Soal Pemindahan Ibu Kota Negara, Ini Catatan Inosentius Samsul: Istana Negara Jangan Dijual
Catatan Ketua Tim Kajian Pindah Ibu Kota BK DPR Inosentius Samsul terkait pemindahan ibu kota: catatan sejarah jangan disia-siakan.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur mendapat catatan dari Ketua Tim Kajian Pindah Ibu Kota Badan Keahlian DPR, Inosentius Samsul.
Menurut Inosentius Samsul, catatan sejarah kemerdekaan Indonesia, bukti-bukti sejarah, perjalanan Indonesia sejak kemerdekaan hingga reformasi, tidak boleh disia-siakan.
Inosentius Samsul menilai, gedung-gedung pemerintah yang bernilai juga sebaiknya tidak dijual.
"Kalaupun nanti, ibu kota baru sudah dipindahkan, tetapi catatan-catatan sejarah, bukti-bukti sejarah, bagaimana perjalanannya mulai kemerdekaan sampai dengan akhir-akhir tahun reformasi, saya kira itu jangan disia-siakan," kata Inosentius Samsul dilansir dari kanal YouTube Metrotvnews, Jumat (20/12/2019).
"Menurut saya, itu (menjual gedung) bukan pilihan, tetapi misalnya soal Istana negara, masa dijual Istana negara?" tambahnya.
Sementara itu, pemindahan ibu kota negara belum mendapatkan persetujuan dari 9 fraksi politik di parlemen.
Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar, Ahmad Doli Kurnia menyetujui pemindahan ibu kota negara, tapi ia menyatakan agar pemerintah tidak terburu-buru.
Ahmad Doli Kurnia menilai, pemindahan ibu kota negara merupakan persoalan kompleks yang dapat disebut sebagai satu omnibus law yang berkaitan dengan pertanahan dan birokrasi.
"Ini kan masalahnya kompleks, makanya bisa disebut sebagai satu omnibus law karena nanti kan berkaitan soal pertanahan, lahan."
"Kemudian juga masalah birokrasi, pemindahan kantor pasti akan mengiringi pemindahan aparat," kata Ahmad Doli Kurnia.
"Saya kira memang tidak bisa dilaksanakan teburu-buru," tambahnya.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto menilai, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang potensi-potensi bencana alam yang akan terjadi di ibu kota negara baru.
Yandri Susanto menyarankan, antisipasi terhadap persoalan-persoalan di masa depan perlu dilakukan sejak saat ini.
"Masih banyak persoalan yang harus dijawab oleh pemerintah, termasuk katanya tidak ada bencana di situ."
"Ternyata, misalkan punya potensi untuk gempa dan kebakaran hutan, nah, bagaimana untuk mengtasinya," kata Yandri Susanto.
"Jadi terhadap hal-hal yang mungkin menjadi hambatan di masa yang akan datang sebaiknya diantisipasi dulu," tambahnya.
Selain itu, keinginan masyarakat untuk pindah ke ibu kota baru juga perlu diantisipasi.
Pasalnya, di beberapa ibu kota baru di negara-negara lain ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan.
"Daya tarik orang-orang untuk pindah ke ibu kota baru, seperti beberapa ibu kota baru di negara-negara berkembang dan negara maju, ternyata tidak sesuai dengan impian," kata Yandri Susanto.
Pemindahan Ibu Kota Negara Baru Terhambat Payung Hukum yang Belum Disahkan DPR
Pemindahan ibu kota negara baru ke Kalimantan Timur terhambat payung hukum yang belum disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sementara itu, DPR menyatakan belum bisa membahas Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) karena belum mengantongi Surat Presiden (Surpres) dari pemerintah atau presiden.
Ketua DPR RI, Puan Maharani menyebut, hingga sidang terkait pemindahan ibu kota ditutup, DPR belum menerima surpres.
Rencananya, surpres akan dikirimkan pada masa sidang selanjutnya, yakni Januari 2020 mendatang.
"Sampai masa sidang ini ditutup, kami belum menerima surpres dari pemerintah atau dari presiden."
"Katanya kemungkinan surpres itu akan dikirimkan pada masa sidang selanjutnya, yaitu pada bulan Januari (2020)," ungkap Puan Maharani dilansir dari Metrotvnews, Jumat (20/12/2019).
"Kalau kami belum menerima, tentu saja kami tidak bisa membahas dan melihat apa yang kemudian menjadi rencana dari pemerintah dalam omnibus law yang nanti akan diusulkan," tambahnya.
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 DPR RI telah membahas 50 RUU termasuk RUU IKN, tapi pengesahannya tertunda karena belum menerima surpres.
Lebih lanjut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memutuskan nantinya pengganti Jakarta akan menjadi sebuah kota atau provinsi baru.
"Yang pertama, yang berkaitan dengan provinsi belum (diputuskan), apakah nanti dalam bentuk kota atau provinsi, belum diputuskan."
"Tentu saja kami harus berbicara dengan DPR terlebih dahulu," ujar Presiden Jokowi masih dilansir dari sumber yang sama.
Pembentukan ibu kota atau provinsi baru membutuhkan revisi undang-undang dengan cara omnibus law atau membuat undang-undang baru melalui revisi sejumlah undang-undang terkait IKN.
Omnibus law adalah undang-undang baru yang dibuat untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus.
"Ini barengan langsung dimintakan ke DPR, kalau prosesinya nanti bisa diselesaikan dengan cepat, 3-6 bulan, fleksibilitas dan kecepatan dalam memutuskan akan jauh lebih baik lagi," kata Jokowi.
Sambil menunggu Omnibus Law RUU IKN, saat ini pemerintah tengah membentuk badan otoritas ibu kota sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pembangunan dan pemindahan ibu kota negara.
"Badan otoritas ini setingkat menteri, kemudian kewenangannya tentu sejak mempersiapkan, membangun, dan kemudian proses pemindahan," papar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa.
Pembentukan Badan Otoritas Ibu Kota dibentuk paling lambat awal Januari 2020 bersamaan dengan pengajuan RUU Ibu Kota Baru.
Sementara untuk nama ibu kota baru, rencananya akan diumumkan pada pertengahan 2020 bersamaan dengan groundbreaking.
Pembangunan ibu kota negara baru, menurut Jokowi, membutuhkan lahan seluas 410.000 ha.
Saat ini telah tersedia lahan seluas 256.000 ha, yang di dalamnya sudah temasuk lahan seluas 56.000 ha untuk lahan inti ibu kota baru.
Lahan seluas 5.600 ha akan diproyeksikan untuk lahan kluster pemerintahan.
Sementara sisa lahan 200.00 ha akan dijadikan kawasan hutan atau kawasan konservasi.
Anggaran yang dibutuhkan untuk pemindahan ibu kota adalah Rp 466 triliun.
(Tribunnews.com/R. Agustina)