Klaim Laut Natuna, GAMKI Minta Menhan Tegas Terhadap Pemerintah China
Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adanya informasi terkait masuknya kapal Coast Guard China ke perairan Natuna bagian Utara menimbulkan reaksi keras dari pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri RI.
Hal ini menjadi perhatian bersama, bukan saja pemerintah tetapi juga bagi Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI).
Apalagi respon Pemerintah China melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mr. Geng Shuang mengatakan bahwa China mempunyai kedaulatan di Kepulauan Nansha dan mempunyai hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan-perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha, termasuk Natuna.
Terkait pernyataan tersebut, DPP GAMKI melalui Ketua Bidang Diplomasi dan Hubungan Internasional Frangky Darwin mengatakan bahwa Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto harus bersikap tegas terhadap provokasi dan klaim China tersebut.
"Klaim historis RRT atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan yang dimaksud bersifat sepihak atau unilateral, artinya tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982," ujar Frangky dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Baca: PKS Sebut Prabowo Lembek, Gerindra: Percuma Juga Gebrak Meja Tak Ada Action
Menurutnya, klaim RRT atau China tidak berdasar karena wilayah perairan Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu merujuk pada Konvensi PBB, UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982.
UNCLOS 1982 mengatur tentang 'Hukum Laut' yang terdiri dari tiga batas maritim; Laut Teritorial, Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). ZEE dikategorikan sebagai kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar.
Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada.
Tiongkok ikut terlibat dalam UNCLOS 1982 sehingga wajib mengikuti pelaksanaan konsensus bersama ini," tegas Frangky.
Frangky menambahkan, dengan adanya aktivitas pencurian ikan oleh beberapa kapal tangkap milik China, dan kemudian didapati kapal coast guard China yang ikut memantau aktivitas tersebut merupakan bentuk pelanggaran China terhadap Konvensi UNCLOS 1982.
"Perlu diketahui bersama, bahwa Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line sepihak yang diklaim China saat ini, apalagi klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum jelas dan tidak pernah diakui sama sekali oleh Indonesia. Karena itu kami percaya Menhan bisa tegaskan hak Indonesia atas Laut Natuna ini kepada pemerintah China," sambungnya.
Lebih lanjut, GAMKI mengapresiasi sikap protes pemerintah terhadap klaim sepihak China atas perairan Natuna, namun menghimbau kepada pemerintah agar tidak memperbesar persoalan ini.
"Pemerintah harus bersikap tegas, namun di sisi lain tidak perlu memperbesar persoalan ini. Karena pada hakekatnya dunia internasional mengakui wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982. Maka persoalan ini seharusnya dapat diselesaikan melalui forum yang jauh lebih arif dan bijaksana, apalagi hak Indonesia atas Laut Natuna pada dasarnya tidak perlu dirundingkan lagi dengan pihak Tiongkok karena sudah final dan diakui internasional," imbuhnya.
"Saran kami, perlu adanya koordinasi aktif lintas pemerintah terkait, seperti Kemenhan, Bakamla, TNI AL, Polri, mengenai sistim pengawasan dan pertahanan untuk memperkuat kedaulatan batas-batas teritorial negara, melalui penambahan armada atau kapal perang, personil coast guard, agar dapat melakukan pengawasan secara intens terhadap setiap aktivitas yang terjadi di perairan ZEEI," pungkasnya.