Prabowo Disebut Setujui Kapal Bakamla Dipersenjatai: Belikan yang Besar
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto disebut Kepala Bakamla menyetujui jika kapal patroli Indonesia dipersenjatai
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya Achmad Taufieqoerrochman, mengungkap fakta persenjataan kapal patroli alias Coast Guard Indonesia.
Ia mengatakan bahwa Coast Guard Indonesia hanya dipersenjatai keris.
Artinya tidak ada senjata api dan lainnya untuk berpatroli dan menjaga wilayah kedaulatan Indonesia.
Dalam hal ini seperti pengamanan Perairan Natuna atas kapal-kapal Tiongkok, atau China.
Taufieq, sapaan akrabnya, mengungkap hal demikian dalam acara Mata Najwa Trans7 bertajuk Ada China di Natuna yang disiarkan langsung Rabu (8/1/2020) malam.
Saat itu sang pembawa acara, Najwa Shihab, menuturkan bagaimana detik-detik Bakamla berkoordinasi dengan Coast Guard China berlayar di perairan wilayah kedaulatan Indonesia.
Kepala Bakamla bercerita bahwa petugas Coast Guard Indonesia selalu hadir untuk membayangi kapal China.
Dalam video yang diputar di Mata Najwa pun terlihat bahwa petugas Kapal Patroli Indonesia telah menyatakan Kapal China melanggar aturan masuk wilayah Indonesia.
Namun, petugas Kapal China tetap bersikukuh tak melanggar aturan dan merasa benar berlayar di wilayahnya.
"Kita tetap hadir, sampai saat ini kita tetap hadir (di Natuna)," ungkap Kepala Bakamla.
Dikatakan dia, sikap petugas Coast Guard China tak berubah meski petugas Coast Guard Indonesia meminta mereka mundur.
"Mereka tetap seperti itu, setelah dijelaskan mereka tetap beralasan seperti itu (menganggap tak salah)," imbuhnya.
"Kita sudah giring ke utara, kita sudah pepet tapi tetap tidak mau, tapi kita tidak boleh membahayakan manuver (kapal lain) itu ada aturannya."
Dirinya melanjutkan, bahwa Coast Guard Indonesia tak dipersenjatai, berbeda dengan Coast Guard China.
"Kondisi Kapal Bakamla tidak ada senjata, kami hanya bawa keris sesuai dengan peraturan. Sedangkan kapal Coast Guard Cina membawa senjata," paparnya.
Lantas Najwa terkejut.
"Tidak ada senjata?" tanyanya.
"Hanya keris," jawab Taufieq.
Terkait persenjataan, dirinya mengungkapkan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah menyetujui pengadaan senjata untuk Kapal Bakamla.
"Pak Prabowo (bilang), belikan yang besar, kemarin belum ada, ini baru disetujui sekarang (persenjataan)," timpalnya.
Lain dari hal itu, Kepala Bakamla menuturkan bahwa ada dan tidak adanya senjata menurutnya bukanlah masalah saat ini.
Pasalnya, situasi yang ada sekarang tidak dalam keadaan tengah berperang.
"Kita tidak dalam keadaan perang, jadi bagi saya tidak maslah jadi kalau tidak bersenjata malah menguntungkan kita," jelasnya.
Fadli Zon sarankan 2 hal untuk persoalan Natuna
Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen DPR RI, Fadli Zon, menyuarakan pendapatnya untuk persoalan klaim China atas Perairan Natuna.
Ia menyebut bahwa Pemerintah Indonesia harus melakukan kombinasi.
Kombinasi diperlukan untuk mempertahankan wilayah Natuna sebagai milik Indonesia yang belakangan ini menjadi persoalan lantaran klaim China.
Fadli Zon, menjadi bintang tamu dalam acara Mata Najwa di Trans7 bertajuk Ada China di Natuna.
Tak hanya mantan Wakil Ketua DPR periode sebelumnya, hadir juga Kepala KSP Moeldoko, Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid, hingga Peneliti CSIS Evan Laksmana.
Untuk menanggapi narasi klaim China atas Periran Natuna, Fadli Zon mengungkapkan soal kombinasi.
Kombinasi yang dia maksud adalah kehadiran Pemerintah di Natuna dan langkah diplomasi.
"Kehadiran kita secara fisik itu sangat perlu. Kita perlu menggunakan teknologi untuk membuat kita tahu, agar ada respon yg cepat,” ungkapnya.
Sementara, pihaknya juga mengungkap pentingnya langkah diplomasi dari Indonesia untuk China.
Bahkan pihaknya menerangkan, langkah drastis harus dilakukan jika diplomasi tak ditanggapi China.
"Kalau sampai diplomasi tinggi tidak ada reaksi, maka kita harus mengambil langkah yang drastis,” tegas dia.
Pulangkan Dubes RI di China
Sementara itu peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksaman, berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia harus melakukan sejumlah langkah-langah terukur.
Seperti halnya menarik duta besar Indonesia di China.
Langkah tersebut menurutnya harus dilakukan jika serangkaian terobosan dimulai dari langkah diplomasi tak diindahkan China.
"kita sudah menyatakan nota protes tapi sama saja, sekarang bagaimana kita meningkatkan eskalasi bukan di lapangan tapi untuk langkah diplomasi," ungkap dia.
"Goal kita bukan untuk meminta China me-reannounce nine-dash line, tapi bagaimana kita memastikan agar keluar dari krisis ini dan tidak berulang kembali."
"Kalau tidak ada perubahan saya rasa kita harus memanggil pulang dubes kita dari China," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Chrysnha)