Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Diskusi Himpuni Seri Pertama Bahas 'Review Konsep Omnibus & Struktur Perundangan di Indonesia'

Diskusi secara intensif dan komprehensif membahas RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan dalam 9 seri

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Diskusi Himpuni Seri Pertama Bahas 'Review Konsep Omnibus & Struktur Perundangan di Indonesia'
HandOut/Istimewa
Peserta diskusi Himpuni Seri pertama yang membahas "Review Konsep Omnibus & Struktur Perundangan di Indonesia", Kamis (6/2/2020). Diskusi secara intensif dan komprehensif membahas RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan yang dibagi dalam 9 seri. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Organisasi Alumni Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia (Himpuni) mengadakan acara Diskusi secara intensif dan komprehensif membahas RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan yang dibagi dalam 9 seri.

Seri pertama membahas "Review Konsep Omnibus & Struktur Perundangan di Indonesia". Acara diskusi ini digelar di Sekretariat IKA UNDIP Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2020) kemarin.

Diskusi Himpuni ini dibuka Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin didampingi Maryono, Ketua Umum IKA Undip selaku Koordinator Presidium III Himpuni.

Azis mengatakan, hingga saat ini pihaknya yakni DPR belum menerima Rancangan Undang-undang Omnibus Law.

Sehingga DPR, kata Azis, belum bisa diagendakan menggelar Rapat Pimpinan (Rapim) maupun Rapat Badan Musyawarah (Bamus).

"Kami belum bisa menerima rancangan Undang-undang Omnibus Law baik itu mengenai cipta lapangan kerja dan perpajakan plus dalam hal ini adalah naskah akademisnya. Sehingga dari pimpinan DPR tadi berkoordinasi belum bisa membawa ini ke dalam paripurna," ujar Azis.

Azis juga mengungkapkan, belum diterimanya draft RUU Omnibus Law itu karena masih ada beberapa perbaikan-perbaikan atau finalisasi yang harus dilakukan secara formal.

Berita Rekomendasi

"Kan DPR baru bisa melakukan (rapat) masalah subtansi, masalah admistrasi, apa masalah tatib dan mekanisme setelah kami terima resmi. Pada saat ini belum kita terima resmi, kan kami ga bisa berpandangan," jelasnya.

Pada kesempatan yang sama hadir juga Dr. Edmon Makarim dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Edmon berpandangan bahwa RUU Omnibus bukan hal yang tidak mungkin direalisasikan jika Pemerintah mempunyai sistem kodifikasi yang baik.

"Bukan hal yang tidak mungkin tapi kalo tidak mempunyai sistem kodifikasi. Mohon maaf ini cuman isapan jempol belaka karena bukan membuat penyelesaian masalah malah menambah masalah baru," kata Edmon.

Dirinya pun sangat mendukung dan bersemangat untuk merealisasikan RUU Omnibus Law dengan catatan pemeritah harus memiliki sistem kodifikasi yang baik.

"Jadi saya setuju semangatnya mari kita rapikan konsistensi hukum di Indonesia tapi caranya bahwa negara ini harus semangat disitu, harus menciptakan sistem (kodifikasi) itu," ungkap Edmon.

Namun, dirinya menegaskan jika Omnibus Law tanpa sistem kodifikasi hukum nasional cenderung tidak akan efektif dan akan membuat masalah baru

"Boleh jadi malah akan membuat suatu masalah baru, kecuali jika pemerintah mau mengakomodir sistem kodifikasi informasi hukum yang mampu menjabarkan landscaping of law," tuturnya.

Sedangkan narasumer lain, Akhmad Muqowam menyampaikan, bicara tentang omnibus law tidak akan bisa dilepaskan dari tata cara legislasi pembentukan UU yang harus berdasar pada UU 12 Tahun 2011, yang beberapa bab dan Pasal diperbaharui dalam UU 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas