan terhadap Jokowi.
"Lalu, 'live TV (menginformasikan) Jokowi di Johar Baru, ayo kita serang'," ujar Argo di Polda Metro Jaya.
Dalam keterangannya, Argo juga menegaskan bahwa kerusuhan di Jakarta adalah aksi yang sudah direncanakan.
"Sudah saya jelaskan bahwa pelaku perusuh yang kita lihat saat ini sudah direncanakan. Ada yang membiayai, sudah mempersiapkan barang-barangnya," ungkap Argo.
Selain itu, Argo juga mengungkapkan adanya barang bukti berupa rekaman pertemuan yang menunjukkan perencanaan aksi kerusuhan di wilayah Jakarta pada 21-22 Mei.
Argo mengungkapkan, pertemuan itu dilakukan di Sunda Kelapa, Jakarta Pusat.
"Para tersangka (kerusuhan) ini berasal dari luar Jakarta, beberapa dari Jawa Barat. Mereka kemudian datang ke (masjid) Sunda Kelapa, kemudian bertemu dengan beberapa orang di sana. Ini ada barang bukti, ada rekamannya," kata Argo.
Argo menjelaskan, pertemuan yang terekam itu menunjukkan rencana penyerangan ke asrama polisi di Petamburan.
"(Mereka) merencanakan dan menyerang asrama polisi di Petamburan. Jadi, sudah disetting untuk melakukan penyerangan ke asrama polisi," ujarnya.
5. Gugatan BPN di MK Ditolak
Setelah Pemilu 2019 selesai digelar, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggugat hasil Pilpres 2019.
Pada bulan Juni 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan hasil sidang sengketa Pilpres 2019.
Dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2019 yang dilakukan oleh MK ini, memutuskan bahwa semua dalil yang diajukan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ditolak.
Putusan sidang sengketa Pilpres 2019 ini dibacakan oleh Ketua Hakim MK, Anwar Usman.
"Mahkamah menolak seluruh permohonan dari pihak pemohon," ucap Ketua MK, Anwar Usman.
6. Demo Mahasiswa Tolak RUU KUHP dan KPK
Selain demo berujung kericuhan Aksi 22 Mei, pada bulan September lalu Indonesia juga dilanda aksi kerusuhan.
Aksi tersebut dilakukan oleh mahasiswa di seluruh Indonesia yang menolak adanya RUU KUHP dan KPK.
Aksi ini merupakan lanjutan dari sebelumnya yang juga digelar di lokasi yang sama pada 23 September 2019.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Manik Marganamahendra mengatakan aksi yang digelar pada Selasa diikuti lebih banyak mahasiswa.
Mengutip Kompas.com, Manik mengklaim ada sebanyak empat ribu mahasiswa dari 36 hingga 40 universitas.
Tak hanya itu, masyarakat umum diketahui juga ikut bergabung dalam aksi ini.
Tujuan dari digelarnya aksi adalah untuk menentang revisi Undang-undang KPK yang telah disahkan dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Dilansir Kompas.com, berikut empat poin tuntutan mahasiswa:
- Merestorasi upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
- Merestorasi perlindungan sumber daya alam, pelaksanaan reforma agraria, dan tenaga kerja dari ekonomi yang eksploitatif.
- Merestorasi demokrasi, hak rakyat untuk berpendapat, penghormatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, serta keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan kebijakan.
- Merestorasi kesatuan bangsa dan negara dengan penghapusan diskriminasi antar etnis, pemerataan ekonomi, dan perlindungan bagi perempuan.
(Tribunnews.com/Whiesa/Umar Agus W/Pravitri Retno W/Fransiskus Adhiyuda) (Kompas.com/Fitria Chusna Farisa/Ryana Aryadita Umasugi/Fabian Januarius Kuwado/Mela Arnani/Cynthia Lova/Dhawam Pambudi)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.