Secarik Kertas Berisi Pesan Wahyu Setiawan yang Resmi Ditahan KPK
Begitu menjumpai awak media di pintu keluar gedung lembaga antirasuah, Wahyu Setiawan memberikan secarik kertas
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (10/1/2020) dini hari.
Wahyu Setiawan keluar dari dalam Gedung Merah Putih KPK Jakarta pukul 01.24 WIB.
Baca: Ada 2 Orang Diduga Utusan DPP PDIP dalam Rangkaian Kasus Komisoner KPU
Wahyu Setiawan mengenakan rompi oranye serta borgol di tangan.
Namun borgol yang ia kenakan agak tertutup tas ransel yang ditentengnya.
Begitu menjumpai awak media di pintu keluar gedung lembaga antirasuah, Wahyu Setiawan memberikan secarik kertas.
Berikut isi secarik kertas yang diterima awak media:
Surat Terbuka Wahyu Setiawan
Saya menyampaikan permohonan maaf kepada ketua, anggota dan sekjen KPU RI atas peristiwa yang saya alami
Saya juga mohon maaf kepada seluruh jajaran KPU se-Indonesia
Kejadian ini murni masalah pribadi saya dan saya menghormati proses hukum yang sedang dilakukan oleh KPK
Dengan saya telah ditetapkan sebagai tersangka, maka dalam waktu segera saya akan mengundurkan diri sebagai anggota KPU
Mohon doa semoga saya diberi kesehatan dan kesabaran
Wahyu juga tak lupa memberikan pernyataan.
Ia menyatakan bersikap kooperatif saat menjalani pemeriksaan di KPK.
"Sangat kooperatif," ucap Wahyu Setiawan.
Dalam perkara yang menjerat Wahyu, diketahui nama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ikut terseret.
Ketika dikonfirmasi awak media adakah uang suap yang berasal dari Hasto, Wahyu menepisnya.
"Oh tanya penyidik itu, terima kasih," ucapnya sebelum memasuki mobil tahanan KPK.
Sebelumnya, mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina, telah lebih dulu ditahan KPK.
Agustina keluar dari gedung KPK pukul 00.43 WIB.
Namun ia memilih menutupi wajahnya dengan map merah dan bungkam.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, Wahyu ditahan di Rutan Pomdam Jaya Guntur.
Sementara Agustina ditahan di Rutan K4 KPK.
"Para tersangka ditahan selama 20 hari pertama," kata Ali ketika dikonfirmasi.
Kini awak media tinggal menunggu satu tersangka yang akan ditahan.
Dia adalah Saeful selaku pihak swasta.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024.
KPK juga turut menetapkan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP Harun Masiku, serta seorang swasta bernama Saeful.
Dalam perkara ini, KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful.
Suap dengan total sebesar Rp900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
Baca: Hendak Menjalankan Ibadah Salat, Tim KPK Diperiksa dan Dites Urine di PTIK
Atas perbuatannya, Wahyu dan Agustiani disangka melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Harun dan Saeful dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dua orang diduga utusan PDIP
Dalam konferensi pers penetapan tersangka, KPK membuka identitas kedua inisial itu, yakni Saeful yang disebut sebagai pihak swasta dan Doni, advokat yang juga caleg PDIP.
Baca: Kunjungi Natuna, Jokowi Dinilai Tunjukkan Keseriusan Pemerintah Jaga Kedaulatan Negara
Saeful pun telah menjadi tersangka dalam kasus ini.
Sedangkan, Doni hanya menjadi terperiksa setelah giat OTT dilakukan.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyatakan Doni bukannya lolos dari status tersangka.
Ia menyebut tahapan penyidikan terus dikembangkan.
Bisa saja, kata Lili, tersangka bakal bertambah.
"Belum tentu kata-kata lolos atau jangan-jangan lagi ada bertambah. Tinggal di penyidikan nanti dikembangkan," kata Lili di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020).
Lili mengatakan, Doni berperan mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 peraturan KPU 3 2019 tentang Pemungutan Perhitungan Suara ke Mahkamah Agung.
Pengajuan ini terkait dengan meninggalnya caleg PDIP dari Sumatera Selatan, Nazarudin Kiemas, pada Maret 2019.
PDIP ingin suara Nazarudin, sebagai pemenang pemilu legislatif, masuk kepada Harun Masiku.
Gugatan ini dikabulkan MA pada Juli 2019.
Dalam putusannya, MA menetapkan partai menjadi penentu suara pada pergantian antar waktu.
Putusan MA ini menjadi dasar bagi PDIP mengirim surat ke KPU untuk menetapkan Harun Masiku.
Tapi, KPU tetap menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin.
Pada 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa ke MA.
Kemudian, partai juga mengirim surat penetapan caleg ke KPU pada 23 September 2019.
Untuk memuluskan jalan Harun, Saefulah, seorang swasta, kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu.
Agustiani kemudian melobi Wahyu Setiawan agar mengabulkan Harun Masiku sebagai anggota DPR terpilih.
Agustiani mengirim dokumen dan fatwa MA kepada Wahyu.
Wahyu menyanggupi dengan menjawab, “Siap, Mainkan!”
Lili mengatakan, untuk membantu penetapan Harun, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta.
Menurut Lili, ada dua kali pemberian uang.
Pertama pada medio Desember 2019, ada seorang seseorang yang memberikan uang Rp400 juta kepada Agustiani, Doni, dan Saefulah.
Kemudian, Agustiani memberikan Rp200 juta kepada Wahyu.
Pada Desember 2019, Harun memberikan uang kepada Saefulah sebesar Rp850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP.
Kemudian, Saefulah memberikan uang kepada Doni Rp150 juta.
Sisanya Rp700 juta masih di tangan Saefullah.
Ia membagi menjadi dua, Rp450 juta diberikan kepada Agustiani dan Rp 250 juta untuk operasional.
Pada Selasa, 7 Januari 2020 berdasarkan hasil rapat pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai PAW.
Setelah gagal di rapat pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi Doni menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi anggota DPR melalui PAW.
Baca: Ray Rangkuti Kritisi Pengawasan KPK yang Berlapis
Pada Rabu (8/1/2020), Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustiani.
Setelah penyerahan uang ini, KPK menangkap Wahyu dan Agustiani di tempat berbeda.