Muhtar Ependy Klaim Pimpinan KPK Intervensi Kasus Pencucian Uang Hasil Suap Sengketa Pilkada
Pansus Hak Angket KPK menghadirkan Muhtar ke gedung DPR. Dia memberikan keterangan terkait pemeriksaan saat menjadi saksi KPK.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muhtar Ependy mengklaim perkara pencucian uang hasil suap sengketa pilkada yang menjerat dirinya tidak lepas dari keterlibatan sebagai saksi Hak Angket KPK pada 2017.
Hal ini disampaikan Muhtar saat memberikan keterangan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (23/1/2020).
"Jujur yang pasti bisa nanti ditanya penyidik ada rekaman saya disidik penyidik namanya Irwan Susanto itu jelas dia merekam saya waktu disidik. Itu akibat Pak Muhtar ikut-ikutan menjadi saksi angket KPK 2017," kata Muhtar.
Pada 2017 lalu, Pansus Hak Angket KPK menghadirkan Muhtar ke gedung DPR. Dia memberikan keterangan terkait pemeriksaan saat menjadi saksi KPK.
Baca: Foto Kedekatan Akil dan Muhtar Ependy Kembali Ditampilkan di Persidangan
Muhtar mengaku ke Pansus Hak Angket KPK untuk mencari kebenaran. Pada waktu itu, dia menuding, KPK melakukan kezaliman saat memeriksa sebagai saksi untuk Akil Mochtar.
"Itu mengapa saya dihadirkan karena saya menjadi saksi angket KPK di DPR RI. Jadi Ketua KPK (Agus Rahardjo,-red) itu marah. Itu ada rekaman kalau memang dia jujur saya diperiksa," ujarnya.
Selain itu, pada 2016 lalu, dia mengklaim pernah didatangi orang suruhan mantan juru bicara KPK, Johan Budi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin.
"Kemudian 2016 saya didatangi orang suruhan Johan Budi di Sukamiskin tiga orang. Mereka ingin mengembalikan harta saya karena ini mau lebaran," ungkapnya.
Namun, sebelum mengembalikan harta benda yang sudah disita KPK, Muhtar mengaku ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.
"Jadi tolong pak Muhtar ini kan mau THR (tunjangan hari raya,-red). Minta tolong nanti kita kembalikan asal pak Muhtar mau harta dibagi dua dan hak jual ditangani kami. Loh ini harta tidak disita kenapa harus dibagi dua kalau kasih THR mobil saya kan ada 28 bisa bagi dua di situ, rumah tanah itu hak saya," tambahnya.
Baca: KPK Tolak Laporan PSI Soal Dugaan Korupsi Revitalisasi Monas
Sebelumnya, Muhtar Ependy sudah divonis pidana penjara selama lima tahun ditambah denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Majelis hakim menyebutkan Muhtar terbukti menjadi penghubung dalam pengurusan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang.
Dalam perkara ini, Akil mendapatkan Rp 15,5 Miliar melalui Muhtar dari Bupati petahana Budi Antoni Aljufri.
Setelah itu, Muhtar Ependy, kembali diproses hukum. Dia didakwa baik sendiri atau bersama-sama dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, melakukan pencucian uang untuk menyamarkan hasil korupsi yang dilakukannya bersama Akil.
Caranya, menurut jaksa, Ependy menitipkan uang sekitar Rp 21,42 miliar dan 816.700 dollar AS kepada seorang bernama Iwan Sutaryadi.
Kemudian, dia menempatkan uang sebesar Rp 4 miliar di rekening BPD Kalbar Cabang Jakarta; mentransfer uang Rp 3,86 miliar dari rekening di BPD Kalbar ke rekening BNI Cabang Pontianak atas nama CV Ratu Samagat.
Kemudian, menempatkan uang sebesar Rp 11,09 miliar di rekening BPD Kalbar, Rp 1,5 miliar di rekening BCA atas nama Lia Tri Tirtasari, Rp 500 juta di rekening Bank Panin atas nama PT Promic International dan uang Rp 500 juta di rekening BCA atas nama Muhtar Ependy.
Selanjutnya, mentransfer uang berjumlah Rp 7,38 miliar ke sekitar 8 rekening pihak lain; membeli bahan baju hyget dengan harga Rp 500 juta; membeli kain bendera dengan harga Rp 500 juta; membeli 25 unit mobil dan 31 motor dengan harga keseluruhan sekitar Rp 5,32 miliar.
Baca: ICW Sebut Yasonna Laoly dan Pimpinan KPK Tebar Hoaks soal Keberadaan Harun Masiku
Berikutnya, membeli tanah dan bangunan yang terletak di Desa Sedau, Kabupaten Bengkayang senilai Rp 1,2 miliar; di Desa Waluran, Jawa Barat senilai Rp 50 juta; di Kelurahan Serdang, Jakarta Pusat senilai Rp 1,35 miliar; di Kelurahan Cempaka Putih, Jakarta Pusat senilai Rp 3,5 miliar dan di Desa Karangduwur, Jawa Tengah senilai Rp 217 juta.
Serta, dia memberikan piutang senilai Rp 1 miliar ke PT Intermedia Networks.
Menurut jaksa, sumber dana pencucian uang itu berasal dari mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan mantan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri.
Dalam dakwaan pertama Ependy, ia dan Akil disebut menerima uang sekitar Rp 16,42 miliar dan 316.700 dollar Amerika Serikat (AS) dari Romi Herton dan istrinya Masyito.
Uang tersebut terkait permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kota Palembang.
Kemudian keduanya juga disebut menerima uang Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS dari Budi Antoni Aljufri. Uang tersebut terkait permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kabupaten Empat Lawang.
Muhtar Ependy didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Baca: Mantan Dirut Pelindo RJ Lino Penuhi Panggilan KPK: Ini Proses yang Harus Dihadapi
Sebelumnya, Ependy sudah divonis lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan oleh majelis hakim pada tahun 2015 silam.
Saat itu, majelis hakim menganggap Ependy terbukti memberikan kesaksian palsu dan mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan tidak benar dalam sidang Akil.
Adapun Akil Mochtar diketahui divonis seumur hidup setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasinya.
Permohonan kasasi ditolak antara lain dengan pertimbangan bahwa Akil Mochtar adalah seorang hakim MK yang seharusnya merupakan negarawan sejati dan steril dari perbuatan tindak pidana korupsi.
Akil Mochtar divonis seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa Pilkada di MK dan tindak pidana pencucian uang.