Ketua Himpunan Nelayan Indonesia Sebut Konfilk Natuna Dipolitisasi, Ini Penjelasan Ahli
Ketua Himpunan Nelayan Indonesia, Siswaryudi Heru mengatakan konflik di perairan Natuna antara Pemerintah Indonesia dan China menjadi bahan politisasi
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Himpunan Nelayan Indonesia, Siswaryudi Heru mengatakan konflik di perairan Natuna antara Pemerintah Indonesia dan China menjadi bahan politisasi.
Menurutnya Siswaryudi ketegangan di perairan Natuna pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap kehidupan nelayan di sekitar.
"Nelayan urusannya bagaimana supaya dapat ikan, jual buat hidup, digoreng lah semua dipolitisasi," katanya dikutip dari channel YouTube Talk Show tvOne, Rabu (8/1/2020).
Siswaryudi dipolitisasi dalam konflik tersebut terlihat dengan turunnya kekuatan militer Indonesia di perairan Natuna.
"Sampai angkatan laut turun, gambarannya seperti itu, tapi dilapangan kita tidak tahu," kata Siswaryudi.
Namun, Ia tetap mengapresiasi pemerintah Indonesia yang mengambil langkah serius.
"Presiden Jokowi tetap harus tegas, memang itu teritorial dan kita dikasi hak untuk mengelola ZEE," ujar Siswaryudi.
Baca: Belajar dari Reynhard Sinaga, Kenapa Orang Berpendidikan Tinggi Melakukan Hal Keji? Ini Jawabannya
Guru besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan), Prof Salim Sahid menegaskan ketegangan Pemerintah Indonesia dan China tidak lepas dari kegiatan politik.
Terlebih mengerakkan berbagai kekuatan militer, merupakan kelanjutan dari penggunaan kekuasan politik.
"Tidak ada negara yang berkonflik, tanpa bermula dengan konflik politik," ujar Salim.
Lanjut Salim, ia berpendapat penyelesaikan konflik di perairan Natuna sebaiknya juga dilakukan secara beradab dengan politik.
Cara tersebut berupa bertemunya Pemerintah Indonesia dan China untuk saling berbicara.
Pemerintah Indonesia akan memiliki kesempatan untuk menjelaskan kesalahan yang dilakukan China dengan membiarkan para nelayannya mencari ikan di perairan Natuna.
"Kalau persepsi Indonesia, berdasarkan hukum itu wilayah Indonesia, maka kita mau bicara sama China: ngapain loe masuk wialayah gue,"
"Kalau China bilang itu wilayah nelayan tradisional saya, maka kita harus berunding," ujar Salim.
Jika upaya berunding tidak menemukan titik temu, Salim menjelasakan peeirntah Indonesia tidak punya cara lain selain mengangkat senjata.
"Kalau perdebatan tidak selesai, senjata alutsista akan bicara" katanya.
Namun, Salim menyayangkan jika langkah terakhir dengan mengerahkan alutsista untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Baca: Tandingi Donald Trump, Pejabat Tinggi Iran Posting Gambar Bendera Iran Setelah Serangan Balasan
Ia mengatakan jika terbukti benar nelayan-nelayan China mencuri ikan di perairan tersebut, maka pemerintah wajib melakukan tindakan.
"Itu tanggung jawab pemerintah, melindungi wilayah Indonesia, melindungi nelayan Indonesia," kata Salim.
Termasuk dengan pengerahan personil militer dan alutsista milik Indonesia untuk menjaga perairan Natuna.
Menurut Salim, tindakan tersebut tidak dapat dihindarkan.
"Ya kalau melanggar wilayah kita harus diusir, kalau dilawan kita terpakasa menggunakan alusista itu, sederhana sekali persoalannya," tandas Salim.
Dalam Program Apa Kabar Indonesia pagi, Salim juga mengingatkan jika China memiliki segudang persoalan di negara berjuluk negara tirai bambu ini.
"China punya persolan-persoalan, banyak penganguran di sana, penduduknya bertambah terus"
"Ada kebutuhan untuk mencari bukan hanya lapangan kerja di negara lain, tapi juga sumber-sumber dari negara lain," Salim mengingatkan.
Ia berpadangan perlunya campur tangan intelijen untuk mengetahui masalah yang dihadapi China terhadap stabilitas di Indonesia.
Salim mengkhawatirkan ketegangan antara Pemerintah Indonesia dan China di perairan Natuna dapat menimbulkan gejolak di dalam negeri.
"Mempunyai dampak hubungan antara orang Tionghoa Indonesia dengan Pemerintah Indonesia pada umumnya. Itu yang saya takutkan," tutup Salim.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)