Kritik Eks Ketua KPK kepada Firli Bahuri Setop 36 Perkara: Di Luar Kewajaran
Mantan Ketua KPK periode 2011-2015 menyebut ketika ia memimpin lembaga antirasuah, pihaknya tidak menyepelekan kasus-kasus yang sedang bergulir
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengkritisi KPK hentikan 36 perkara di tahap penyelidikan.
Abraham Samad mengatakan, penghentian sebuah perkara harus dikaji dan dianalisis bersama penyelidik dan penyidik.
Baca: Komisi III DPR Akan Panggil Pimpinan KPK Terkait Penghentian 36 Perkara
Hal itu supaya publik bisa mendapat gambaran yang objektif dan jelas dari setiap kasus yang dihentikan.
"Saya pikir ini sesuatu yang di luar kewajaran di KPK selama ini," kata Abraham Samad saat dimintai konfirmasi, Jumat (21/1/2020).
Mantan Ketua KPK periode 2011-2015 menyebut ketika ia memimpin lembaga antirasuah, pihaknya tidak menyepelekan kasus-kasus yang sedang bergulir.
"Pada masa priode kepemimpinan saya dan teman-teman, pimpinan tidak boleh dengan mudah menghentikan penyelidikan, ada mekanisme yang objektif dan akuntabel yang harus dilakukan sebelum mengambil keputusan," sebut Samad.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan penghentian penyelidikan 36 kasus korupsi dilakukan demi kepastian hukum. Penghentian perkara tersebut dilakukan sejak 20 Desember 2019 sampai 20 Februari 2020.
Baca: Tanggapi Jubir KPK, ICW Bandingkan Pimpinan KPK Sebelumnya Hanya Hentikan 2 Perkara Tiap Bulan
Menurut Firli, dalam hal ini lembaganya berupaya memberi kepastian. Setiap perkara yang ditangani ataupun seseorang yang menjalani proses hukum harus jelas bukti dan penanganannya.
“Tidak boleh pikir digantung-gantung untuk menakut-nakuti pencari kepastian hukum dan keadilan. Kalau bukan tindak pidana, masa ya tidak dihentikan," kata Firli.
Dapat sorotan dari sejumlah pihak
Menko Polhukam, Mahfud MD mengatakan, KPK tidak mengomunikasikan hal tersebut kepadanya.
"Tidak boleh koordinasi dengan saya, kalau mau koordinasi dengan saya, saya ndak mau," ujar Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2020), dikutip dari Kompas.com.
Ia berujar, KPK bukan bawahan dari Kemenko Polhukam, sehingga Mahfud MD menyerahkan keputusan tersebut pada KPK.
"Karena itu (KPK) bukan bawahan saya. Ndak boleh dan itu wewenang dia, jadi tanya ke KPK saja, mungkin ada alasan yang dipertanggungjawabkan," jelasnya.
Mahfud MD menegaskan, dirinya tidak tahu soal kasus apa saja yang dihentikan itu.
"Yang kedua, memang secara struktural dia bukan bawahan Menko Polhukam. Katanya disuruh independen kan? Jadi kita enggak ikut campur," imbuh Mahfud MD.
Komisi III DPR RI
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani mengatakan, penjelasan dari KPK sangat diperlukan.
Alasannya, agar spekulasi terjadinya impunitas kasus korupsi tidak berkembang di masyarakat.
"Pimpinan KPK perlu menjelaskan kepada publik tentang penghentian penyelidikan 36 kasus agar tidak berkembang spekulasi, KPK melakukan impunisasi kasus korupsi," kata Arsul, dikutip dari Kompas.com, Kamis (20/2/2020).
Baca: Alasan Penghentian Penyelidikan 36 Kasus Korupsi, Ketua KPK: Bisa Disalahgunakan untuk Pemerasan
Baca: KPK Stop Penyelidikan 36 Kasus Lama, ICW Khawatir Adanya Abuse of Power: Kinerja Merosot
Menurutnya, penghentian penyelidikan dalam perkara pidana bukan hal yang aneh, jika bukti tidak cukup untuk melanjutkan kasus ke tahap penyidikan.
"Prinsipnya kan, kalau bukti permulaannya tidak cukup untuk dilanjutkan atau ditingkatkan ke tahap penyidikan, maka ya wajar dihentikan," katanya.
"Hanya untuk menilai wajar tidaknya penghentian, maka informasinya ya perlu dijelaskan," jelas Arsul.
Ia menjelaskan, penghentian penyelidikan bukan sesuatu yang final, tetapi dapat dibuka kembali ketika ditemukan bukti baru yang menguatkan.
"Bisa saja nanti harus dibuka lagi ketika ada bukti baru masuk baik berupa saksi, surat-surat atau petunjuk," jelas Arsul Sani.
ICW
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menduga, kasus-kasus yang dihentikan oleh KPK tersebut, terkait korupsi yang melibatkan kepala daerah, aparat penegak hukum, hingga anggota legislatif.
"Kasus yang dihentikan oleh KPK diduga berkaitan dengan korupsi yang melibatkan aktor penting," ujar Wana, dikutip dari Wartakotalive.com, Jumat (21/2/2020).
"Seperti kepala daerah, aparat penegak hukum, dan anggota legislatif," ungkapnya.
Baca: KPK Hentikan Penyelidikan 36 Perkara Korupsi, Mahfud MD: Menkopolhukam Bukan Atasannya KPK
Baca: ICW Duga 36 Kasus Korupsi yang Disetop KPK Terkait Kepala Daerah, Aparat Hukum dan Anggota DPR
Ia kemudian mengingatkan, pimpinan KPK agar tak melakukan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dalam memutuskan penghentian perkara.
Mengingat, Ketua KPK Firli Bahuri merupakan polisi aktif.
ICW khawatir status Firli tersebut menimbulkan konflik kepentingan saat menghentikan kasus tersebut.
Wana lalu mempertanyakan, apakah penyetopan 36 perkara tersebut sudah melalui mekanisme gelar perkara.
"Proses penghentian perkara di ranah penyelidikan mestinya melalui gelar perkara."
"Yang mana melibatkan setiap unsur, mulai dari tim penyelidik, tim penyidik, hingga tim penuntut umum."
"Apabila ke-36 kasus tersebut dihentikan oleh KPK, apakah sudah melalui mekanisme gelar perkara?" tanya Wana.
Baca: Ketua KPK Jelaskan Alasan Pihaknya Hentikan Penyelidikan 36 Perkara Korupsi
Baca: ICW Sudah Prediksi KPK Akan Setop Banyak Perkara Sejak Firli Cs Dilantik
Mengutip Kompas.com, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, jenis penyelidikan yang dihentikan yaitu terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan DPR atau DPRD.
"KPK mengonfirmasi telah menghentikan 36 perkara di tahap Penyelidikan. Hal ini kami uraikan lebih lanjut sesuai dengan prinsip kepastian hukum, keterbukaan dan akuntabilitas pada publik," kata Ali dalam keterangan tertulis, Kamis (20/2/2020).
Penghentian 36 kasus itu dilakukan secara hati-hati dan penuh pertimbangan.
Menurutnya, 9 kasus sudah ditangani sejak lama yakni sejak 2011, 2013, dan 2015.
"Selama proses penyelidikan dilakukan tidak terpenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan, seperti bukti permulaan yang cukup, bukan tindak pidana korupsi dan alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," jelasnya.
Ali menegaskan, penghentian penyelidikan merupakan hal yang lumrah dilakukan.
Mengingat, sudah ada 162 penyelidikan yang dihentikan dalam lima tahun terakhir sejak 2016.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.