Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

100 Hari Kerja Jokowi-Ma'ruf, Analis Politik: Rapor Merah pada Poin Hak Asasi Manusia

Analis politik menyebutkan poin HAM, demokrasi, dan penegakan hukum menjadi rapor merah 100 hari kerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Daryono
zoom-in 100 Hari Kerja Jokowi-Ma'ruf, Analis Politik: Rapor Merah pada Poin Hak Asasi Manusia
Instagram @jokowi & Pangi Syarwi Chaniago
Analis politik Pangi Syarwi Chaniago menyebutkan poin HAM, demokrasi, dan penegakan hukum menjadi rapor merah di 100 hari kerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin, Kamis (30/1/2020). 

TRIBUNNEWS.COM -  Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin dalam 100 hari kerjanya gagal membawa harapan baru.

"Pemerintah tidak mampu menaikkan animo kepercayaan publik, yang ada pesimis karena pertumbuhan ekonomi mangkrak," terang Pangi saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (30/1/2020).

Pangi pun menyebutkan poin Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, dan penegakan hukum menjadi rapor merah 100 hari kerja pemerintahan Jokowi.

Menurut Pangi, penegakan hukum di negeri ini pun semakin kehilangan arah.

Pangi Nilai 100 Hari Kerja Jokowi
Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam 100 hari kerjanya gagal membawa harapan baru.

"Penegakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM jalan di tempat, jadi pemerintah Jokowi lemah dan gagal atau rapor merah pada poin HAM, demokrasi, dan kebebasan serta penegakan hukum," ujarnya.

Bahkan, menurut Pangi, kasus pelanggaran HAM hanya dijadikan komoditas politik saja.

"Nggak ada agenda untuk mengusut kasus HAM masa lalu, anggap saja ini hanya isu yang seksi dan berguna ketika kampanye pilpres," terang Pangi.

Berita Rekomendasi

100 Hari Kerja Jokowi-Ma'ruf Amin Dinilai Minim Gebrakan

Sementara itu, Pangi menyebut 100 hari kerja pemerintahan Jokowi ini minim gebrakan dan terobosan.

Menurut Pangi, yang tampak justru polemik pemindahan ibu kota.

"Kalau kita cermati, hampir nggak ada gebrakan dan terobosan, yang ada hanya polemik soal pemindahan ibu kota," kata Pangi.

Sementara itu, Pangi juga mengatakan, pembangunan infrastruktur dinilai gagal total dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

"Kedaulatan negara makin lemah ketika pemerintah kehilangan wibawa atas Pelanggaran ZEE oleh kapal China di Natuna," lanjutnya.

Pangi menuturkan, 100 hari kerja memang bukan waktu yang panjang.

Namun, bukan juga waktu yang pendek.

Pasalnya, menurut Pangi, 100 hari merupakan waktu yang sangat menentukan.

Ia pun menyatakan kepuasan terhadap kinerja Jokowi saat ini terbilang belum memuaskan.

"Kepuasaan terhadap kinerja Jokowi masih belum memuaskan," kata Pangi.

"Buktinya harga listrik, gas, iuran BPJS, kenaikan tol, impor yang tinggi, penambahan buku hutang baru, investasi tapi nggak punya korelasi peningkatan kesejahteraan, dan belum efektif menyerap lapangan pekerjaan," tambahnya.

Pangi pun berharap Jokowi dapat mengingat janji-janji politik yang ia sampaikan semasa kampanye.

Menurutnya, ia belum melihat janji-janji politik Jokowi yang ditunaikan hingga saat ini.

"Saya belum lihat, kalau ada coba tunjukkan ke kita supaya kita tahu mana janji manisnya yang beliau sudah tuntaskan," kata Pangi.

Catatan Polemik Penegakan HAM

Sejumlah gebrakan telah dibuat dalam 100 hari kerja pemerintahan Jokowi dan Ma'ruf Amin.

Akan tetapi, dalam 100 hari pemerintahannya, masih terdapat polemik terkait penegakan HAM yang belum menemui titik terang.

Berikut catatan polemik penegakan HAM yang dirangkum Tribunnews.com:

1. Polemik Penggusuran RW 11 Tamansari

Polemik penegakan HAM di antaranya terjadi pada kasus penggusuran di RW 11, Kelurahan Tamansari, Bandung.

Satu unit alat berat beko menghancurkan sejumlah bangunan rumah warga di lahan gusuran di RW 11, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, Kamis (12/12/2019). Eksekusi lahan yang dijadikan proyek rumah deret itu diwarnai bentrokan antara Satpol PP dengan pemuda yang berusaha menghadang proses penggusuran. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)
Satu unit alat berat beko menghancurkan sejumlah bangunan rumah warga di lahan gusuran di RW 11, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, Kamis (12/12/2019). Eksekusi lahan yang dijadikan proyek rumah deret itu diwarnai bentrokan antara Satpol PP dengan pemuda yang berusaha menghadang proses penggusuran. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Dilansir dari Kompas.com, penggusuran di RW 11 Tamansari oleh Pemerintah Kota Bandung berlangsung ricuh.

Bahkan, dalam video yang beredar di media massa, tampak aparat Kepolisian memukul warga saat mengamankan proses penggusuran.

Asisten Pembelaan Umum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Riekfi Zulfikar mengatakan ada 37 korban yang terdiri atas warga korban dan relawan aksi penolakan.

Melihat kejadian tersebut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mengakui adanya tindakan pelanggaran HAM.

"Iya (pelanggaran HAM), kalau kita lihat rekaman media," kata Anam di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (14/1/2020).

Namun, sampai saat ini belum ada tindakan pasti dari pemerintah terkait penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM di Tamansari.

2. Peristiwa Semanggi

Dikutip dari Kompas.com, peristiwa Semanggi I merupakan momen di mana mahasiswa menggelar demonstrasi terkait tuntutan reformasi.

Peristiwa tersebut terjadi pada 11-13 November 1998.

Dalam peristiwa itu, mahasiswa menggelar aksi penolakan terhadap Sidang Istimewa MPR/DPR mengenai pemerintahan transisi yang dipimpin BJ Habibie.

Pertumpahan darah pun terjadi dalam demonstrasi ini.

Sementara, Peristiwa Semanggi II terjadi pada 24 September 1999.

Saat itu mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa untuk meminta pembatalan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) yang disahkan DPR dan pemerintah.

Terdapat beberapa poin dalam RUU PKB yang memunculkan kontroversi.

Satu di antaranya, jika disahkan, UU PKB akan menjadi pembenaran bagi TNI untuk melakukan operasi militer.

Pada periode kepemimpinannya yang pertama, Jokowi berjanji menuntaskan masalah pelanggaran HAM masa lalu.

Namun hingga akhir masa jabatannya belum juga selesai.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan sambutan dalam 'Sidang Pleno Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi' di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2020).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan sambutan dalam 'Sidang Pleno Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi' di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2020). (Tribunnews.com/Fransiskus Adhiyuda)

Kemudian di periode kedua, baik pada visi-misi ataupun sesi debat calon presiden, Jokowi sama sekali tidak menyinggung penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Hal yang lebih mencengangkan kemudian terjadi jelang 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

Jaksa Agung Sianitiar (ST) Burhanuddin kemudian menyebut tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat.

Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin. (Kompas.com/Ardito Ramadhan D)

Burhanuddin kemudian mengklarifikasi pernyataannya. Dia menegaskan, prinsipnya, Kejaksaan Agung siap untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Dia menjelaskan, kasus pelanggaran HAM siap dituntaskan apabila berkas dari kasus tersebut memenuhi syarat materil dan formil.

3. Omnibus Law Ancam HAM

Pemerintah mengatakan Omnibus Law UU ini dilakukan untuk mempermudah investasi di Indonesia.

Dikutip dari Kompas.com, pegiat HAM menilai Omnibus Law UU justru berpotensi mengancam HAM, terutama kalangan perempuan.

Koordinator Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi menilai hak perempuan semakin berkurang jik Omnibus Law tetap direalisasikan.

"Tidak ada satu kata pun yang menyebut perempuan sebagai tenaga kerja yang berkontribusi terhadap produksi," lanjut dia.

Selain itu mengancam hak perempuan,omnibus law juga dianggap berpotensi mengancam hak-hak buruh.

Serta menimbulkan ketimpangan antar pekerja lokal dan asing.

Jubir Presiden Angkat Bicara

Diberitakan Tribunnews.com sebelumnya, Juru Bicara (Jubir) Presiden, Fadjroel Rachman menegaskan, Jokowi tidak menetapkan 100 hari kerja Jokowi-Ma'aruf Amin.

Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman
Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman (Seno Tri Sulistiyono/Tribunnews.com)

Dalam unggahan video yang dibagikan Fadjroel di akun Twitternya @fadjroeL, ia menerangkan soal pekerjaan lanjutan dari periode pemerintahan Jokowi.

"Dalam metodologi dari penelitian ini, mungkin kita ada perbedaan. Artinya, dengan metodologi berbeda, dapat hasil yang berbeda," kata Fadjroel yang dikutip dari tayangan video pada akun Twitternya.

"Tentang hukum dan HAM, tidak terlalu buruk sebenarnya," tuturnya.

"Saya tadi mendengar 63,7 persen terkait hukum dan 62 persen terkait dengan hak asasi manusia," tambah Fadjroel.

Adapun yang terkait dengan pelanggaran HAM, Fadjroel menyampaikan saat ini pemerintah tengah mengupayakan penyelesaian kasus-kasus tersebut.

"Sekarang pemerintah sedang mengerjakan yaitu upaya penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia melalui rancangan undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," tuturnya.

(Tribunnews.com/Widyadewi Metta/Andari Wulan Nugrahani) (Kompas.com/Sania Mashabi)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "100 Hari Jokowi-Ma'ruf dan Polemik Penegakan HAM"

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas