Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sembilan Alasan Buruh Tolak Omnibus Law

Peraturan perundangan yang akan jadi induk beberapa sektor seperti perizinan, upah buruh, investasi dan UMKN, dianggap merugikan buruh.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Sembilan Alasan Buruh Tolak Omnibus Law
Tribunnews/JEPRIMA
Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Omnibus penciptaan lapangan kerja terus menuai gelombang protes dari kalangan buruh.

Peraturan perundangan yang akan jadi induk beberapa sektor seperti perizinan, upah buruh, investasi dan UMKN, dianggap merugikan buruh.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebutkan, ada sembilan poin di draft Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang ditolak pihaknya.

Hal itu disampaikan Said saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (16/2/2020).

Pertama, terkait perubahan aturan upah minimum.

Said mempermasalahkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah sektoral kabupaten/kota (UMSK) yang dihapuskan.

Sementara upah minimum provinsi (UMP) masih tercantum dalam pasal 88 C yang berbunyi gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.

Berita Rekomendasi

"Ada yang bilang UMP ada, tapi itu tak dibutuhkan oleh buruh kecuali DKI Jakarta dan DIY. Di luar itu, UMP tidak dipakai. Yang dipakai UMK dan upah minimum sektoral," katanya.

Menurutnya, dalam RUU Cipta kerja, UMK dan UMSK yang selama ini berlaku dihapus. Berarti upah minimum hilang.

Kalau dipaksakan UMP Jawa Barat Rp 1,8 juta, katanya, UMK Kabupaten Bekasi yang besarnya Rp 4,4 juta, jadi turun.

Poin kedua yang ditolak adalah terkait pesangon. Dia memprotes ketentuan yang menyebutkan besaran pesangon yang harus dibayarkan maskimal hanya 17 kali gaji.

Ketiga, Said menyebut draft RUU Cipta Kerja membebaskan penggunaan tenaga kerja outsourcing di semua jenis pekerjaan dengan jam kerja tak terbatas.

Baca: UPDATE Limbah Radioaktif di Serpong, Mulai Hari Ini 9 Warga Batan Indah Diperiksa Kadar Radiasi

Baca: Jaksa Benarkan Kelakukan Putra Ratu ELizabeth II, Pangeran Andrew Meraba Wanita di Depan Staf

"RUU cipta kerja bolehkan karyawan kontrak dan outsourcing bebas. Itu nyambung ke yang sebelumnya, berarti hilangkan pesangon dong. Bu Menaker bilang ada sweetener 5 bulan. Kita enggak butuh itu, butuhnya job security dan salary security," katanya.

Keempat, jam kerja yang dinilainya eksploitatif. Kelima, adanya potensi penggunaan tenaga kerja asing (TKA) unskilled workers atau buruh kasar.

"Jadi tak perlu izin tertulis menteri. Pakai izin menteri saja masuk TKA China di proyek Meikarta ketahuan tuh gara-gara corona. Kalau itu dihapus, maka mudah TKA buruh kasar masuk," kata dia.

Selanjutnya, Said memprotes poin mengenai ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menurutnya dipermudah.

Ketujuh, berkurangnya jaminan sosial bagi pekerja buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Lalu, penggunaan karyawan kontrak yang tak terbatas.

"Pekerja sakit. Pekerja yang dapat haid. UU 13 tahun 2003, 2 hari haid upah dibayar. Yang keluarga nikah, orang tua meninggal libur 1 hari tidak dipotong gaji. Di Omnibus law tidak dibayar," kata dia.

Terakhir, soal sanksi pidana yang, kata dia, dihilangkan. Menurutnya, belum ada pasal yang menyebutkan bahwa pengusaha akan mendapat sanksi apabila telat membayar upah maupun tak memberi pesangon.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, juga mengungkapkan hal yang sama dengan Said Iqbal.

Baca: Survei Indo Barometer Buktikan Keputusan Prabowo Subianto Terima Tawaran Menteri Tepat?

Baca: Pria Ini Mengaku Tak Pernah Sakit Karena Konsumsi Kayu dan Dedaunan Selama 25 Tahun

Ia mengaku sangat terkejut dengan isi draf Omnibus Law Cipta Kerja karena banyak poin yang merugikan buruh.

"Saya masih teringat cita-cita ayahanda Almarhum Jacob Nuwa Wea saat menyusun UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakaerjaan. Aturan ini dibuat saat Jacob Nuwa Wea menjabat Menakertrans di era Presiden Megawati," ujar Andi di Jakarta, Minggu (16/2/2020).

"Isinya sangat melindungi nasib buruh, berbeda 180 derajat dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang justru menyulitkan nasib buruh," sambungnya.

Menurutnya, ada banyak hak buruh yang dihapus tak lagi berlaku dengan hadirnya omnibus law tersebut, seperti perubahan jam kerja, sistem kerja, kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, dan pesangon.

Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima
Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Selain itu, aturan tenaga kerja asing, sistem kerja dari long life menjadi fleksibel, serta soal jaminan sosial.

"Aturan yang membela nasib buruh dengan membatasi masa kontrak kerja, pesangon yang memadai, outsourcing terbatas untuk 5 jenis pekerjaan, sanksi pidana untuk pengusaha yang tidak menaati aturan dalam UU No 13 Tahun 2013, kenapa itu semua harus dihapuskan?," paparnya.

Andi pun menyebut serikat buruh hingga saat ini tidak pernah diajak berdiskusi dalam Omnibus Law Cipta Kerja, meski pemerintah mengklaim telah berkomunikasi.

"Sebutkan dengan jelas pimpinan buruh yang terlibat dari awal penyusunan RUU Cipta Kerja, jangan mengada-ada," ucapnya.

Baca: Bogasari Dukung UKM Serap Komoditas Pertanian

Baca: Di DPR, Mahasiswa UIN Sindir Prabowo Gabung Pemenang, Fadli Zon Bela Menhan Sempat Tolak RUU KPK

Sekretaris Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Afif Johan juga memprotes hal yang sama.

Ia mengatakan, pemerintah tidak transparan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

"Dalam proses pembuatan RUU Omnibus, Undang-undang Cipta Karya ini, kurang transparan. Karena kami tidak dilibatkan secara keseluruhan," ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Surat Presiden (Surpres) terkait draft omnibus law cipta lapangan kerja sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan disampaikan kepada pimpinan DPR RI pada Rabu (13/2/2020) lalu.

Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi dan Politik Hukum Keamanan Kemenko Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, saat ini ada 45 juta orang angkatan kerja yang bekerja tidak penuh.

Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima
Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Jumlah itu terjadi karena mereka disebut tidak tercover penuh oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, kata Elen, Presiden Joko Widodo kemudian selalu menegaskan perlu adanya pembukaan lapangan kerja baru.

Hal ini itu disampaikan Elen dalam diskusi RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Gedung Asta Gatra, Komplek Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta Pusat, Kamis (13/2/2020) malam.

"Ada 45 juta orang angkatan kerja yang bekerja tidak penuh, alias 38,3 persen. Dia tidak tercover penuh dengan Undang-Undang Tenaga kerja. Jumlah ini harus dipikirkan," kata Elen.

Kepala Subdirektorat Standarisasi dan Fasilitas Pengupahan, Kemenakertrans, Amelia Diatri Tuangga Dewi, menyebut Omnibus Law merupakan kompilasi dari banyak Undang-undang untuk mengatasi undang-undang yang tumpang tindih.

Baca: Sandiaga Uno Bicara Virus Corona Hingga Black Swan Event di Jepang

Baca: Gerindra Beri Dukungan Gibran Rakabuming di Pilkada, Reaksi Fadli Zon Buat Masinton Pasaribu Tertawa

Omnibus Law juga berangkat dari situasi perubahan cepat dunia saat ini yang harus direspon dengan cepat pula.

"Melalui Omnibus Law, mekanisme perubahan hukum dapat lebih cepat dilakukan. Misalnya saja, melalui RUU Cipta Kerja kita dapat memanusiakan manusia," ujar Amelia dalam pernyataannya, Kamis (13/2/2020) lalu.

Amelia juga menjelaskan bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja tetap mengutamakan perlindungan dan kesejahteraan para pekerja.

Adapun terkait pernyataan bahwa Omnibus Law RUU Cipta kerja ini tertutup dari publik, ia menanggapi bahwa hal ini bukan ditutup-tutupi, namun memang belum waktunya untuk dibuka ke publik karena masih pada tahap identifikasi masalah.

"Ketika sudah rampung keseluruhan draftnya dan diberikan kepada DPR untuk dibahas, barulah draft RUU tersebut dapat dikritisi atau ditanggapi oleh publik melalui mekanisme yang berlaku," ujarnya. (tribunnetwork/ria/seni/wly/cep)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas