Kata Ilmuan, Virus Corona Bisa Bertahan di Tubuh Hingga 5 Minggu Setelah Terinfeksi
Dengan demikian, ada kemungkinan mereka dapat menularkan virus lama setelah gejala mereda
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Virus corona disebut dapat bertahan pada pasien selama lebih dari sebulan.
Hal tersebut diungkapkan para ilmuan yang melakukan penelitian.
Baca: Imbas Virus Corona, Ratusan Monyet Serbu Kota di Thailand, Videonya Viral di Medsos
Dengan demikian, ada kemungkinan mereka dapat menularkan virus lama setelah gejala mereda.
Durasi pelepasan virus - yang merupakan jangka waktu virus dapat ditularkan dari seseorang yang terinfeksi - ditemukan dalam satu kasus.
Dalam kasus itu, virus corona bisa bertahan selama 37 hari setelah orang tersebut tertular.
Durasi rata-rata adalah 20 hari.
Temuan yang dipublikasikan di Lancet minggu ini, menunjukkan bahwa rekomendasi saat ini untuk isolasi selama dua minggu mungkin tidak cukup jauh untuk mencegah penularan virus.
Peneliti China menarik catatan medis dan data laboratorium untuk melacak keberadaan COVID-19 pada 191 pasien yang dirawat di Rumah Sakit Jinyintan dan Rumah Sakit Paru Wuhan.
Di antara pasien, 54 telah meninggal karena infeksi, di mana virus corona masih tetap dalam sistem mereka sampai meninggal.
"Hasil penelitian ini memiliki implikasi penting bagi pengambilan keputusan isolasi pasien dan bimbingan seputar lamanya pengobatan antivirus," Dr. Fei Zhou, dari Peking Union Medical College.
Studi ini juga mencatat bahwa 48% pasien coronavirus memiliki komorbiditas, seperti hipertensi, diabetes dan penyakit jantung koroner, yang mengurangi kemungkinan mereka untuk mengusir virus, seiring dengan usia yang lanjut.
Para ilmuwan juga mencatat bahwa selama wabah SARS tahun 2003, yang merupakan bentuk lain dari coronavirus, hanya sepertiga pasien yang masih membawa virus setelah empat minggu.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, untuk pasien influenza, pelepasan virus biasanya berlangsung lima hingga 10 hari, dimulai dalam 24 jam sebelum atau setelah timbulnya gejala.
Namun, anak-anak dan individu yang immunocompromised mungkin lebih lama, selama beberapa minggu atau bulan.
Baca: Sejumlah Kecamatan di DKI Jakarta Ada Virus Corona, Berikut Daftarnya
Virus corona sendiri telah menyerang 125 negara, dengan lebih dari 130.000 kasus dikonfirmasi.
Lebih dari 4.700 orang telah meninggal karena penyakit itu.
Merokok tingkatkan risiko infeksi
Komnas Pengendalian Tembakau bersama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menghimbau masyarakat dan pemerintah agar lebih waspada terhadap COVID-19 terkait tingginya perokok di Indonesia.
Hal ini karena perilaku merokok merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko infeksi COVID-19 dan memperparah komplikasi penyakit yang diakibatkannya.
Baca: Sebaran Corona Kian Masif, Belajar di Rumah Jadi Alternatif
Dalam peta global kasus COVID-19 Johns Hopkins Center for Systems Science and Engineering sampai pagi ini menyebutkan kematian akibat virus corona telah mencapai 4.720 orang di seluruh dunia.
Sementara kasusnya telah mencapai 128.343 kasus dengan 68.324 pasien berhasil sembuh.
Hingga Selasa (10/3/2020), terdapat 103 negara di dunia yang mengonfirmasi terinfeksi virus corona.
Sementara itu, di Indonesia, sampai 12 Maret 2020 pukul 09.00 WIB, 34 kasus konfirmasi positif COVID-19 yang kemudian 2 kasus berhasil sembuh, 1 kasus meninggal.
Berbagai peringatan dan panduan pencegahan dirilis pemerintah maupun lembaga-lembaga kesehatan, termasuk organisasi kesehatan dunia, WHO.
Belum lama ini, pada 8 Maret 2020 lalu, WHO Indonesia mengeluarkan pernyataan yang secara lebih spesifik mengingatkan masyarakat Indonesia mengenai kaitan antara Covid-19 dengan perilaku merokok.
Dalam pernyataan resmi tersebut, Dr. N. Paranietharan, WHO Representative to Indonesia menyebutkan,
“Perokok berisiko tinggi untuk penyakit jantung dan penyakit pernapasan, yang merupakan faktor risiko tinggi untuk mengembangkan penyakit parah atau kritis dengan COVID-19. Karena itu, perokok di Indonesia berisiko tinggi terkena COVID-19)," katanya dalam keterangan pers yang diterima, Jumat.
Pernyataan ini sejalan dengan hasil beberapa temuan yang terbit dalam berbagai literatur yang menyebutkan hubungan antara perokok dan karakteristik pasien terinfeksi Covid-19, di antaranya:
1. Epidemiological and clinical features of the 2019 novel coronavirus outbreak in China (Yang Yang, dkk, medRxiv, 2020)
Sekelompok peneliti dari China dengan beragam latar belakang institusi, di antaranya Beijing Institute of Microbiology and Epidemiology, University of Florida, dan Chinese Centre for Disease Control and Prevention, menyebutkan keparahan coronavirus pada laki-laki di China lebih tinggi dibandingkan perempuan, hal ini dapat disebabkan karena laki-laki di China kebanyakan adalah perokok berat.
Studi ini juga menyebutkan 61,5% penderita pneumonia berat akibat coronavirus adalah laki-laki dan tingkat kematian 4.45% pada pasien laki-laki dan 1.25% pada pasien perempuan.
2. Analysis of factors associated with disease outcomes in hospitalized patients with 2019 novel coronavirus disease (Wei Liu, dkk., Chinese Medical Journal, 2020).
Dalam studinya menyebutkan, 78 pasien coronavirus dengan pneumonia selama 2 minggu perawatan ditemukan bahwa 11 pasien memburuk dan 67 pasien kondisinya membaik, dengan 27% dari kelompok yang memburuk memiliki riwayat merokok, sementara dari kelompok yang kondisinya membaik hanya 3% yang punya riwayat merokok.
3. Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study (Prof. Nanshan Chen, dkk, The Lancet, 2020)
Studi ini menyebutkan 99 orang pasien dari Wuhan Jinyintan Hospital dirawat selama 20 hari, 11 orang meninggal pada akhir penelitian, 3 adalah perokok dengan 2 kematian pertama adalah perokok laki-laki.
Baca: BREAKING NEWS: WHO Kirim Surat ke Jokowi, Minta RI Umumkan Darurat Nasional Virus Corona
“Melihat temuan-temuan di atas, masyarakat perlu mengetahui bagaimana perilaku merokok memiliki risiko lebih tinggi terhadap infeksi dan perparah komplikasi COVID-19, sehingga masyarakat lebih waspada mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok pria yang sangat tinggi,” kata Dr. Amin Soebandrio, selaku Kepala Lembaga Biologi dan Pendidikan Tinggi Eijkman dalam pertemuan media hari ini.
Hal di atas senada dengan yang disampaikan Dr. Feni Fitriani Sp.P(K), Ketua Pokja Masalah Rokok Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dalam kesempatan yang sama, “Merokok meningkatkan reseptor ACE 2, yang kita tahu juga menjadi reseptor virus corona penyebab COVID-19. Sehingga makin banyak virus corona penyebab COVID-19 yang hinggap/menempati reseptor tersebut, jadi perokok makin besar risiko kena COVID-19. Ini juga meluruskan disinformasi yang beredar yang menyebutkan merokok atau asap rokok bisa membantu meredakan COVID-19. Ini sama sekali salah. Maka, untuk mengurangi atau mencegah risiko corona dan komplikasinya, kurangi merokok. Berhenti lebih baik."
Untuk itu, pemerintah juga diharapkan untuk lebih jelas menyampaikan kepada masyarakat bahwa salah satu pencegahan yang harus dilakukan adalah dengan berhenti atau setidaknya mengurangi merokok dan menyediakan panduan serta program pendampingan bagi masyarakat yang mau berhenti merokok demi melindungi mereka dari pandemi global COVID-19.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Virus Corona Bisa Bertahan di Tubuh hingga 5 Minggu Setelah Terinfeksi