Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wahyuni Refi: UU SDA 2019 Berpotensi Dibatalkan

Refi melihat ada sikap apatis masyarakat yang membuat UU SDA 2019 sepi dari perdebatan publik.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Wahyuni Refi: UU SDA 2019 Berpotensi Dibatalkan
HO/Tribunnews.com
Wahyuni Refi Setya Bekti. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Partai Amanat Nasional (PAN)  yang baru saja meraih doktor ilmu politik di FISIP Universitas Indonesia (UI) Wahyuni Refi Setya Bekti, langsung melempar kritik keras terhadap pengesahan UU Sumber Daya Air (SDA) 2019 yang ia sebut "sarat keganjilan".

"UU SDA No. 17/2019 itu esensinya sama dengan UU SDA No. 7/2004 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015. Intinya, pemerintah membuka ruang seluas-luasnya kepada korporasi untuk melakukan privatisasi usaha air," ujar Dr. Wahyuni Refi Setya Bekti di Jakarta, Minggu (12/1/2020).

Refi, sapaan karib Wakil Sekjen DPP PAN itu, baru hari Rabu (8/1/2020) lalu meraih gelar doktor dengan yudisium sangat memuaskan (cum laude) di kampus UI.

Bukan kebetulan, disertasi yang ia beri judul "Konflik Politik Pengelolaan SDA, Studi Kasus Perumusan dan Pembatalan UU 7/2004 tentang SDA".

Baca: Kritisi Kebijakan Megawati, Mantan Ketua Presidium GMNI Raih Doktor dengan Predikat Cum Laude

Menurut Ketua Presidium GMNI (2002 - 2004) ini, meskipun esensi UU SDA versi 2004 dan 2019 sama-sama sarat dengan kontroversi namun konflik politik yang tercermin dalam proses pembahasan di DPR RI sama sekali berbeda.

"Dinamika akademik dalam proses penyusunan UU 17/2019 hampir bisa dikatakan tidak terjadi. UU SDA ini sunyi dan senyap dari konteks perdebatan publik. Tidak disangka, tiba-tiba sudah disahkan DPR RI pada September 2019 lalu," katanya.

Refi melihat ada sikap apatis masyarakat yang membuat UU SDA 2019 sepi dari perdebatan publik.

Berita Rekomendasi

Padahal, ia kembali mengingatkan, secara esensi UU SDA 2019 masih senada seirama dengan UU SDA 2004, yang notabene sudah dibatalkan lewat putusan MK 2015.

Kontras dengan pembahasan UU SDA 2019 yang sunyi senyap, hal sebaliknya terjadi dalam proses pembahasan UU SDA 2004. Perdebatan publik sangat riuh saat RUU yang diinisiasi Presiden Megawati itu dibahas di Gedung DPR RI.

Pengesahan UU SDA 2004 di parlemen kala itu juga diwarnai dengan nota keberatan (minderheits nota) dan aksi walk out Fraksi Reformasi (PAN dan PKS).

"Bahkan, setelah UU SDA 2004 disahkan, terdapat permohonan pengajuan uji materi ke MK dengan jumlah pemohon terbanyak, yakni mencapai enam kali permohonan uji materi," tambah Refi.

Melihat adanya keganjilan dalam proses pembahasan dan pengesahan UU SDA No. 17/2019 di DPR RI, Refi meyakini UU ini akan mengalami hal yang sama dengan UU SDA 2004.

Berpotensi diuji materi, bahkan dibatalkan. "Saya katakan ini 'de javu'. Kondisi sama di waktu berbeda yang bakal terulang," tuturnya.

Dari sisi konten, masih kata Refi, perbedaan dari kedua UU SDA di antaranya terletak pada diksi yang dipakai.

"UU SDA 2019 tidak menggunakan diksi privatisasi, tapi esensinya justru lebih terbuka dari UU SDA 2004," imbuhnya.

Dalam UU SDA 2004, diksi yang dipakai adalah "hak guna usaha air". "Yang sekarang ini hampir sama, tapi dia punya klausul yang lebih banyak mengatur tentang keterlibatan ataupun peran swasta," jelas Refi.

Di atas semuanya, perempuan kelahiran Surabaya ini menyimpulkan, pengesahan UU SDA 2019 maupun 2004 galibnya dibingkai oleh kepentingan yang sama.

"Intinya, korporasi selalu menggunakan kekuatan lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia atau Asian Development Bank (ADB) untuk memaksa negara dengan membuat kebijakan seturut kepentingannya," simpul Refi.

Di situ pula anomali bisa terjadi, seperti terekam dalam pengesahan UU SDA 2004. Presiden Megawati berikut partainya (PDI Perjuangan), ketika itu selalu dipersepsikan sebagai penganut ideologi nasionalis yang pro rakyat.

"Namun, dalam perumusan dan pengesahan UU SDA 2004, mereka ternyata menyerah dan menjadi pengikut ideologi neoliberal yang lebih pro korporasi,” tegas Refi.

Tata Kelola SDA untuk Hindari Krisis Lingkungan

Dalam perspektif senada, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Arif Satria, S.P, MSi yang  juga menyinggung pentingnya tata kelola sumber daya alam untuk menghindari krisis lingkungan.

Disampaikan dalam pidato pengukuhan guru besar di Fakultas Ekologi Manusia IPB, Sabtu (11/1/2020), Arif Satria mengatakan krisis lingkungan pada dasarnya berasal dari krisis tata kelola sumber daya alam.

Terkait itu, dalam penelitiannya, Arif memberikan dua perspektif baru dalam menangani krisis tersebut.

"Diperlukan perbaikan tata kelola dengan membuat perspektif baru yang disebut dengan modernisasi ekologi atau ecology modernization dan ekologi politik atau political ecology untuk menelaah, mengurai, memahami sumber masalahnya dan menawarkan resolusi," ucap Arif.

Modernisasi merupakan upaya adaptasi ulang masyarakat industri terhadap lingkungan hidupnya dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern dan teknologi untuk daya dukung alam dan pembangunan berkelanjutan.

Di antaranya, kata Arif, melakukan perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk lebih pro-ekologi.

Sedangkan terkait ekologi politik, menurut Arif, krisis lingkungan tidak dapat dilepaskan dari konteks politik dan ekonomi.

"Persoalan lingkungan memang tidak terpisah dari konteks politik dan ekonomi (politicized environment), melibatkan aktor-aktor berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional, maupun global," kata Arif. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas