Pakar Hukum Tata Negara Ungkap Indonesia Pernah Hukum WNI yang Berafiliasi Dengan ISIS
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengatakan pemerintah melalui lembaga peradilan pernah menghukum WNI yang berafilisasi dengan ISIS.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pemulangan 600 anggota ISIS asal Indonesia menimbulkan pro dan kontra.
Pemerintah Indonesia belum memutuskan menyikapi ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid mengatakan pemerintah melalui lembaga peradilan pernah menghukum WNI yang berafilisasi dengan ISIS.
Baca: Alasan Karen Pooroe Tolak Autopsi Jenazah Anaknya
Dia mencontohkan mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Pengusahaan Batam Dwi Djoko Wiwoho yang divonis hukuman 3,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta terkait kasus pemufakatan jahat dan perbantuan pendanaan tindak pidana terorisme.
"Ini bisa menjadi referensi terkait hal ini. Agar proses integrasi WNI eks ISIS ke Indonesia tidak menjadi permasalahan baru," kata dia, saat dihubungi, Minggu (9/2/2020).
Djoko menghilang sejak Agustus 2015 silam.
Baca: Komnas HAM: Pemerintah Tak Bisa Cabut Kewarganegaraan 600 WNI yang Pernah Gabung ISIS
Pada saat itu, dia mengajukan cuti kepada atasannya Kepala BP Batam Mustofa Widjaja.
Setelah mengajukan cuti, dia seharusnya masuk kantor 2 September 2015.
Belakangan diketahui, Djoko mengajak anak dan istrinya untuk bergabung dengan ISIS.
Hal ini diketahui, setelah aparat kepolisian mendatangi BP Batam.
Akhirnya, Djoko dan keluarganya kembali ke Indonesia pada pertengahan Agustus 2017.
Baca: Soal 600 WNI Eks ISIS, Ngabalin: Makan Itu Kau Punya Paspor
Meskipun turut bergabung dengan ISIS, namun istri dan anak Djoko tidak divonis penjara.
Mereka hanya menjalani program deradikalisasi dan akhirnya setelah selesai program, mereka dikembalikan ke masyarakat.
"Jadi pendidikan serta pembinaan dalam rangka deradikalisasi menjadi penting, agar paham radikal dan ekstrimis bisa benar benar dihilangkan, dan ideologi yang mereka gunakan dapat ditinggalkan," katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan, hingga kini pemerintah belum memutuskan apakah akan memulangkan 600 warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS ke Tanah Air.
Pemerintah, kata Mahfud, masih mempertimbangkan manfaat dan kerugian apabila mereka dipulangkan ke Indonesia.
"Mulai dari mudarotnya kalu dipulangkan itu nanti bisa menjadi masalah di sini, bisa menjadi virus baru di sini. Karena jelas-jelas dia pergi ke sana untuk menjadi teroris," ujar Mahfud MD.
Pemerintah tidak bisa cabut kewarganegaraan 600 WNI
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa menganggap 600 WNI Eks ISIS bukan bagian dari Indonesia lagi. Karena secara Undang-undang kewarganegaraan mereka tidak menjadi bagian dari negara lain.
"Dalam UU kewarganegaraan kita, orang itu keluar atau tidak menjadi WNI lagi itu karena dia menjadi WN lain, menerima paspor lain, bersumpah setia pada negara lain. Pertanyaannya ISIS negara bukan? UN mengatakan ISIS ini organisasi terrorism bukan negara," kata Taufan dalam diskusi di Jakarta Pusat, Minggu, (9/2/2020).
Baca: Suami Tusuk Istri Hingga Tewas di Tangerang, Pelaku Sembunyi di Lantai 2 Rumah Usai Lakukan Aksinya
Baca: Motif Pelaku Penembakan di Mall Thailand Diduga karena Perselisihan Utang, Urusan Penjualan Rumah
Sehingga menurutnya, pemerintah tidak bisa mengabaikan para WNI tersebut berdasarkan kewarganegaraan.
Pemerintah juga menurut Taufan tidak bisa serta merta mencabut kewarganegaraan 600 WNI tersebut. Pencabutan kewarganegaraan akan menyebabkan statless.
"Kita punya ratusan ribu orang, Komnas HAM punya MOU dengan Malaysia mengurusi ratusan ribu orang Indonesia yang stateles di Malaysia. jangan jadi preseden," katanya.
Pemerintah menurutnya akan dikecam oleh dunia internasional bila menggap 600 orang tersebut bukan lagi WNI. Pemerintah harus cermat dalam menyikapi polemik pemulangan WNI tersebut.
Oleh karena itu Komnas HAM menyarankan pemerintah membuat profiling para WNI itu. Hal tersebut berguna untuk menentukan treatmen bagi para WNI itu.
Karena menurut dia, permasalahannya bukan pulang atau tidak pulang ke Indonesia. Ada sebagian dari mereka yang bisa pulang dan sebagian tidak bisa pulang.
Baca: Ibu Korban Bom Samarinda Tolak Pemulangan WNI Eks ISIS: Kalau Mereka ke Sini Agak Menyakitkan
Baca: Dikabarkan Pacaran, Aurel Hermansyah dan Atta Halilintar Malam Mingguan Bareng Temani Arsy dan Arsya
"Ya kalau gak mau mengurusi ya saya keliru, kita harus mengurusi apa itu? satu warga negara kita, meski ia jadi monster luar biasa, ya dia tetap WNI yang kita urusi, cara mengurusinya gimana, ditindak secara hukum kan, seperti Aman Abdurahman dia monster dia yang melakukan peledakan di Indonesia, dia katakanlah aktor intelektual dari gembong teroris, kan diurus oleh indonesia, cara ngurusnya dia di proses di nusakambangan, " pungkasnya.
Lakukan profiling
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik mengatakan bahwa menyikapi polemik pemulangan 600 WNI Eks ISIS tidaklah sederhana. Setiap kebijakan yang diambil pasti akan memicu kontra atau kritikan.
Pihaknya menurut Taufan menyarankan agar pemerintah menyusun profiling tersebut dahulu kepada 600 WNI Eks ISIS tersebut.
"Saya katakan tadi di profiling, sebetulnya gak bener juga kalau kita kira bahwa BNPT gak punya data, punya. Kami pernah berdiskusi dengan Densus mereka punya data, tapikan datanya perlu di update, divalidasi lagi supaya kemudian dapat yang lebih akurat, dari data yang lebih akurat itu baru dikenali satu persatu," kata dia dalam diskusi di Kawasan Menteng, Jakarta, Minggu, (9/2/2020).
Baca: 5 Fakta Pencekik Polisi, Kronologi, Alasan hingga Penyesalan, Pelaku Terancam 10 Tahun Penjara!
Baca: Intip 7 Momen Romantis Pertunangan Felicya Angelista dan Caesar Hito
Profiling tersebut menurut Taufan bertujuan untuk menentukan pendekatan atau treatmen apa bagi para WNI tersebut. Setiap orang pendekatannya akan berbeda-beda. Karena menurut dia, permasalahannya bukan pulang atau tidak pulang ke Indonesia. Ada sebagian dari mereka yang bisa pulang dan sebagian tidak bisa pulang.
Ia mencontohkan bagi mereka yang sengaja meninggalkan Indonesia, merusak nama Indonesia untuk bergabung dengan ISIS maka bisa diadili di negara tersebut atau di negara kini mereka berada. Untuk langkah tersebut pemerintah perlu menjalin kerjasama dengan negara lain.
"Kita bisa menggunakan pihak ketiga, oke diadili katakanlah di Irak kah, atau diadili di Turki, tapi Indonesia harus membangun bilateral, agreement dengan turki kesepakatan supaya dia tidak pulang ke indonesia tapi diadili di Turki," katanya.
Atau mereka yang dokumennya lengkap bisa dipulangkan ke Indonesia untuk diadili oleh hukum di Indonesia dengan ancaman 12 tahun penjara. Berdasarkan pasal 26B Undang-undang anti terorisme para WNI Eks ISIS tersebut bisa divonis 12 tahun penjara.
"Kalau dia hanya anggota dia beda lagi hukuman dasarnya," katanya.
Dengan seperti itu pemerintah bisa memulangkan mereka yang tidak sengaja meninggalkan Indonesia untuk bergabung dengan ISIS. Misalnya seperti bayi dan anak anak.
"Ada yang memang seperti tadi bayi, pilihannya mau gak mau pulang, tapi ya sudah kesini siapa yang ngurus kan harus dipikirkan mitigasinya. Nah pemerintah menurut saya harus segera melakukan," pungkasnya.
Ngabalin: Jangan merengek pulang
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin mengatakan bahwa pemerintah saat ini sedang membahas mengenai perlu tidaknya 600 WNI Eks ISIS dipulangkan ke Indonesia.
Berbagai masukan sedang dikaji untuk kemudian dijadikan keputusan pemerintah terhadap para WNI tersebut.
Baca: Anaknya Meninggal Dunia, Karen Pooroe Masih Menyimpan Rasa Syukur
Baca: Komnas HAM Sarankan Pemerintah Lakukan Profiling 600 WNI Eks ISIS
"Jadi maksudnya begini, makannya dalam beberapa kesempatan saya selalu bilang, bahwa tentu pemerintah menimbang-nimbang. Sebagai sebuah negara demokrasi yang besar dan kepribadian Bapak Presiden seperti itu, maka saya dalam berbagai kesempatan selalu saya bilang ini sedang dibahas. Usulan dalam bentuk apapun juga ini sedang dibahas," ujar Ngabalin dalam diskusi di Jakarta Pusat, Minggu, (9/2/2020).
Secara pribadi Ngabalin berharap para WNI yang meninggalkan Indonesia untuk bergabung dengan kelompok teroris tersebut tidak membebani pemerintah.
"Siapa-siapa yang pergi atas nama dirinya, untuk kesenangan dirinya untuk memilih ideologinya kemudian pergi dan keluar Indonesia, kemudian menempuh jalan surgawinya, tempuhlah jalan itu, kau selamat atau kau tidak selamat, itu urusanmu. Jangan lagi membebani, negara pemerintah, serta rakyat Indonesia dengan rencana pemulanganmu," kata dia.
Apalagi menurut Ngabalin, para WNI tersebut pergi atas kemauan sendiri. Mereka bergabung dengan ISIS dengan menjelek-jelekan Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya para WNI tersebut tidak merengek untuk pulang ke Indonesia.
"Karena Sudah menyebutkan negara ini negara thoghut, negara kafir, dia merobek-robek membakar paspornya, makan itu kau punya paspor," pungkasnya.