Abdi Dalam Keraton Agung Sejagat Bayar Rp 2 Juta, Setahun Bantu Bangun Gedung: Mengaku Menyesal
Raja Keraton Agung Sejagat, Totok Santoso Hadiningrat sempat menjanjikan kehidupan lebih baik kepada para pengikutnya. Kini merekaa merasa menyesal.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Raja Keraton Agung Sejagat, Totok Santoso Hadiningrat sempat menjanjikan kehidupan lebih baik kepada para pengikutnya.
Totok diketahui menjanjikan gaji dengan nilai mata uang dollar.
Kini, para pengikut Totok Santoso Hadiningrat ini mengaku menyesal bergabung menjadi Punggawa maupun Abdi Dalam Keraton.
Hal itu lantaran, selain telah membayar sejumlah uang untuk bergabung, mereka tidak mendapat bayaran selama membantu membangun Keraton.
Eko Pratolo yang merupakan perangkat desa di Purworejo itu juga mengaku menyesal.
Pasalnya, ia membayar lebih dari Rp 2 juta rupiah untuk mendapat seragam kebesaran keraton.
Selama satu tahun terakhir, ia juga membantu membangun Keraton Agung Sejagat.
"Menyelesaikan sarana prasarana, gedung, prasasti, pendhopo, sendang," kata Eko Pratolo yang dikutip dari tayangan YouTube SCTV, Kamis (16/1/2020).
Anomie Masyarakat
Terkait Keraton Agung Sejagat ini, Kaprodi Pendidikan Sosiologi Antropologi, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Nurhadi memberikan tanggapannya.
Menurut Nurhadi, yang merupakan Antropolog, menjelaskan alasan orang-orang bersedia menjadi anggota Keraton Agung Sejagat berdasar konsep Antropologi.
"Di dalam antropologi itu ada konsep namanya Anomie," terang Nurhadi dihubungi Tribunnews.com melalui sambungan telepon Kamis (16/1/2020).
"Anomie adalah kondisi ketika orang sedang berada di posisi antara atau tanpa peraturan," imbuhnya.
masyarakat Indonesia sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris menjadi industri.
"Perubahan yang cepat itu, tidak dapat diikuti semua orang," jelasnya.
"Lalu orang-orang yang gagal di dalam proses itu maka dia berada dalam kondisi terasing."
Nurhadi mengatakan orang-orang yang terasing rentan menjadi korban.
Namun ada dua hal dasar untuk mudah menggaet korban.
"Orang-orang itu terkadang dibujuk sesuatu yang sifatnya materil. Tetapi sebagian orang itu tidak mempan dengan tuntutan materil," ujar Nurhadi.
"Orang mungkin lebih terbujuk dengan yang sifatnya prestige misalnya kedudukan sosial, gengsi, nama besar."
Untuk membujuk korban, tidak cukup hanya menyasar materil dan prestige.
Totok Dinilai Paham Budaya Jawa
Nurhadi mengatakan kemampuan lain yang dimiliki Totok.
Menurutnya, Totok sangat paham budaya jawa.
"Totok paham betul Budaya Jawa. Orang Jawa cenderung sulit menolak jika berulang kali diminta."
"Ada rasa tidak enak atau juga karena sudah berkawan baik," tuturnya.
Totok dinilai amat paham budaya jawa yang sungkan menolak hingga akhirnya tergabung dalam kerajaan.
"Totok paham dengan orang jawa yang tidak enak perasaan atau pakewuh dan akhirnya bergabung walaupun dengan rasa terpaksa," katanya.
Nurhadi pun menduga Totok akan berhubungan baik lebih dulu dengan korban.
"Saya menduga Totok berhubungan baik dulu dengan orang yang akan jadi korbannya, lalu mengajak bergabung dengan organisasinya," imbuhnya.
Orang Jawa Rentan Menjadi Korban
Nurhadi mengatakan orang jawa juga rentan menjadi korban karena mudah terpikat dengan tampilan luar.
"Orang Jawa mudah terpikat dengan cara orang berbicara manis, kemudian sopan dan halus, kesan baik itu menjadi pintu masuk supaya bergabung dengannya," jelasnya.
Sebagaimana diketahui Totok memang sudah pernah muncul di media pada 2016.
Totok pernah diwawancarai Tribunnews terkait organisasi soial yang dia buat di Yogyakarta, Jogjakarta Development Committe (JOGJA-DEC).
Warga sempat menduga JOGJA-DEC mirip dengan organisasi Gafatar, yang mendoktrin pengikutnya rela menyerahkan harta benda dengan suka rela untuk organisasi.
Saat itu, Totok menjelaskan tujuan JOGJA-DEC kepada Tribunnews, khususnya janji keuntungan uang dalam bentuk dollar kepada pengikutnya.
"Kami akan berikan uang pada anggota yang sudah terdaftar sebesar 100-200 dollar per bulan dalam bentuk dana kemanusiaan melalui koperasi yang akan kami bentuk," katanya saat itu.
Nurhadi lantas membeberkan bagaimana sosok Totok yang pernah membuat perkumpulan serupa di tahun 2016 akan jera setelah tertangkap polisi.
"Beda cerita dengan orang yang sudah tertangkap dan belum."
"Tetapi bisa jadi kalau sudah tertangkap dia semakin memahami titik lemah yang harus ia perbaiki kedepan," tegasnya.
Nurhadi pun mengatakan dirinya berharap Totok benar-benar berhenti melakukan penipuan.
"Dia bisa menjadi pelajaran bagi orang lain supaya tidak mengikuti jalur yang ia tempuh," ujar Nurhadi.
Sebelumnya diberitakan, publik dihebohkan dengan keberadaan Keraton Agung Sejagat.
Kerajaan tersebut berada di RT 3 RW 1, Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Namun, 'usia' keraton ini tak lama sebab polisi menangkap Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagat, yaitu Totok Santoso Hadiningrat (42) dan Fanni Aminadia (41) alias Dyah Gitarja.
Kini, pasangan bukan suami istri tersebut ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolda Jateng.
Keduanya juga dijerat dua pasal yaitu pasal 378 KUHP tentang penipuan serta pasal 14 UU RI No 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Maliana)