Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Selamatkan 12 Juta Tenaga Kerja di Peternakan Ayam, Peternak Minta Pemerintah Lakukan Ini

Wabah corona akan mempercepat kematian para peternak ayam bila pemerintah tidak turun tangan

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Selamatkan 12 Juta Tenaga Kerja di Peternakan Ayam, Peternak Minta Pemerintah Lakukan Ini
TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI GHOZALI
Warga mengantri untuk mendapatkan satu ekor ayam yang dibagikakan secara gratis oleh Asosiasi Peternak Ayam Yogyakarta (APAYO) di Alun Alun Utara, Kota Yogyakarta, Rbau (26/6/2019). APAYO membagikan sebanyak 5 ribu ekor ayam secara gratis kepada masyarakat sebagai bentuk protes karena murahnya harga jual ayam dari peternak yang berkisar diangka Rp 8 ribu per kilogram yang membuat peternak merugi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak tahun lalu, harga ayam lebih sering di bawah harga produksi sehingga merugi.

Harga ayam di tingkat peternak bisa dibawah Rp 10.000 perkilogram sementara ongkos produksi bisa mencapai sekitar Rp 18.000.

Walaupun sering merugi, namun kondisi pasar masih bisa menyerap karena ada permintaan masyarakat.

Begitu terjadi wabah Covid -19, permintaan itu akhirnya turun drastis akibat adanya pembatasan sosial yang membuat rumah makan, restoran, warung, banyak yang tutup, otomatis permintaan juga anjlok.

Bahkan, jelang bulan Ramadan seperti sekarang yang biasanya jadi masa tersibuk bagi para peternak menyiapkan ayam untuk kebutuhan bulan Ramadan belum bisa mendongkrak kenaikan permintaan yang sudah berada di level terendah.

"Kondisi peternakan  ibaratnya sudah seperti mayat hidup, sejak tahun 2019 lalu kami terus merugi. Adanya wabah corona ini sebagai menambah sakit saja dan menderita," ujar Parjuni, salah satu peternak ayam kepada wartawan, Sabtu (11/4/2020)..

Sebelum terjadi wabah, peternak masih sempat menjual Rp12.000-Rp13.000, begitu terjadi wabah, harga menjadi terjun bebas hanya  Rp 8.000 bahkan Rp 4.000 perkilogram.

Baca: Peternak di Sukabumi Jual Ayam Hidup Langsung ke Warga Rp 10-15 Ribu per Kilogram

Baca: Di Tengah Pandemi Covid-19, Pemilihan Wali Kota Sakado Jepang Dilakukan Dengan Jaga Jarak 2 Meter

Berita Rekomendasi

Sementara ongkos produksi tidak pernah turun, tetap Rp 17.500 - Rp 18.000.

"Bagi konsumen hal ini agak susah dipahami karena harga di pasar basah atau pasar modern masih stabil di angka Rp 30.000-35.000 per kilogram," katanya. 

Rusaknya harga ayam ini terjadi akibat kelebihan pasokan sejak setahun lalu.

Pada kondisi sekarang, permintaan ayam menurun hingga lebih  50 persen akibat pembatasan aktivitas masyarakat untuk mengurangi penyebaran Covid 19. 

Parjuni mengatakan, sejak tahun lalu, komposisi suplai selalu berlebih setiap bulan.

Rata-rata suplai mencapai 300 juta kg per bulan,  padahal kebutuhan pasar hanya 245-255 juta kg  per bulan atau rata-rata  250 juta kg per bulan.  

Ada kelebihan 50 juta kilogram per bulan yang sudah melebihi kebutuhan  masyarakat sehingga ia pesimis, kalaupun Lebaran ada peningkatan, tetap saja belum memberikan keuntungan buat peternak rakyat.

Baca: Harga Pemain Mahal di Liga Inggris Turun Karena Virus Corona, Ini Daftarnya

Baca: Berita Persib Bandung: Instruksi Khusus Robert Alberts Pada Pekan ke-3 Latihan Mandiri

"Ada kenaikan 20-25 persen  terutama di Jawa atau maksimal 30 persen itu sudah bagus tapi tetap masih kelebihan suplai," katanya.

Saat lebaran kenaikan ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena kalau di Jawa Barat dan DKI justru berkurang karena orangnya mudik.

"Tapi kalau ada pelarangan mudik, artinya  demand saat lebaran tidak  ada tambahan, nilai konsumsinya tidak akan melonjak," kata peternak yang sudah berusaha sejak 2003 ini.

Peternak telah meminta agar pemerintah membuat kebijakan untuk menyikapi adanya over supply ini namun kebijakannya hanya reaktif saja. 

Ketika peternak demo atau melakukan pembagian dan pembakaran ayam-ayam barulah  pemerintah turun tangan mengurangi suplai.

Kebijakan itu padahal terbukti, harga di tingkat peternak kemudian membaik.

Ia memaparkan pada  bulan Juni 2019  masuk ayam hanya sekitar  230 juta kilogram, saat  bulan  Juli bagus, peternak rakyat untung. 

Tapi Juli dan Agustus tidak  ada pemangkasan lagi, akhirnya  bulan agustus september hancur lagi. September 230 juta lagi, Oktober bagus lagi. 

"Bagus itu bukan melebihi acuan kemendag, tapi peternak bisa  dapat untung.  Tapi tidak dipakai lagi  jadi data yang benar. Bulan Oktober ngawur,  sampai Desember. Sebenernya Februari  sudah  juga dikurang tapi sudah kedahuluan wabah  corona," keluhnya. 

Parjuni mengatakan, over supply ayam ini sudah terjadi saat pasar dibanjiri DOC (Day Old Chicken). Tapi seringkali tidak diakui pemerintah.

"Kalau  di rapat, diakui bahwa DOC  nggak  over supply tapi over di  livebird (ayam hidup) saja.   Padahal over supply pasti sudah  dimulai dari DOC. Tapi diplintir bahwa  ngga ada over di DOC tapi hanya livebird. Memangnya livebird asalnya dari bata merah? Livebird kan asalnya dari  DOC, sumber over supply ya dari DOC, bukan bersumbernya livebird," ujarnya.

Akibat pemerintah yang tutup mata dengan kondisi peternak membuat peternak seperti 'mayat hidup'.

Baca: Rahasia Ayam Goreng Tepung Crispy, Intip Hasilnya pada Percobaan 9 Jenis Tepung, Mana Paling Renyah?

Baca: Kenang Glenn Fredly, Gading Marten Ungkap Rahasia Saat Lamar Sang Mantan Istri, Gisella Anastasia

"Banyak orang pajak bertanya usaha rugi tapi kok  jalan. Kami ini seperti mayat hidup. Kami hanya menjalankan  uangnya pabrik," katanya. 

Ia menggambarkan, adanya kelonggaran pabrik yang jatuh tempo bisa 2-3 bulan bahkan 100 hari membuat peternak  bertahan.  

Kalau dihitung peternak rakyat ini sudah tidak  hidup lagi.

Wabah corona akan mempercepat kematian para peternak ayam bila pemerintah tidak turun tangan.

"Pemerintah jangan menyalahkan wabah corona, karena kondisi ini sudah kacau. Kita sudah sakit. Kalau tidak ada corona mungkin kita bertahan sebulan lagi, karena corona jadi lebih parah dan mempercepat kematian, " ujarnya.

Padahal ada lebih dari 12 juta tenaga kerja di peternakan rakyat ini. 

Kadma, salah satu peternak lain dari Bogor mengakui  kondisi saat ini merupakan yang terburuk sejak 2004 pada saat terjadi pandemi  flu burung dan juga resesi 1998.

Baca: Rambutnya Dicatok Keriting oleh Aurel Hermansyah, Atta Halilintar Protes: Kayak Ayam-ayaman SD

Baca: Laudya Cynthia Bella Mengaku Bertemu Suaminya Hanya Saat Malam Hari

Ketua Umum Perhimpunan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Singgih Januratmoko mengatakan, pemerintah harus melakuan gebrakan serius untuk menyelamatkan peternak ayam.

Ia juga berpendapat momen puasa dan Lebaran belum bisa mendongkrak kelesuan sektor peternakan ayam. 

“Untuk pulih masih 2-3 bulan lagi.  Dalam  3 minggu kedepan  kondisinya masih berat. Dengan kondisi seperti ini pengusaha UMKM bakal gulung tikar, yang bertahan hanya pengusaha besar. Sementara peternak ayam di Indonesia hampir 80 persen levelnya UMKM,” katanya.

Sebelum para peternak berguguran, perlu tindakan dari hulu dan hilir dari pemerintah.  Harus segera dilakukan program pasar murah dimana pemerintah  memfasilitasi dengan membeli ayam dari peternakan rakyat serta program bantuan langung dalam bentuk ayam. Tidak hanya beras dan uang tunai. Terutama juga memangkas over supply sejak dari DOC.

Mencermati kondisi saat ini Yeka Hendra Fatika dari Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi  mengatakan, produk  unggas baik itu  karkas harus diserap jadi cadangan pangan nasional. 

"Saran saya  Menteri perekonomian merespon cepat untuk menarik 20 ribu ton ayam atau karkas agar RPA (Rumah Pemotongan Ayam) dan cold storage yang sekarang penuh ini jadi kosong dan  dialihkan ke pemerintah karena kosong produk dari peternak mitra bisa masuk lagi ke RPA nah ini langkah merespon cepat," katanya.

Parjuni meminta agar pemerintah mengurangi suplai DOC hingga 40 persen, menunda setting telur  untuk 4 minggu kedepan agar harga livebird ditingkat peternak bisa bergerak naik sesuai harga acuan kementrian perdagangan, Dengan demikian peternak ayam dapat hidup kembali.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas